Darmo membuka matanya lebar-lebar saat mendengar sebuah suara yang berasal dari luar kamarnya. Dengan curiga pria itu bangkit dari atas ranjangnya, lalu mengambil sebuah tongkat besi yang berada di samping lemari kayu.
Dengan waspada, pria itu melangkah keluar dari kamarnya yang berada di lantai bawah. Netranya berkeliling menatap sekitar rumah yang tampak sepi dan temaram karena hari mulai larut.
Suara yang Darmo dengar semakin terdengar jelas saat dia mendekati dapur. Pria itu mengeratkan pegangannya pada tongkat besi yang dia pegang. Namun..
Klik
"Kyaaa..."
Pekikan keras yang terdengar setelah dia menekan saklar lampu membuat Darmo hampir terlonjak.
"Pak Darmo.." seru suara itu dengan nada yang terdengar kesal.
"Non Hanna.. " seru pria itu secara bersamaan.
Darmo menepuk jidatnya sembari memejamkan mata. Lalu menertawakan dirinya sendiri. Hanna sampai dibuat kebingungan dengan tingkah pria tua itu.
"Pak Darmo kok malah ketawa sih.." sungut Hanna sebal.
Darmo menghentikan tawanya setelah melihat raut kesal dari nona mudanya. Dia lalu berjalan mendekat dan berhenti saat jarak di antara mereka hanya tinggal beberapa meter saja.
"Saya pikir ada maling yang masuk ke rumah ini, Non. Tapi ternyata hahaha..." pria itu kembali tertawa lagi.
Hanna yang tadinya merasa kesal berubah menjadi malu. Salahnya sendiri karena malam-malam berada di dapur dalam keadaan remang-remang.
"Y-Ya abisnya Hanna tiba-tiba laper, Pak." cicit Hanna dengan bibir mengerucut.
Tawa Darmo akhirnya mereda. Dia lalu meletakkan tongkat besinya di ujung ruangan dan kembali mendekati nona mudanya itu.
"Kenapa tidak membangunkan saya, Non?" tanya Darmo terkekeh geli.
Hanna tampak menggigit bibir bawahnya dengan gugup. Yang membuat Darmo merasa gemas dengan tingkahnya.
"Hanna nggak mau ganggu tidur Pak Darmo. Jadi Hanna milih buat makan cemilan aja." balas Hanna sembari menautkan jari-jarinya seperti anak kecil yang tengah gugup.
Darmo tersenyum maklum dan menawarkan diri untuk memasakkan sesuatu.
"Ya sudah, sekarang Non Hanna ingin makan apa? Biar saya siapkan." tawar Darmo sembari membuka kulkas.
Hanna tampak berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan Darmo.
"Em, Hanna minta dibikinin mie instan boleh?" tanya gadis itu dengan polos.
Darmo mengulas senyum manisnya.
"Tentu saja boleh, Non." jawab Darmo mengiyakan. Dia mana bisa menolak permintaan dari nona mudanya tersebut.
Hanna terlihat senang karena Darmo menuruti permintaannya. Jika saja saat ini dia berada di rumahnya yang ada di pusat kota, sudah pasti Arum tidak akan memperbolehkannya memakan mie instan.
"Lebih baik Non Hanna duduk saja di sana. Saya akan memasakkan mie instan untuk Non Hanna dengan cepat." kata Darmo yang dengan cekatan mengisi air pada panci untuk di didihkan.
"Nggak usah buru-buru, Pak. Hanna juga nggak terlalu lap-"
Krucuk.. krucuk..
Ucapan Hanna seketika terhenti saat mendengar bunyi perutnya sendiri. Gadis itu menatap Darmo dengan wajahnya yang kini berubah semerah tomat.
"Sepertinya Non Hanna memang benar-benar sedang lapar." kata Darmo terkekeh yang membuat Hanna semakin malu.
Tak membutuhkan waktu yang lama bagi Darmo memasak mie instan untuk Hanna. Pria itu kini sudah menghidangkan semangkuk mie kuah yang masih mengepul di depan meja Hanna.
"Kok cuma satu, Pak? Buat Pak Darmo mana?" tanya Hanna bingung.
"Kebetulan saya sudah kenyang, Non." tolak Darmo halus.
Hanna jadi merasa tidak enak dengan pria di depannya itu. Dirinya sudah mengusik tidur Darmo dan meminta pria itu untuk membuatkannya makanan di tengah malam buta.
"Gimana kalau kita makan sama-sama aja, Pak?" kata Hanna tiba-tiba.
Darmo tentu saja menolak. Selain karena dia sudah kenyang, dia juga merasa tidak enak dengan nona mudanya itu.
"Ih, kok Pak Darmo nggak mau sih?" sebal Hanna.
"Saya benar-benar masih kenyang, Non. Lebih baik Non Hanna segera makan sebelum mie-nya mengembang." ujar Darmo mencoba meyakinkan.
Akhirnya Hanna memilih mengalah dan memakan mie buatan Darmo dalam diam. Darmo yang melihat nona mudanya hanya dapat tersenyum kecil.
"Biar Hanna sendiri yang cuci mangkuknya, Pak." cegah Hanna saat Darmo akan beranjak dari kursinya ketika dia baru saja menyelesaikan makannya.
Darmo yang hendak berdiri kembali duduk lagi karena perintah dari nona mudanya tersebut. Namun untuk kesekian kalinya dia dibuat tertegun dengan Hanna.
Darmo baru sadar jika saat ini gadis itu hanya memakai gaun tidur yang begitu minim di depannya. Bahannya satin lembut dengan panjangnya yang hanya berjarak sejengkal saja dari pantatnya. Untuk bagian atasnya, terdapat dua tali kecil sebagai penyangga. Menampilkan pundak dan bahu mulusnya yang tampak menggoda.
"Dia benar-benar sexy sekali.." desah Darmo dalam hati.
Hanna sudah selesai dengan kegiatannya. Ketika dia berbalik, dia tak sengaja bertemu pandangan dengan Darmo yang ternyata tengah menatapnya.
"Eng, ada apa Pak Darmo? Kok liatin Hanna kaya gitu?" tanya Hanna yang merasa tidak nyaman.
Darmo yang tertangkap basah karena sedari tadi melihat nona mudanya menjadi kikuk sendiri. Dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dengan wajah meringis.
"Kalau dilihat-lihat Non Hanna cantik ya." ujar Darmo.
Hanna yang mendapat pujian tersebut tampak mengerjap. Lalu kedua pipinya mulai memerah.
"A-Apa sih Pak Darmo." gumam Hanna malu-malu.
Darmo yang melihat tingkah malu-malu dari nona mudanya justru semakin ingin menggodanya. Entah dapat keberanian dari mana pria itu mendekati tempat Hanna berada.
"Saya tidak bohong, Non. Selama ini saya tidak pernah melihat perempuan secantik Non Hanna." Darmo berkata dengan nada serius yang membuat Hanna semakin tersipu.
"Pak Darmo berlebihan deh. Jangan bikin Hanna makin malu." ujar gadis itu merajuk.
Darmo semakin mengikis jarak di antara mereka. Dia kini sudah berdiri tepat di belakang Hanna.
Seharusnya Hanna menjaga jarak dari pria paruh baya itu. Namun dia justru diam saja ketika Darmo berdiri terlalu dekat dengannya.
Greb
"Non Hanna benar-benar sangat cantik. Saya saja yang sudah tua sangat suka melihat wajah Non Hanna." kata Darmo dengan suara beratnya. Jangan lupa tangannya yang sudah berada di atas pundak gadis itu.
Hanna masih diam, sibuk memikirkan pujian yang tak henti dilayangkan oleh pria tua itu. Dia tidak sadar jika tangan Darmo mulai berani mengelus lengan polosnya.
"Jika waktu bisa diputar, saya pasti akan memilih Non Hanna menjadi istri saya." Darmo masih gencar melayangkan gombalannya.
"Tapi sayang sekali itu semua hanya angan-angan." kata Darmo berujar sedih. Namun tidak dengan netra jelaganya yang jelalatan menatap gundukan kenyal milik Hanna, yang menyembul sedikit dari celah gaun tidur yang gadis itu kenakan.
Hanna menggigit bibirnya bawahnya gugup karena tak tahu harus menimpali ucapan Darmo seperti apa. Dan di saat-saat itulah dia baru menyadari jika pria itu sedari tadi terus mengelus lengannya.
"Eng, Pak.. Hanna pamit mau tidur dulu." ujar Hanna kikuk.
Darmo memilih mengalah malam ini. Dia tidak bisa dengan terang-terangan menunjukkan ketertarikannya pada Hanna. Dan dirinya sudah mengatur siasat agar gadis itu tidak menyadari akan perbuatannya.
"Ya sudah, kalau begitu silakan, Non." Darmo melepaskan sentuhannya dari lengan Hanna.
Gadis itu mengangguk kecil dengan raut kikuk. Sebelum kemudian berlalu meninggalkan Darmo yang masih berdiri di tempatnya, dengan tatapan yang tak lepas dari Hanna.
"Saya semakin tidak sabar ingin menyentuh kamu lebih jauh lagi, Non Hanna." gumam pria itu dengan kobaran gairah yang terlihat jelas di matanya.
***