Nona-ku Canduku | Hanna Takut Ulat

1009 Kata
Sudah dua hari Hanna tinggal di rumah ini. Dan selama itu, Darmo merawatnya dengan baik. Pria itu selalu membangunkannya ketika pagi. Menyiapkan makanannya tepat waktu. Dan menemaninya mengobrol walau hanya sebentar. Selama dua hari tinggal di sini, Hanna pikir Darmo selalu membeli makanan untuk sarapan sampai makan malam untuknya. Namun ternyata dugaannya salah. Pria itu ternyata sangat mahir dalam hal memasak. "Pagi, Non." sapa Darmo yang belum selesai dengan acara memasaknya. Biasanya Hanna akan menghabiskan waktunya di dalam kamar selagi Darmo menyiapkan sarapan untuknya. Namun pagi ini gadis itu sengaja berkunjung ke dapur, ingin melihat keahlian memasak Darmo. "Pagi, Pak." balas Hanna sembari menarik kursi makan di depannya. Pria itu meletakkan sepiring nasi goreng yang masih mengepul di depan Hanna. Membuat gadis itu merasa tergiur hanya dengan mencium aromanya saja. "Baunya wangi banget." celetuk Hanna bersiap menyantap sarapannya. Darmo tersenyum kecil menanggapi celetukan dari nona mudanya. "Itu nasi goreng spesial yang sengaja Pak Darmo masak buat Non Hanna." tutur Darmo yang kini sibuk mengelap perabotan dapur yang basah setelah dicuci. Hanna menarik sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman lebar. "Wahh.. kalo kaya gini Hanna pasti betah tinggal disini, Pak." kekeh gadis itu. Darmo tertawa kecil mendengar ucapan nona mudanya. Dia lalu menyuruh Hanna segera memakan sarapannya selagi masih hangat. Sembari menunggu Hanna menyelesaikan acara sarapannya, Darmo sesekali mencuri pandang ke arah gadis itu. Hari ini Hanna tampak cantik dengan dress rumahan pendek sebatas lutut. Namun yang mengganggu pandangan Darmo kali ini adalah bahu mulus gadis itu yang terpampang nyata di depannya. Lagi-lagi reaksi tubuhnya akan seperti ini begitu melihat Hanna. Darmo merasa bingung dengan apa yang dirasakan oleh tubuh bagian bawahnya. Mengapa dia selalu bereaksi setiap berdekatan dengan nona mudanya itu? Sudah sepuluh tahun Darmo menduda. Dan selama itu kebutuhan biologisnya dapat dia kontrol dengan baik. Dia tidak pernah melampiaskannya pada orang lain. Namun sejak kedatangan Hanna dua hari yang lalu, Darmo mulai merasa terusik dengan kehidupan tenangnya. Gairahnya mudah sekali terpancing hanya dengan melihat nona mudanya itu. "Nasi gorengnya enak banget, Pak." ujar Hanna sembari mengacungkan jempol ke arah Darmo. Membuat pria itu tersadar dari lamunannya. Darmo tampak tersenyum bangga. Sepertinya tidak sia-sia dia hidup sendiri selama sepuluh tahun ini. Keahlian memasaknya semakin terasah hari demi hari. "Syukurlah kalau Non Hanna suka dengan masakan saya." timpal Darmo. Hanna membalas ucapan Darmo dengan tersenyum tipis. Lalu kembali memakan nasi gorengnya hingga tandas. Darmo yang melihat nona mudanya telah selesai dengan sarapannya hendak mengambil piring kotor yang ada di depan Hanna. Namun gadis itu dengan sigap menahan gerakan Darmo dengan memegang tangannya. "Nggak usah, Pak. Biar Hanna aja yang nyuci." cegah Hanna. Darmo mengerjap saat merasakan sentuhan seringan kapas dari tangan lembut Hanna. Tubuhnya mulai berdesir dengan detak jantungnya yang tidak normal. "Ti-Tidak apa-apa, Non. Biar saya saja yang mencucinya. Lagipula itu sudah tugas saya, Non." kata Darmo dengan terbata. Hanna terlihat tidak setuju. Dia juga ingin membantu pekerjaan pria itu. Apalagi Darmo sudah sangat baik karena merawatnya selama dua hari di sini. "Nggak boleh. Pokoknya hari ini biar Hanna yang gantian layanin Pak Darmo." ujar Hanna dengan senyum manisnya. Ucapan Hanna barusan justru dimaknai berbeda oleh Darmo. Pria itu justru dibuat panas dingin karena mengartikan kata "melayani" yang Hanna utarakan tadi. "Kamu benar-benar sudah gila, Darmo." decak Darmo dalam hati, merutuki pikiran mesumnya. |•| Hanna terlihat sangat menikmati kegiatannya menyiram tanaman yang ada di taman belakang rumahnya. Dengan kaos putih tipis yang melekat di tubuhnya. Serta hotpans hitam sepanjang setengah paha, membuat penampilan gadis itu tampak polos sekaligus sexy. "Biar saya yang menyiramnya, Non. Lebih baik Non Hanna istirahat saja di gazebo sana." ujar Darmo yang sedari tadi merasa tidak enak karena Hanna selalu membantu pekerjaannya. Hanna menoleh ke samping kanannya dimana pria tua itu berada tidak jauh darinya. Dia tersenyum kecil, memamerkan deretan giginya yang berjejer rapi pada Darmo. "Nggak papa, Pak. Hanna juga bosen nggak ngapa-ngapain di dalem rumah." kata Hanna yang lagi-lagi membuat Darmo tak dapat berkutik selain menurut. Saat sedang asik menyiram tanaman, tiba-tiba saja Hanna dikejutkan dengan kemunculan ulat yang entah sejak kapan menempel di selang air yang dia pegang. Membuat gadis itu menjerit dan melompat ke arah Darmo. Darmo yang terkejut dengan jeritan nona mudanya seketika berjengit. Tubuhnya tiba-tiba berubah kaku saat merasakan seseorang memeluk lengannya dari samping. Membuat Darmo dapat merasakan gundukan kenyal yang menghimpit lengannya. "Kyaa.. Pak Darmo.. ada ulat.." pekik Hanna memeluk lengan Darmo dengan erat. Tubuhnya tampak bergidik karena merasa takut dengan apa yang baru saja dia lihat. Darmo yang sebelumnya tertegun mulai berangsur sadar. "Di-Dimana ulatnya, Non?" tanya Darmo dengan tergagap. Masih dengan posisinya yang sama, Hanna menunjuk ke arah selang air yang tergeletak di tanah. Lalu menyembunyikan wajahnya di balik punggung pria tua itu. "I-Itu di sana, Pak." kata Hanna bergidik. Darmo akhirnya memilih untuk mematikan kran air yang ada di depannya agar tidak terbuang percuma. Dia hendak membuang ulat yang masih menempel di ujung selang air saat Hanna mencegahnya. "Pak Darmo mau kemana?" tanya Hanna dengan raut memelas. "S-Saya mau membuang ulat tadi, Non." jawab Darmo gugup. Hanna menggeleng cepat mendengar jawaban Darmo. Dengan wajah memberenggut dia meminta pria itu agar tidak meninggalkannya sendiri. "Jangan, Pak. Hanna takut kalau ada ulat lain lagi." kata gadis itu sembari mengedarkan pandangannya pada tumbuhan yang ada di sekitarnya. Menghela napas berat, Darmo akhirnya menurut dan tidak jadi membuang ulat yang membuat nona mudanya itu takut. "Sekarang Non Hanna mau ngapain lagi?" tanya Darmo mencoba bersabar. Hanna menatap ke sekeliling terlebih dahulu, lalu beralih menatap ke arah Darmo. "Hanna mau masuk ke rumah. Tapi nggak berani. Takut ada ulat lagi." rengek Hanna. Lagi-lagi Darmo harus dibuat bersabar dengan tingkah Hanna. Gadis itu terlihat benar-benar takut dengan ulat. "Ya sudah, biar Bapak antar Non Hanna masuk ke dalam." kata Darmo mengalah. Gadis itu mengangguk cepat dengan senyum leganya. Dia kembali memeluk lengan Darmo erat, sembari merapatkan tubuhnya pada pria itu. Awalnya Darmo merasa canggung dengan posisi mereka saat ini. Namun semakin lama, dia mulai menikmati pelukan dari gadis belia itu. "Nyaman sekali dipeluk Non Hanna seperti ini." desahnya dalam hati dengan senyum yang tak lepas dari bibir coklat hitamnya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN