Alasan

805 Kata
"Neng Lili, Ibu mohon maaf sebelumnya, kedatangan Ibu kesini pagi-pagi kayak gini karena Ibu mau ngasih tahu kalau bulan depan kontrakan Neng ini mau Ibu sewakan ke orang lain....." Yah, bahasa halusnya, aku diusir. "Ibu harap kamu mengerti ya, Neng. Jadi Ibu kasih waktu kamu 2 minggu buat cari kontrakan baru dan juga beresin barang-barangnya. Sekali lagi, Ibu mohon maaf ke Neng." Aku menghela nafas panjang, rasanya sangat menyakitkan sekali saat kita diusir dari tempat yang aku kira merupakan pelindung terbaik dari kejamnya dunia luar. Kontrakan ini sudah menjadi rumahku selama tiga tahun, meskipun kecil, tetangganya selalu berburuk sangka kepadaku dan selalu berisik dengan banyak hal yang seringkali membuat tidurku terganggu, aku sudah merasa sangat nyaman, dan sekarang aku diusir? Diusir! Jika aku menceritakan pengusiran ini kepada Liliana yang berusia 15 tahun aku yakin Liliana akan tertawa sampai terkentut-kentut tidak percaya. Untuk beberapa saat aku memilih diam, memilih untuk menenangkan diri sebelum aku siap untuk kembali berbicara. "Tapi kenapa Bu Hajjah? Apa saya melakukan kesalahan, Bu? Saya rasa saya tidak pernah membuat masalah, kontrakan juga saya rawat dengan baik, bahkan saya selalu membayar kontrakan ini diawal bulan? Saya merasa saya berhak untuk mendengar alasan kenapa saya diusir secara mendadak." Bu Hajjah yang ada di hadapanku ini gelisah, sosok tua yang merupakan ibu kos beberapa rumah petak ini adalah wanita lembut yang selalu aku hormati meskipun kenyataannya aku ingin sekali memutilasi menantu sialannya yang selalu menatap bokongku dengan sangat tidak senonoh, tapi sekarang ini aku merasakan kekecewaan terhadap beliau. "Neng, ibu sebenarnya seneng sama Neng. Neng Liliana nggak pernah rewel, nggak pernah bikin masalah juga soal kontrakan, tapi Ibu nggak pengen rumah tangga anak Ibu dalam masalah, Neng. Setiap hari si Ida berantem terus sama Sony gegara si Sony sering ngelindur nyebut nama Neng, belum lagi kalau si Sony setiap hari ngayap di rumah Mahfud cuma buat nongkrong ngelihatin Neng. Ibu nggak bisa Neng saban hari lihat si Ida berantem terus sama si Sony." Ya, aku sangat sadar jika kehadiranku di lingkungan ini seringkali memicu pertengkaran diantara pasangan suami istri, apalagi statusku yang masih lajang di usiaku yang sudah 29 tahun tapi sungguh itu diluar kuasaku. Aku tidak bisa mencegah para pria m***m itu menjadikanku objek kegilaan mereka, terlebih pandangan miring karena aku seringkali pulang pagi, mereka pikir aku suka apa digoda seperti itu. Jika si Maemunah dan Ida itu tidak kehilangan akal sehatnya mereka seharusnya tahu betapa aku ingin memenggal kepala suami mereka. Lantas sekarang mendapati diriku yang terusir karena alasan konyol dan sangat merugikanku tersebut tidak bolehkah aku jika jengkel. "Baiklah jika Bu Hajjah meminta saya untuk pergi. Saya akan pergi, Bu. Terimakasih untuk kebaikan Ibu selama ini." Meskipun hatiku terluka hingga rasanya nyaris menangis, tetap saja aku mempertahankan sikap ramahku. Klise alasannya, karena beliau orang tua. Dan tentu saja beliau tersenyum lega mendapati aku tidak ngereog seperti penghuni kontrakan lain saat diusir tiba-tiba apalagi hanya diberi waktu dua minggu dalam ekonomi yang serba kepepet ini. Dua minggu, waktu itu sangat sebentar rasanya aku hampir mati memikirkan kemana aku akan pergi dan bagaimana aku bisa mendapatkan uang deposit untuk kontrakan baruku. "Senang kamu paham posisi Ibu, Neng." Kembali aku membalas senyum beliau, namun rasa sakit hatiku juga ada batasnya hingga membuatku tidak bisa menahan diri. "Paham kok Bu saya sama maksud Ibu. Saya cuma penasaran Bu, nanti kalau penghuni baru kontrakan ini wanita atau janda cantik lagi Ibu mau usir mereka lagi nggak? Mengusir seseorang tidak akan menyelesaikan masalah keluarga Anda, Bu Hajjah. Yang menjadi masalah itu mantu Ibu yang nggak tahu diri, udah baik punya mertua yang ngasih duit tiap hari, punya istri cantik, anak-anak gemesin masih bertingkah! Selama suami si Ida masih Sony, saya rasa pertengkaran itu akan selalu ada." Wajah ramah Bu Hajjah seketika menghilang, tidak ada kehangatan lagi di mata beliau saat memandangku. Salah satu sifat manusia adalah mereka tidak terima setiap hal buruk meskipun itu sebuah kenyataan. Seperti sekarang ini, beliau sangat paham jika menantunya b******k, mata keranjang dan benalu, tapi tetap saja tidak terima saat ada orang lain yang menjelekkan si sialan Sony k*****t. "Nggak usah ngurusin rumah tangga keluarga Ibu, Neng. Selama ini Ibu juga jengah sama Neng, setiap hari ada saja laporan orang-orang yang resah sama pekerjaan Neng. Pulang tiap dini hari, nggak ada perempuan baik-baik yang ngeluyur tiap malam, Neng. Bukan nggak mungkin semua yang orang-orang omongin itu benar." Beberapa detik yang lalu Bu Hajjah mengingatkan si Maemunah agar tidak berbicara sembarangan tapi nyatanya beliau mengatakan hal yang sama kepadaku sebagai pelampiasan rasa tidak terima beliau atas kenyataan menantunya yang kurang ajar. "Kalau saya benar jual diri, nggak mungkin saya mau hidup pas-pasan disini, Bu. Tanggung amat jual dirinya. Ya sudah Bu, saya minta maaf jika saya sudah keterlaluan dalam menghina mantu Ibu. Sekarnag bisa Ibu pergi? Saya harus bersiap untuk kerja karena dua minggu lagi harus hengkang dari tempat ini seperti yang Ibu minta."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN