Terusir

793 Kata
"Tok.... Toookkkk...... Assalamualaikum." "Tok..... Tooookkk..... Assalamualaikum." "Sayur...... sayurrrrr, ayamnya Mpo! Masih pada seger ini! Ikan bandeng kita juga ready, Ncing!" "Buuurrr..... Jo..... Bubur kacang ijooooo...." "Tok...... Tok..... Tok..... Neng Liliana! Tolong bukain pintunya, Neng!" Berbagai suara campur aduk masuk ke dalam telingaku membuat tidurku yang belum seberapa lama seketika terganggu, tanpa sadar aku mengerang, berniat memanggil Mbok Titik untuk menegur siapapun yang berisik dan mengganggu tidurku tersebut namun suara gedoran pintu diluar yang memanggil namaku membuatku tersadar jika di kehidupanku yang aku miliki sekarang tidak ada lagi Mbok Titik. Bukan hanya Mbok Titik, tapi juga setengah lusin ART lainnya, bahkan orangtuaku, semuanya tidak aku miliki lagi. Bahkan ranjang nyaman untuk meletakkan punggung pun sudah tidak ada. Hahahaha, tanpa sadar aku tertawa saat aku membuka mata. Liliana Soedibjo, ingatlah, kamu itu bukan tuan putri lagi, kamu itu hanya perempuan malang sebatang kara yang kehilangan seluruh harta orangtuamu. Perusahaan bangkrut, pailit, aset tersita dan orangtua yang mati bunuh diri menenggak karbol karena tidak mampu menghadapi kenyataan jika hidupnya menjadi miskin dalam sekejap. Rasanya aku ingin sekali mengasihani diriku, hidup tidak sanggup, ingin ikut mati tapi aku juga sadar jika hidupku penuh dengan dosa. Aku tidak seberani itu untuk mati meskipun aku rasanya nyaris gila menghadapi kehidupan. Tidak punya uang, tidak ada yang memperkerjakanku karena minimnya pengalaman, terkutuklah Liliana muda yang hobinya hanya main-main tanpa memiliki niat untuk bekerja, aku kira menjadi anak tunggal keluarga mapan membuatku tidak akan memikirkan tentang uang, nyatanya, aku hanya kebagian 25 tahun dalam keadaan kaya, dan sisanya 3 tahun lalu semuanya lenyap tidak bersisa. Aaarrrggfh, rasanya menyedihkan sekali jika dipikirkan. Seornag Liliana kini harus menjadi guru les serabutan anak-anak orang kaya, dan malamnya aku harus menjadi waiters di sebuah Club milik temanku yang masih berbelas kasihan. Satu-satunya pekerjaan yang bisa membuatku tetap sanggup membayar kontrakan dua petak ini setiap bulannya. "Tok..... Tok..... Tok.... Neng Liliana, duh Gusti bukain napa Neng, ibu mau bicara!" "Kenapa Bu Hajjah, kok nyariin si Liliana? Nunggak kontrakan dia?!" "Bukan, ada perlu saja!" "Kirain nunggak, kalau sampai nunggak mah kebangetan, sia-sia dia jual diri pergi dari pagi sampai pagi. Beeeuh dia saja kalau pulang pasti jam 3 pagi, Bu Hajjah. Bau alkohol lagi." "Huuus, jangan bicara sembarangan kamu Minah. Bisa jadi fitnah, nggak baik!" "Fitnah apa sih Bu Hajjah, lihatin saja Bu, dia itu tiap pulang pagi. Mana genitnya nggak ketulungan pula, kalau lagi ada di rumah hobinya godain Bapak-Bapak, Bu Hajjah tahu nggak, mantu Bu Hajjah, Si Sony, demen banget nongkrong tempat saya setiap kali tuh perempuan di rumah! Tahu nggak Bu, baik loh saya ngingetin." 3 tahun tinggal disini, si Maemunah atau Minah atau entah siapa itu memang hobi sekali mencelaku, dari dalam aku bisa mendengar semuanya saat aku berganti pakaian yang layak, dan menguncir rambutku, tentu saja saat aku membuka pintu, si mulut dombleh tukang fitnah langsung berjingkat karena terkejut. "Siapa yang godain siapa, Mpok Maemunah!" Tanpa basa-basi sama sekali, saat aku membuka pintu aku langsung menodong perempuan yang hobi sekali memataiku ini, daguku terangkat menantangnya untuk mengulang setiap fitnah yang dia berikan. "Kalaupun saya mau godain cowok, ya sekalian saja saya godain yang kaya Mpok, bukan suami Mpok, apalagi mantunya Bu Hajjah, mohon maaf Bu Hajjah, saya sama sekali nggak berminat sama Menantu Ibu, lebih tepatnya saya nggak minat sama pengangguran." "Heeeeh, nama gue tuh Minah! Aminah, bukan maemunah! Sekate-kate lo sama orang yang lebih tua main ganti nama seenaknya, dan apa lo bilang barusan? Mantunya Bu Hajjah pengangguran, belagu amat lo ngatain orang!" "Ya kalau mau dihargai, bersikaplah yang sopan Mpok! Lagian emang bener si Bang Sony nganggur, emamg saya salah? Buat apa pula saya ngehormatin orang yang tiap ada kesempatan selalu melakukan pelecehan verbal kepada saya!" Terserahlah jika ucapanku terdengar tidak sopan, tapi aku sudah kepalang gedek sama orang-orang toxic macam Mpok Maemunah dan juga mantunya Bu Hajjah yang genitnya minta ampun. Beralih dari Mpok Maemunah, aku menatap Bu Hajjah, kuraih tangan beliau sebagai salam dan aku mencoba tersenyum ramah. Sikap yang berbeda 180• yang langsung membuat si Maemunah mendengus keras. "Maaf Bu Hajjah kelamaan buka pintunya, tadi saya baru bangun." Bu Hajjah menatapku canggung, "Nah, bisa tolong tinggalin saya dulu! Saya mau ngobrol sama pribadi Neng Liliana dulu." Sepertinya memang ada hal penting yang ingin beliau bicarakan kepadaku. Meskipun dengan menggerutu si Maemunah tersebut akhirnya pergi. "Silahkan duduk dulu, Bu! Ibu ingin teh atau kopi?" Kupersilahkan beliau untuk duduk di kursi yang ada diteras, dan juga menawari beliau minum, tapi tawaranku ditolak oleh beliau yang tampak gelisah, dan saat akhirnya tidak ada lagi yang memperhatikan kami, baru beliau mengutarakan hal yang membuatku tersambar petir. "Neng Lili, Ibu mohon maaf sebelumnya, kedatangan Ibu kesini pagi-pagi kayak gini karena Ibu mau ngasih tahu kalau bulan depan kontrakan Neng ini mau Ibu sewakan ke orang lain....." Yah, bahasa halusnya, aku diusir.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN