Dua minggu.
Hanya 14 hari aku memiliki waktu untuk mencari tempat tinggal yang baru. Sebagian orang mungkin akan melewati dua minggu itu tanpa kesan, tapi untukku dua minggu ini waktu yang singkat. Mencari kontrakan dengan harga ekonomis dan tempat yang nyaman bukanlah hal yang mudah. Saat aku menemukan tempat yang lumayan nyaman, harganya lumayan mahal. Begitu pula saat aku mendapatkan harga yang murah, ada saja masalah yang aku temui, salah satunya adalah hal yang membuatku tidak bisa makan seharian ini karena WC kamar mandi yang meluap. Tolong bayangkan, kontrakan atau kos satu atau dua petak dengan kamar mandi dalam yang b****k, apa nggak mati saya kebauan.
Dan sekarang, ditempat kos yang terakhir, aku sudah cocok dengan harga dan juga tempatnya yang nyaman, pas untuk ukuran satu orang juga tidak terlalu buruk, tapi saat aku hendak memberikan uang deposit dan p********n satu bulan, Bapak kos aki-aki dengan kumis baplang dan tubuh sebesar Bagong tersebut dengan kurangajarnya meremas bokongku.
"Jadi Aki-Aki bau tanah itu ngeremas bokongmu?"
Siti, salah satu ART di rumah salah satu anak yang aku ajar les-nya menatapku tidak percaya, raut wajahnya tercabik antara geli dan prihatin tapi rupanya dia memutuskan jika ceritaku yang mengenaskan ini adalah sebuah hiburan untuknya karena selanjutnya dia mendengus keras dan tertawa.
"Ya, dia ngeremas bokongku sambil ngomong, 'Neng, Bapak bisa nego lagi loh harganya!' Yah bloody hell, apa nggak kurang ajar. Kalau dia nawarin penthouse bolehlah dipertimbangkan jadi bini kelimanya, lah ini cuma kontrakan sepetak, aku masih bisa bayar, Sit!"
"Hahahaahaha, terus lo apain tuh Aki-Aki? Lo kirim ke Neraka kagak!"
Aku mencibir, kesal sekali rasanya saat aku mengingat apa yang terjadi tadi siang. "Aku teriakinlah, nggak pakai drama langsung saja aku teriakin, 'woy, ini aki-aki ngelecehin saya, dia ngeremes b****g saya, mau jadiin saya simpenan diganti sama kontrakan sepetak'". Jika sebelumnya Siti tadi hanya tertawa maka sekarang dia tertawa terguling-guling hingga perutnya sakit, airmatanya keluar terhibur dengan kesengsaraanku. Ya Tuhan, nyari tempat tinggal di Jakarta sesusah ini ya. Rasanya hampir menyerah karena waktu terus berjalan.
Hisss, terkutuklah Sony yang membuatku kehilangan tempat tinggal. Semoga dia impoten!
"Ya Allah, gue bener-bener nggak bisa bayangin gimana tuh Aki-Aki, di gebukin bininya pasti."
Separuh benar, separuh salah. Ya, Aki-Aki tua itu memang dihajar istrinya, tapi sama seperti Bu Hajjah kontrakanku, beliau pun juga menyalahkanku, ibu-ibu tua tersebut juga memakiku karena dinilainya aku menggoda karena mustahil perempuan secantik diriku mau tinggal ditempat lusuh jika tidak ada maunya.
Astaga, bahkan aku tidak merasa cantik, tidak setelah aku kehilangan semuanya. Rasanya seluruh hal yang melekat di tubuhku bagai sebuah kutukan yang mengerikan. Kubiarkan Siti tertawa sepuas hatinya sembari menatap bosan kepada rumah besar keluarga Aryaatmaja ini, rumah besar yang membuatku teringat kepada rumahku sendiri. Aku sedang menunggu Saka, anak yang akan aku ajari kembali dari acaranya bersama Neneknya, waktu yang cukup untukku menenangkan diri.
"Sit, udahan napa ketawanya. Nggak lucu sama sekali tahu." Ucapku gerah, lama-lama kesal sekali aku mendengarnya tertawa.
"Habisnya lucu banget sih dengernya, aku loh yang wajahnya pas-pasan, cuma jadi pembantu, syukur Alhamdulilah meskipun cuma gubuk tapi punya rumah sendiri, lah kamu, kamu itu nggak ada kurangnya sama sekali Li, tapi kok ya apes banget nggak punya rumah, sekalinya ada sugarglinding nawarinnya kontrakan sepetak."
Kekesalan yang aku rasa menguap kembali saat aku mendengar sugarglinding, "sugardaddy kali maksudmu!" Koreksiku dengan gemas.
"Ho.oh yang itu!" Sambar Siti dengan puas, "daripada jadi simpenannya tuh Aki-aki neraka, saran aku mending lamar jadi istri Pak Dana aja sih, Li! Lebih oke, walaupun duda punya anak sebiji masih muda banget. Duh kalau aku secakep kamu, udah aku samber Pak Bos dari pertama, akunya sadar diri bentukannya cuma kayak talas Bogor!"
Kembali Siti tertawa, menertawakan kekonyolannya tentang Bosnya, yang juga Bosku dalam urusan mengajar anaknya. "Duh aku nggak berminat sama Bosmu, Sit. Aku udah eneg sama kelakuannya masa sekolah, kayaknya aku nggak akan sanggup kalau harus habisin sisa hidupku sama orang kayak dia! Lihat saja, bininya saja kabur, kan?"
Siti seketika menghentikan tawanya berganti dengan ketidaksetujuan dengan ucapanku, "kamu itu tahu apa sih soal rumah tangga Pak Dana? Jangan campur adukinlah Pak Dana waktu sekolah sama sekarang, aku saja yang cuma babu kalau inget kelakuan Bu Monica juga gemes mau nyerein, gimana Pak Dana yang hidup sama dia. Ibu Persit tapi kelakuannya kayak LC."
Aku menggeleng pelan sembari mengibaskan tanganku, aku sama sekali tidak berminat untuk membicarakan masalah pribadi Dana, ya, Dana Pradana yang menjadi bosku sialnya adalah teman satu angkatan di SMAku dulu. Hubungan kami dulu tidak terlalu baik tidak buruk juga, itu sebabnya aku tidak nyaman saat membicarakannya, seperti bergosip hal yang tidak sepatutnya.
Aku terdiam, enggan lagi untuk berbicara namun saat aku tengah sibuk mencari kontrakan mana yang sekiranya bisa menjadi tempat tinggalku, Siti tiba-tiba saja berteriak keras.
"Nah itu dia Li solusinya, kenapa lo nggak kasbon saja ke Pak Dana, biar bisa tinggal ditempat yang layak gitu. Jujur saja, gue waswas cewek secakep lo main tinggal di sembarang tempat!"
Sungguh sebuah ide gila yang benar-benar diluar nalar yang langsung aku tolak mentah-mentah. "Ogah, nggak mau aku ngutang Sit!"
"Bukan ngutang, Li. Tapi kasbon, gaji lo ambil diawal gitu, ambil sekalian setahun biar sekalian dapat tempat yang enakan."
Otakku berpikir keras, setengah tergoda untuk menerima ide ajaib Siti meskipun separuh egoku tidak mengizinkan. Dan seolah menyempurnakan waktu tersulitku, sebuah celetukan dengan nada bosannya membuatku terkejut.
"Siapa yang mau ngutang pakai jaminan gaji setahun, Ti?"
Damn! Haruskah makhluk satu ini datang disaat seperti ini?