Dapat Mas Duda bonus Anaknya ??
"Jika dia memang jodoh saya, saya sama sekali tidak keberatan, Bu. Saya akan menyayangi anaknya, sama seperti saya menyayangi Ayahnya, terdengar naif, tapi bukankah itu adalah sebuah keharusan, bukan pilihan."
Aku merasa percakapan yang absurd ini sudah final, tapi ternyata setiap jawaban yang aku berikan kepada Nyonya Besar Aryaatmaja ini membuat beliau makin berbinar saat menatapku, dan saat aku menyadari pandangan beliau tersebut seketika saja aku merasa waswas, sama seperti Pradana yang seringkali licik, beliau pun pasti kurang lebih sama, entah apa yang kini terlintas diotak pintar beliau.
"Miss Lili, saya tahu kamu pintar."
"Secara akademis saya memang pintar, Bu. Bahkan lebih dari pada putra Ibu...." Ahaaa, katakan aku sombong, tapi aku tidak tahan untuk memamerkan hal tersebut, satu-satunya kebanggaan yang aku miliki sekarnag ini mungkin hanya tinggal hal tersebut. "Selama SMA, seringkali Pak Dana berada dibelakang saya..."
Aku sempat mengira jika Nyonya Aryaatmaja ini akan mencibirku, namun rupanya aku keliru, beliau justru tampak terpesona. "Jadi kamu teman SMA Dana? Lantas kenapa hidupmu jadi sesusah sekarang sampai-sampai harus mengajar les anak temanmu? Orangtuamu memintamu belajar mandiri sebelum meneruskan perusahaan? Mereka pasti memintamu belajar dari bawah, kan? Astaga, bisa-bisanya saya percaya kalau kamu mengajar karena hidupmu terlalu susah. Berarti selama ini kamu bohong sama saya ya soal bertahan hidup? Mustahil teman sekolah Dana hidupnya susah."
Aku meringis, bodohnya aku yang memamerkan pencapaianku di masa sekolah, rupanya kekaguman beliau beberapa saat lalu bukan karena beliau kagum dengan prestasiku, tapi karena beliau tahu aku satu alumni dengan putranya yang artinya beliau mengira aku orang kaya yang setara dengan beliau, karena sudah sangat jelas SMA Pengabdian adalah SMA swasta elite dengan bayaran yang setinggi langit. Otak pintar saja tidak cukup untuk bersekolah disana, jadi tidak heran beliau melontarkan sebuah pendapat yang bagiku sekarnag terdengar menggelikan. Apa yang diucapkan Nyonya Maryam mungkin sebuah kebenaran sampai pada usiaku 25 tahun. Sungguh, sangat susah bagiku untuk tidak tersenyum masam. Rasanya menyebalkan sekali membicarakan hidupku yang hancur dengan orang lain, tapi sekali lagi, kenyataan tentang beliau yang merupakan bosku, tempatku mencari uang, membuatku harus memberikan satu pemakluman lagi.
"Saya memang hidup susah, Bu. Saya bahkan tinggal dikontrakkan dua petak yang tetangga kanan kiri kentut pun akan kedengaran."
"Nggak mungkin, bohong kamu." Nyonya Maryam begitu kekeuh tidak percaya. Mata beliau menyipit mencari-cari kebohongan di dalam pandanganku dalam tawa ringannya.
"Lah apa Ibu mau ke tempat saya? Biar Ibu bisa lihat sendiri?" Tantangku tanpa menyembunyikan kekesalanku, "benar saya dulunya anak orang berada, tapi itu hanya sampai usia saya 25 tahun, sampai pada Papa yang tertipu hingga usaha beliau pailit dan menanggung hutang yang tidak main-main, sampai akhirnya kami kehilangan segalanya, termasuk sampai orangtua saya meninggal karena bunuh diri, mereka berdua tidak tahan kehilangan semuanya dalam sekejap. Ya, itulah kenyataannya yang membuat saya harus terus bekerja jika masih ingin bertahan hidup. Saya bekerja demi uang, bukan demi apapun. Tidak ada alasan lainnya Bu. Apalagi sekedar menarik perhatian anak Ibu, mohon maaf Bu, tapi Pradana adalah pria terakhir yang ingin saya jadikan pasangan tidak peduli seberapa sempurnanya dia dimata Ibu."
Suasana hangat dalam obrolan sebelumnya seketika mengabur, raut terpesona dan tidak percaya Nyonya Besar Aryaatmaja ini pun seketika menghilang dan berganti dengan pandangan yang paling tidak aku sukai, tatapan iba, kasihan, dan segala hal yang aku benci.
"Sorry, saya hanya... saya....."
Terbata-bata beliau berusaha merangkai kata untuk meminta maaf kepadaku karena beliau sadar atas sikap beliau yang masuk terlalu dalam ke ranah pribadiku, dan dengan kejamnya aku sama sekali tidak berusaha untuk mengoreksi atau sekedar mengatakan 'tidak apa-apa, bukan sebuah masalah' kepada beliau, aku hanya terdiam sampai akhirnya Pradana datang diikuti oleh Saka yang langsung membuat senyumanku melebar seolah tidak terjadi perbincangan apapun.
Pradana yang melihat raut wajah Ibunya yang tampak berkaca-kaca hendak menangis pun sepertinya akan menegurku, namun niat itu urung karena Saka sudah lebih dahulu menghambur ke arahku. Jika ada hal yang bisa menghentikan Pradana, aku yakin itu adalah Saka, dirinya sendiri versi sachet yang menggemaskan.
"Miss kok nggak makan, nanti Papa habisin loh Miss."
Aku berlutut, mengusap sudut bibir Saka yang belepotan dengan remahan bolu, meskipun Saka selalu menunjukkan jika dia anak yang mandiri, tapi tetap saja dia tersenyum senang saat aku memberinya perhatian. "Dihabisin nggak apa-apa dong, itu artinya bolu kita sukses besar. Hebat
"Hihihihi......" tawa renyah yang malu-malu itu terdengar dari Saka, "kapan-kapan ajarin bikin kue lainnya ya Miss Lili, Saka mau bawa ke sekolah. Biar temen-temen Saka cobain juga bekal Saka. Miss tahu nggak, temen-temen Saka pada di bawain bekel sama Mamanya loh. Saka mah mau pamer kalau bisa bikin bekel sendiri, keren kan?"
Astaga, Tuhan, kenapa kalimat yang diucapkan dengan penuh semangat ingin belajar ini menjadi hal yang terdengar menyedihkan di telingaku? Ada ketegaran seornag anak kecil yang hidup terpisah dari oranhtuanya dan harus menekan rasa irinya terhadap kebahagiaan orang lain.
Alih-alih memperlihatkan simpatiku, aku justru mengangguk bersemangat, aku sangat paham jika Saka adalah anak kecil yang berusaha keras untuk tetap terlihat kuat, dan aku sangat menghargai usahanya.
"Siap, bagaimana jika satu hari setiap minggunya untuk kelas Baking? Miss akan berbicara ke Papa Saka soal jadwal dan juga kenaikan gaji? Gimana?"
Saka tertawa keras, kontras sekali dengan Pradana yang mendengus keras menahan umpatannya karena kelicikanku tidak tahu tempat. "Setuju Miss, Papa harus bayar Miss mahal buat pelajaran bakingnya."
Saka, kenapa kamu gemesin banget sih?! Beda jauh sama Papamu. Rasanya menyenangkan sekali punya sekutu untuk menindas Pradana! Hahaha, jika ada satu orang di dunia ini yang bisa menang dari Pradana, itu ya anaknya sendiri.