No, in one milion year

972 Kata
Holllaaaaaa Ada satu pertanyaan yang mampir ke Mamak, kurlebnya gini, "Mak, waktu nulis Pradana sambil bayangin siapa? Biar kita juga punya gambaran gitu kek mana?" Nah, dalam bayangan Mamak, Pradana itu Rajif Sutirto ??? apalagi kalo dia lagi mode badboy main Polo, beuuuhhh pesonanya. Mamak mau cantumin fotonya tapi kalian cari sendirilah, tapi balik lagi ke selera, kalian boleh bayangin siapapun, mau bayangin Crush kalian yang benci-benci demen juga boleh banget "Miss Lili, pernah kepikiran buat jadi Mama Sambungnya Aska, nggak?" Pertanyaan macam apa yang diberikan oleh Nyonya Maryam ini? Aku curiga di dalam tepung yang kami gunakan untuk membuat bolu pisang, ada zat khusus yang membuat wanita paruh baya ini tiba-tiba saja bisa berbicara hal-hal yang ngawur. Takut jika aku salah mendengar apa yang ditanyakan oleh beliau, salah menjawab bisa-bisa beliau berpikiran jika aku kegeeran, aku melirik ke arah Saka yang tengah menyuapi Pradana dengan bolu buatan kami yang membuat kekeh tawa samar terdengar dari Pradana. Untuk sejenak aku terpaku, rasanya sangat lama aku tidak mendengar Pradana tertawa, mungkin terakhir kali ya masa SMA saat bersama teman-temannya, 8 bulan mengajar anaknya aku nyaris tidak pernah mendengarnya tertawa karena sebenarnya pun kami jarang berjumpa. Jika ada kesempatan bertemu untuk membicarakan perkembangan Saka, wajahnya akan cemberut, tidak bersahabat persis penagih hutang yang tidak mendapatkan uang tertagih. Itu sebabnya, saat Nyonya Maryam bertanya apa aku pernah kepikiran untuk menjadi Ibu sambung Saka, seketika bulu kudukku bergidik, terlalu mengerikan untuk dibayangkan, dan tidak sekalipun pemikiran tersebut terbesit di benakku. "Apa anak saya begitu mengerikan sampai kamu bergidik seperti itu?" Kembali, aku dibuat tidak bisa berkata-kata saat Nyonya Maryam bertanya, pasalnya beliau melihatku yang bergidik ngeri, raut wajah ramah beliau menjadi sangat tidak bersahabat, mungkin beliau merasa terhina atas sikapku kepadaku putranya. Astaga, kenapa jadi seperti ini nih, aku merasa aku perlu menjelaskan sejelas dan sebaik mungkin agar tidak terjadi kesalahpahaman. "Bukan seperti itu maksud saya, Bu. Pak Pradana sama sekali tidak mengerikan, good looking, good rekening pula, saya hanya keheranan dengan pertanyaan Ibu barusan. Dalam pandangan saya, sejak awal sampai hari ini, beliau adalah orangtua dari murid saya, rasanya tidak pantas jika saya memiliki perasaan romantis tersebut kepada beliau. Apalagi pertanyaan pertama saat Ibu mewancarai saya untuk menjadi guru les Saka adalah tujuan saya mengajar disini, kan? Niat saya mengajar Bu, menambah rupiah agar saya bisa makan dan berteduh hari esok, bukan caper ke Pak Pradana. Saya terlalu sibuk mempertahankan hidup saya Bu sampai-sampai saya nggak kepikiran akan hal-hal seperti itu. Bagi saya cinta nomor 719." Percayalah, saat aku berbicara seperti ini aku sama sekali tidak memiliki niat untuk menjual kesedihan demi mendapatkan simpati, tidak, aku tidak memiliki niat seburuk itu, aku hanya menegaskan jika aku tidak tertarik secara romantis kepada pria cemberut yang merasa kalah dengan wanita. Khususnya orang itu adalah Pradana Aryaatmaja, bahkan dari namanya saja aku tidak menyukainya. Apalagi orangnya. Not, in one milion year, hal itu tidak akan terjadi. Nyonya Maryam yang mendengar perumpaanku seketika meringis, beliau yang selama ini hidup nyaman tentu tidak akan paham bagaimana pusingnya hidupku ini. Semuanya serba pas-pasan dengan sangat mengerikan. "Seharusnya dengan wajah secantik kamu, kamu bisa dengan mudah mendapatkan pria kaya, apalagi dengan status pendidikanmu, saya yakin ada banyak pria yang berebut dirimu. Memangnya kamu mau berjuang hidup sendirian? Lebih enak ada yang nanggung loh, apalagi perempuan ada batas usianya, beda sama laki-laki." Normalnya aku akan tersinggung saat usiaku diungkit-ungkit oleh seseorang dan menghubungkannya dengan aku yang belum menikah, tapi kali ini entah kenapa pertanyaan beliau kini justru membuatku berpikir keras tanpa kemarahan. Mungkin karena sebagian hatiku kasihan kepada beliau yang sebelumnya sedih karena cucunya, atau justru karena kalimat beliau mengingatkanku pada almarhum Mama. "Kamu itu cantik, berpendidikan, putri Soedibjo, jadi nanti kalau kamu cari calon suami, Mama sama Papa akan carikan yang terbaik." Entahlah, apa itu termasuk tersugesti terlalu dalam ya di dalam benakku, karena meskipun kalimat itu dilontarkan sangat dulu sekali, nyatanya sampai sekarang aku sama sekali tidak gila laki-laki atau bahkan sekedar berpacaran. Meskipun orang tuaku sibuk dengan usahanya, nyatanya aku mendapatkan cinta dan kasih sayang yang penuh hingga aku tidak merasa kekurangan sampai-sampai harus mencarinya dari seorang pria. Papa adalah cinta pertamaku, pria pertama yang memberiku bunga disetiap tanggal penting, beliau juga selalu merayakan hal-hal yang kecil yang bisa aku raih. Itu sebabnya mungkin yang membuat standarku terlalu tinggi hingga membuat pria disekelilingku terlihat mengabur, ditambah dengan masalah ekonomi yang sama sekali tidak aku sangka, semakin cinta itu menjadi prioritas yang kesekian. "Entahlah Bu, saya tidak terpikir sama sekali ke arah sana. Terlebih saya meyakini, pria baik dan setia sampai akhir tidak akan hanya melihat seseorang dari penampilannya saja. Wajah cantik akan menua dan keriput, bukan tidak mungkin seorang yang menikahi saya hanya karena saya cantik akan meninggalkan saya saat saya mulai menua, dan perut saya mulai bergelambir usai melahirkan. Itu terlalu mengerikan untuk saya bayangkan, Bu." Tanpa sadar aku bergidik, cukup sekali aku ditinggalkan orangtuaku, tidak mau jika harus terjadi kembali dengan seornag yang aku pilih untuk aku percaya seumur hidup. "Tapi usiamu sudah semakin tua, Miss Lili. Bagaimana jika kamu nanti tidak punya anak?" Aku menaikkan alisku tinggi, semakin heran dengan percayakan ini. "Ya sudah Bu, anak itu urusan Tuhan. Saya merasa tidak ada yang perlu saya khawatirkan soal anak. Jika pria itu mencintai saya, saya rasa dia tidak akan memaksakan hal tersebut. Bagi saya anak tidak harus berasal dari rahim Bu, jika Tuhan tidak memberikan keistimewaan itu, saya rasa itu artinya saya bisa menjadi ibu untuk anak lain yang tidak beruntung." Astaga, ini persis seperti sebuah kuis tentang masalah hidup. "Itu artinya kamu tidak keberatan dong dengan pria yang datang ke dalam hidupmu membawa seornag anak?" Tanpa sadar gigiku menggertak pelan, menahan gemas sekaligus kekesalan disaat bersamaan. "Jika dia memang jodoh saya, saya sama sekali tidak keberatan, Bu. Saya akan menyayangi anaknya, sama seperti saya menyayangi Ayahnya, terdengar naif, tapi bukankah itu adalah sebuah keharusan, bukan pilihan."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN