Nama: Liliana Soedibjo
Bunga favorit, bunga mawar ???
"Miss Lili, tunggu sebentar....."
Panggilan dari Nyonya Maryam saat aku menyiapkan payung sebelum menerobos hujan yang mulai turun membuat langkahku berhenti. Dengan enggan aku menunggu, perasaanku agak tidak nyaman, sedikit ada rasa bersalah karena sebelumnya aku sudah begitu kejam kepada beliau.
Tergesa beliau menghampiriku, tidak dengan tangan kosong melainkan ada sekeranjang buah-buahan di tangannya, seketika aku meringis, aku khawatir jika buah itu akan diberikan kepadaku, dan benar saja, sekeranjang buah itu diberikan kepadaku dengan sangat tergesa. Memang buah ini akan menjadi perbaikan gizi untukku, tapi tetap saja saat beliau memberikannya dengan penuh rasa iba dimatanya, rasa tidak nyaman itu merayapiku. Secuil egoku membuatku tidak suka dikasihani.
"Miss, tadi saya beli buah-buahan banyak banget. Miss bawa ya, hitung-hitung ini sebagai fee kelas baking Saka tadi."
Bukan aku bermaksud tidak sopan atau tidak tahu diri dengan tidak menghargai pemberian beliau, tapi aku segera mendorong sekeranjang buah itu kembali kepada beliau karena aku tidak ingin dibayar atas apa yang sudah aku lakukan kepada Saka. "Soal bayaran tadi saya cuma bercanda, Bu. Nggak serius, nggak usah repot-repot!"
Seketika wajah Nyonya Besar Aryaatmaja ini pun cemberut, kecewa dengan penolakanku atas apa yang beliau berikan. "Nggak repot, saya ngasih karena saya ingin berterimakasih atas apa yang sudah kamu lakukan ke Saka, setidaknya dengan dia sibuk di dapur kayak tadi, dia nggak terus menerus keingetan sama ucapan Mamanya yang mau bawa dia pergi ke Aussie. Nah ambil, tenang saja, nggak akan saya potong gaji, bukan pula bentuk kasihan saya ke kamu."
Aku menggigit bibirku pelan, ingin menerimanya tapi aku enggan disebut aji mumpung, ditengah kegalauanku menimbang apa yang hendak aku lakukan, tiba-tiba saja Pradana muncul, seragamnya sudah tertanggal, dan dia sudah persis seperti Bapak-Bapak normal yang ada di rumah mengenakan celana pendek hitam dengan kaos abu-abu, tidak seperti kebanyakan abdinegara yang seringkali memakai kaos press body, kaos Pradana justru oversize, aku jadi penasaran double berapa itu XLnya. Dengab kasar Pradana meraih keranjang buah tersebut dari Ibunya dan mendorongnya ke arahku yang membuatku reflek terdorong mundur.
"Ambil kalau dikasih orangtua, cukup ucapkan terimakasih, itu lebih dari cukup. Sombongnya nggak usah dipiara, Miss Lili. Nggak akan bikin perut kenyang tuh sombong!"
Orang songong teriak sombong ya itu si Pradana, huh ingin sekali aku lemparkan kaca ke wajahnya yang menyebalkan dan hobi mendengus seperti sedang membersit upil yang membandel itu. Jika bukan karena aku butuh pekerjaan ini, tentu sudah aku lakukan apa yang aku pikirkan di dalam otakku sekarang ini.
"Ya sudah kalau begitu, terimakasih Bu. Terimakasih untuk kebaikan Ibu." Ucapku setengah terpaksa, bukan untuk barang yang aku terima, tapi untuk kekesalan yang ditimbulkan oleh putranya.
"Bukan masalah Miss. Tolong jangan sungkan lain kali." Tambah beliau dengan sumringah yang langsung membuatku meringis tidak nyaman, kembali aku hendak berbalik berpamitan untuk pergi, tapi lagi-lagi apa yang aku lakukan terpaksa aku hentikan karena beliau mengeluarkan permintaan lainnya yang juga tidak aku sukai sama sekali. "Pulangnya di anterin Dana saja ya, Miss. Mau hujan, daripada nanti kehujanan bisa masuk angin."
Diantarkan oleh Pradana, demi Tuhan aku tidak bisa mengontrol wajahku yang diliputi kengerian, aku sama sekali tidak mau diantar olehnya dalam alasan apapun. Aku sudah bersiap melontarkan serangkaian penolakan dari yang sopan sampai yang kurangajar, tapi nyatanya aku kalah gercep dengan tarikan Pradana pada lengan tote bag yang aku gunakan, dia menarikku begitu saja tanpa ampun sama sekali. "Cukup bilang terimakasih itu sudah cukup, Liliana! Nggak usah sok nolak pertolongan orang lain."
Tergesa mengikuti langkahnya, ditambah dengan sekeranjang buah dan payung ditanganku membuat kepalanya selamat dari hantaman yang ingin sekali aku layangkan ke kepalanya. Jika tidak mungkin akan memukuli sikapnya yang seenaknya ini, sudah tua sikap seenaknya masih sangat melekat.
Aku sudah benar-benar bersiap untuk meledak saat dia membuka pintu, aku tidak akan pernah memaafkannya jika dia sampai mendorongku untuk masuk ke dalam mobilnya, tapi diluar dugaanku, dia hanya sekedar membukakan pintu untukku tanpa ada drama pemaksaan seperti yang aku bayangkan.
"Bisa nggak sih nggak usah seenaknya?" Hardikku jengkel, geram kali aku kepadanya.
"Nggak bisa, soalnya yang aku hadapi manusia sombong yang sok kuat dan nggak bisa menghargai sikap baik orang lain." Cibirnya penuh kesombongan.
"Aku nggak butuh simpatimu, Pradana!" Tekanku kuat-kuat, "aku tidak butuh dikasihani oleh siapapun. Aku bisa melakukan semuanya sendiri."
Sebelah alis Pradana terangkat tinggi, memberikan ejekan yang jauh lebih kentara saat dia mengeluarkan kalimatnya yang sarat celaan. "Nggak bisa apa kamu sekedar masuk ke dalam dan duduk dengan tenang? Atau sebenarnya kamu terlalu malu dengan keadaanmu sekarang yang sangat menyedihkan?"
Aku menggeram kesal, benar-benar jengkel hingga rasanya aku bisa menggigit apapun. "Aku nggak pernah malu dengan apapun yang ada di hidupku."
"Ya sudah kalau begitu masuk! Aku berbaik hati mengantarmu pulang sebagai ucapan terimakasih atas apa yang kamu lakukan ke Saka. Jika tidak membuatnya tertawa hari, percayalah, aku juga tidak akan menawarkan diri untuk mengantarmu pulang. Aku akan dengan senang hati melihatmu kehujanan biar sekalian besok masuk angin, siapa tahu hujan dan pilek bisa membuat tengkorakmu yang keras itu melunak."
Kejam sekali kalimat Pradana ini. Benar-benar tidak manusiawi, kasar, dan menyebalkan. Tidak heran jika istrinya kabur jika suaminya macam beleguk sepertinya.
"Masuk, ada yang ingin aku bicarakan, Li. Atau kamu lebih suka aku mendorong dan mengikatmu dengan simpul kematian ke kursi penumpang, percayalah, aku tidak keberatan untuk melakukan hal tersebut kepada orang yang tidak tahu sopan santun sepertimu."
Seringai itu muncul diwajahnya yang menegaskan jika ancamannya akan benar-benar dilakukan jika aku berani menolak apa yang dia perintahkan.
Pradana, dia masih sama B4jingannya seperti dulu.