Anton baru sampai di rumahnya jam sebelas malam. Hampir setiap hari ia mengambil lembur demi mendapat tambahan uang untuk melunasi hutangnya. Meski sampai sekarang hutang-hutangnya seakan bertambah, bukan semakin berkurang. Ia melihat anaknya, Vio- yang sedang tertidur di sofa ruang tamu sambil memegangi bingkai foto keluarga kecil mereka.
Ya, setelah kehilangan istri sekaligus Ibu dari anaknya—Nadin, Vio merasa sangat kehilangan. Perjuangan wanita yang ia cintai harus berakhir satu tahun yang lalu. Menyisakan luka mendalam pada hatinya maupun hati Vio. Tak ada lagi kehangatan dalam keluarga ini. Ia sibuk dengan pekerjaannya juga Vio yang sibuk dengan kuliah dan kerja paruh waktunya.
Vio adalah anak perempuan terhebat yang Anton miliki. Bagaimana tidak? Anak gadisnya ini mau susah-susah bekerja paruh waktu sejak masih SMA sampai sekarang. Sampai dia menunda kuliahnya selama dua tahun demi mencari biaya kuliahnya yang hanya mendapat beasiswa separuh. Tapi hal itu tak membuat Vio menyerah, justru dia semakin giat bekerja. Melakukan hal apapun yang menghasilkan pundi-pundi rupiah. Tentu saja yang halal.
Kesibukan mereka berdua semakin membuat hubungan mereka merenggang sebagai ayah dan anak. Jarang sekali mereka melakukan family time. Membuat Anton merasa sangat bersalah karena anaknya harus ikut menderita karena hutang yang ia lakukan.
Anton pun menghampiri Vio dan menepuk-nepuk pundak anaknya.” Bangun, Nak.”
Vio yang memang mudah terbangun pun langsung membuka matanya. Ia pun langsung duduk dan mengusap wajahnya.” Ayah udah pulang?”
Anton mengangguk.
Vio tersenyum kecil. Ia sangat jarang melihat Ayahnya. Pertemuan mereka setiap harinya hanya saat ayahnya berangkat dan pulang bekerja. Libur pun terkadang ayahnya masih masuk kantor atau melakukan pekerjaan lain untuk tambahan biaya hidup mereka. Jadi Vio sangat jarang bertemu Ayahnya sendiri.” Vio udah masakin ayah nasi goreng. Nanti dimakan ya.”
Anton mengangguk lagi.
“Lalu soal hutang … “
“Restu bicara apa?”
“Katanya dalam dua bulan ini jika kita gak bisa melunasinya, dia akan mengambil rumah ini, Yah.” Vio menunduk lesu. Ia sudah sangat merasa kehilangan saat Ibunya meninggal. Jika rumah penuh kenangan ini diambil juga, entahlah. Vio tak bisa membayangkan bagaimana sedihnya ia dan Ayahnya nanti.
Anton tersenyum getir,” jangan khawatir. Ayah gak akan membiarkan mereka mengambil rumah kita.” Ia mengusap puncak kepala Vio dengan lembut.” Kamu istirahat gih. Besok kan kuliah.”
Vio mengangguk sembari beranjak dari tempatnya. Ia pun meletakkan bingkai foto yang tadi dipeluknya ke tempat semula.” Mimpi Indah, Bu.”
………….
Sekitar jam delapan pagi, Ethan sudah berada di villa pribadinya yang terletak di dekat kawasan gunung gede. Ia sengaja datang pagi-pagi demi menghindari orang-orang yang sedang sibuk mencari keberadaannya.
Danish, sekretaris pribadi Ethan sedang sibuk membalaskan email yang kebanyakan meminta janji untuk bertemu dengan Ethan. Bahkan ada yang terang-terangan akan membayar biaya endorse asal bisa Ethan up di social medianya secepatnya.” Banyak tawaran konfrensi pers, bintang tamu dan endorse. Kamu gak tertarik?”
Ethan yang sedang asik menatap keluar balkon pun mendengus kesal. Merusak suasana saja membahas pekerjaan di saat ia sedang menenangkan diri seperti ini.” Apa mereka bodoh atau sedang menjebakku? Yang terang-terangan mengundang bintang tamu dan konferensi pers sih jelas karena mereka ingin mengulik gossip. Nah yang endorse ini … mereka kira aku kekurangan uang karena baru sembunyi beberapa hari?”
Danish terkekeh geli. Ia sangat hafal dengan sikap angkuh Ethan. Tapi ia sudah terbiasa dengan hal itu.” Mereka rela menambah biaya endorse dua kali lipat loh.”
“Aku tak peduli,” balas Ethan dengan sengit.” Kamu sudah memastikan tempat ini aman kan? Juga orang-orang yang mengurus villa ini, pastikan mereka menutup mulut jika masih betah kerja denganku,” ucapnya yang kemudian berbalik dan bersiap untuk keluar dari villa untuk sekedar mencari udara segar.
“Kamu tenang saja. Semua aman kok. Tapi jangan keluar terlalu jauh karena villa ini dekat dengan lokasi perkemahan yang biasa dipakai untuk kegiatan.”
“Tenang. Aku tidak sebodoh itu untuk bunuh diri di tempat ini.” Ethan pun benar-benar keluar dari villa dengan hoddie silvernya dan kacamata hitam. Tentu saja untuk penyamarannya.” Oh iya apa ada berita soal Lillian yang ada sangkut paut denganku?” tanyanya yang sudah berdiri di ambang pintu kamarnya.
Danish menggeleng.” Tidak ada.”
Ethan mengangguk mengerti,” aku harap semua ini bukan taktik dia yang ingin menumpang tenar dengan menjatuhkan namaku.”
…………
“Vio.” Sebuah suara membuat Vio menoleh sekaligus genggaman pada jari jemarinya yang terasa pas dan hangat.
“Abi?” Vio menyunggingkan senyumnya ketika tahu siapa pemilik suara itu. Tentu saja kekasihnya. Genggaman hangat pada jemarinya ini sudah sangat ia hafal.
“Ada kelas jam berapa?” tanya Abi yang adalah kekasih Vio sekaligus seniornya di kampus. Vio masih semester enam sementara Abi sudah masuk semester delapan dan dalam tahap penyusunan skripsi. Sebenarnya umur mereka beda satu tahun, lebih tua Vio tepatnya. Tapi karena Vio telat kuliahnya jadi dia satu tingkat lebih muda dari Abi. Mereka pun kenal sejak OSPEK dan saat itu Abi menjadi pemandu kelompok Vio. Sejak itu mereka dekat dan setahun kemudian mereka meresmikan hubungannya hingga kini.
“Bentar lagi nih. Jam delapan. Kenapa, Bi?”
“Nanti makan siang bareng ya. Aku anter kamu ke café deh,” ucap Abi yang tahu jika kekasihnya kerja paruh waktu di café aneka coffe.
Vio mengangguk,” eh tapi aku ada rapat sih. Kan dua hari lagi aku kegiatan di daerah gunung gede.”
“Oh pelantikan anggota baru silat ya?” tanya Abi memastikan. Ia tahu kekasihnya super duper sibuk. Selain kerja paruh waktu, Vio juga ikut kegiatan mahasiswa tepatnya di bidang silat atau bela diri. Vio juga sering memenangkan kejuaraan. Dibalik kelembutan wajah manis dengan kacamatanya itu, jangan pernah meragukan kekuatan Vio. Abi saja sudah pasti kalah jika harus sparing dengan pacarnya sendiri.
Vio mengangguk lagi,” iya. Tiga hari doang sih. Kenapa? Kamu mau ikut?” candanya.
Abi menggeleng cepat,” gak lah makasih. Aku aja pusing mikirin skripsi. Gimana mau ikut yang lain. Aku gak sepandai kamu.”
Vio mendengus geli. Padahal Abi adalah pria yang pintar. Buktinya dia bisa hampir lulus tepat waktu. Sementara nilai Vio kebanyakan hanya B. Itu saja sudah membuatnya sangat bersyukur.” Ya udah nanti ketemu di kantin ya jam setengah dua belas.”
“Oke. Good luck.” Abi mengusap puncak kepala Vio kemudian pergi meninggalkan pria itu untuk menemui dosen pembimbingnya.
Vio pun berjalan ke arah kelasnya yang sudah terlihat ramai. Karena kelas akan dimulai lima menit lagi dan dosen yang akan mengajar kelas pagi ini selalu tepat waktu. Buktinya saat jam delapan tepat, Pak Gasra sudah masuk ke dalam kelas dengan membawa modul tebalnya seperti biasa.
………….
Setelah hampir dua jam dengan materi akutansi yang memusingkan kepala, Vio berjalan menuju ruang kegiatan mahasiswa yang berada di halaman belakang kampusnya. Gedung itu tampak sepi. Hanya beberapa mahasiswa yang tampak duduk-duduk di taman atau sekedar mengobrol di depan ruang PKM. Vio pun naik ke lantai dua melalui tangga menuju ruang PKM Silat berada. Beberapa orang sudah berkumpul di sana untuk memulai rapat terakhir sebelum kegiatan pelantikan anggota baru di kawasan Gunung Gede Pangrango.
“Yang lain pada kemana?” tanya Vio saat mendapati beberapa panitia lain yang belum datang.
“Biasalah. Jam karet. Santai aja dulu masih pagi, Vi.”
“Iya tapi aku makan siang di luar aja ya gak bareng kalian,” ucap Vio yang merasa tak enak.
“Santai aja, Vi. Udah tahu kita pasti Abi nungguin kamu kan,” ledek Rudi yang adalah ketua PKM Silat. Sementara Vio hanya anggota biasa bidang pelatihan.
Vio hanya tersenyum geli.
Satu persatu panitia lain pun berdatangan dan akhirnya rapat dimulai.