Eru memutar bola matanya sampai nyaris keluar dari rongganya. Melihat penampilan dirinya sendiri saat ini benar-benar membuatnya muak. Matanya memerah, dengan bibir terpilin, wajah yang sedikit basah, singkatnya ia terlihat jelek sekali. Bahkan beberapa bagian rambutnya juga nampak berantakan.
Eru menghela napas berat dan menarik dirinya menjauh dari cermin. Tak lupa mengambil sebuah sisir di meja rias dan mulai merapikan rambutnya. Saat ini ia berada di apartemennya sendiri.
Eru berpikir, ia tak bisa bertemu Kazuki dalam keadaan begini, yang ia maksud adalah keadaan menyedihkan karena menangis. Sama sekali tidak menyangka jika ternyata ia terlihat seratus kali lipat lebih buruk dari dugaannya sendiri dan bersyukur karena memilih untuk pulang. Lagi pula jika Kazuki sampai melihatnya menangis, Eru akan diharuskan menceritakan sebabnya. Dan jelas ia tidak bisa secara terang-terangan menceritakan rasa bersalahnya pada Erwin lah yang membuatnya menangis.
Sekali lagi Eru menghela napas berat. Ia meletakkan sisirnya kembali, setengah melempar benda itu ke meja rias. Dan melanjutkan langkah menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Selesai begitu, sedikit merasa lebih baik karena kesegaran air, Eru menanggalkan seluruh pakaiannya satu persatu dan berganti menggunakan gaun piyama pendek yang lebih nyaman untuk dipakai.
Berusaha mengabaikan perasaan campur aduk dalam dirinya, Eru menyeret tubuhnya untuk duduk di sofa dan menyelakan televisi. Tapi bahkan tidak ada apa pun yang menarik minatnya. Jadi ia melemparkan remote televisinya sembarangan dan membiarkan benda itu menyala dengan suara pelan tanpa ditonton.
Mengalihkan pandangan ke arah jendela, Eru jadi tergoda untuk bangkit dan berdiri di sana. Apartemen kecilnya ini tidak memiliki balkon. Tapi jendela kaca yang besar ini sudah cukup baginya. Karena setiap kali melihat birunya langit dan awan-awan yang menggantung di kejauhan, cukup untuk membuat suasana hatinya membaik dalam keadaan apa pun. Seolah kebebasan yang tak dapat diraihnya itu, adalah penghiburan yang tak bisa ia dapatkan di tempat lain.
Eru mengerjap, mendadak teringat ketika pertama kali ia pindah ke apartemen ini. Saat itu ia sendiri frustasi karena tidak bisa menemukan apartemen yang sesuai dengan keinginannya. Tapi Erwin, ya benar, justru Erwin Toshiro lah yang ikut membantunya menemukan apartemen ini. Mereka berdua berkeliling seharian seperti orang gila. Dan bahkan Erwin tidak menunjukkan sedikit pun tanda-tanda lelah karena menuruti seluruh permintaannya. Apartemen ini memang lebih kecil dari yang ia harapkan, tetapi begitu melihat langit biru dan pemandangan menenangkan di balik jendela ini, Eru langsung memutuskan untuk mengambilnya.
Ah, sudah berapa lama telah berlalu? Mengingat semuanya kembali, bagaimana bisa ia hidup seperti ini sekarang?
Eru meringis saat rasa menyakitkan itu kembali meremas jantungnya. Bagaimana bisa ia secara gamblang menyakiti perasaan seseorang yang bahkan tidak tahu apa kesalahannya sendiri? Menghakiminya secara sepihak seolah ia adalah penjahat yang kotor.
Eru mendesah muram. Tanpa sadar mengangkat sebelah tangan mengusap kaca jendela itu. Bahkan di saat seperti ini pisau berdarah yang ada diingatannya terasa konyol. Segala kepercayaan mengenai Erwin benar-benar menguap tak berjejak. Darah apa? Itu pasti bukan darah. Ditambah jika dipikirkan lagi, laki-laki mana yang akan membawa pisau berdarah bekas kejahatan saat berkencan? Itu sama saja dengan bunuh diri karena membawa barang bukti bersamanya.
Dengan dengusan marah Eru memukul permukaan kaca yang datar. Lebih tepatnya ia marah pada diri sendiri. Jika memikirkan segalanya sekarang, banyak hal terasa lebih tak masuk akal dari dugaannya yang sebelumnya. Erwin memang memiliki obsesi yang berlebihan, itu fakta. Tapi melabeli Erwin sebagai psikopat gila itu sungguh hal yang berbeda. Tak ada bukti. Bahkan ketakutannya sekarang juga terasa bodoh. Ayolah, jika Erwin memang benar-benar seorang psikopat, lantas kenapa ia perlu menyia-nyiakan begitu banyak kesempatan untuk menikamnya selama ini padahal ia memiliki obsesi yang besar?
Eru merasa sangat gusar. Bahkan berharap bisa menghentikan sesuatu dalam dirinya untuk menyalahkan dirinya sendiri. Namun tentu saja ia tidak akan bisa. Tidak akan semudah itu. Jadi sekali lagi, yang entah sudah keberapa kalinya, ia membuat sebuah kesimpulan, Erwin tidak pernah sekali pun menyakitinya bahkan saat kesempatan didorong ke depan matanya. Terlepas dari obsesinya yang, agak menjijikkan, ia tetap bersikap baik bahkan menjaganya dengan hati-hati.
Menyeret dirinya sendiri menjauh dari jendela. Eru menjatuhkan tubuhnya kembali ke sofa. Terhenyak keras dan berharap bisa pingsan karena gerakan itu. Tapi ia masih sepenuhnya sadar saat pikirannya melanjutkan, setelah kembali ke Jerman karena masalah keluarga, dengan kejamnya Eru memutuskan hubungan secara sepihak dan tidak membiarkan Erwin tahu apa pun mengenai dirinya. Dan sekian lama setelah akhirnya ia kembali, ia masih begitu baik menyiapkan hadiah hanya untuk mendapati Eru sudah berhubungan dengan laki-laki lain, seolah tak cukup, bahkan melihat dengan mata kepalanya sendiri, hadiah yang telah ia siapkan jauh-jauh hari dibuang begitu saja dengan begitu kejamnya di tempat sampah. Oh, Erwin... bagaimana bisa hatinya tidak hancur melihat semua itu? Bahkan alih-alih bersikap buruk ia masih menahan diri dan menjauh dari Eru karena tahu orang yang dicintainya takut padanya.
Eru mengerang marah. Berhenti, sungguh jangan berpikir apa-apa lagi... Berhenti... Tetapi pikirannya sama sekali tidak mau menurut dan melanjutkan.
Jika kau yang berada di posisi Erwin, apa yang akan kau rasakan? Aku ragu kau masih mampu berjalan dengan kedua kaki dan tersenyum pada semua orang seolah tak ada yang terjadi.
Eru meraih bantal kecil di sisinya dan melempar benda itu sampai menabrak layar televisi. Seolah benda itu lah yang menyebabkan kebisingan di dalam kepalanya.
Kemudian seolah tersadar dari kemarahan yang tak berguna. Eru menjatuhkan dirinya kembali pada sofa dengan lambat. Ia jatuh menunduk, hatinya terasa terkoyak-koyak. Sekali lagi teringat bagaimana Erwin bertanya padanya saat di lift... Bagaimana ia membuang muka dan menahan tangisnya sendiri. Bagaimana ia begitu terkejut saat melihat raut wajah Eru yang dikiranya adalah kebencian untuknya.
Sekali lagi, Eru mengutuk wajahnya sendiri. Kenapa ia harus terlihat seolah ingin menebas kepala semua orang yang dilihatnya saat sedang berpikir keras? Kenapa dalam banyak kesempatan raut wajahnya bisa terlihat begitu dingin dan memuakkan?
Semua orang... tidak, tidak sedikit orang yang memujinya cantik. Itu benar, ia memang cantik. Tapi wajah cantik ini, untuk pertama kalinya, membuat Eru merasa muak. Ia cantik, sangat cantik... Dan meski tidak mau mengakuinya, ia memiliki tubuh langsing yang cenderung mungil. Membuatnya sangat cocok dengan dandanan yang feminim dan imut. Ia akan terlihat manis sekali saat tersenyum. Tapi saat memikirkan hal tertentu dalam kepalanya, tanpa sadar menunjukkan raut wajah yang memuakkan itu, bahkan orang lain pun akan berjengit karena kaget. Bagaimana bisa sosok bak boneka mungil ini menunjukkan ekspresi semacam itu? Rasanya sulit diterima dan tidak cocok dengan pembawaannya yang manis.
Eru memekik tertahan. Menahan rasa frustasinya di tenggorokan dan mengusap wajah dengan kedua tangan. Persetan dengan pendapat semua orang. Yang terpenting, KENAPA IA HARUS MERASA SANGAT BERSALAH SEPERTI INI?
Menegakkan tubuhnya kembali, Eru tepat memandang layar televisi yang masih menyala. Seolah tidak tahan lagi, ia meraih remote dengan ganas dan mematikannya.
Rasa bersalah ini sangat menyiksa. Ia memang tipe orang yang terlalu mudah merasa bersalah. Apalagi kesalahan sebesar ini.. Tapi tetap saja, Erwin juga bersalah. Dan dua sisi dalam dirinya itu terus berdebat. Membuatnya lelah karena kegilaan yang tidak habis-habis.
Setidaknya Eru tahu pasti satu hal yang sangat disesalinya. Kenapa dulu ia tidak mencoba membicarakan hal itu pada Erwin? Kenapa ia terlalu mudah tenggelam pada pikiran buruk dan menjadi t***l? Jika saja saat itu ia mencari jalan keluar alih-alih menghindar, segalanya tak akan jadi seperti ini...
Mendadak terdengar suara dering samar, Eru tersadar dari lamunan dan memandang sekeliling ruangan. Oh, ponselnya berbunyi. Ia pun bangkit dan meraih benda itu di meja rias.
"Kazuki," Eru bergumam tanpa sadar sebelum akhirnya menempelkan benda itu di sebelah telinga.
Suara Kazuki yang masuk dalam pendengarannya, membuat Eru merasa tenang seketika. Menahan diri untuk tidak mengeluarkan keluhan dari mulutnya, Eru menarik kursi dan duduk dengan perasaan lega. Meski tidak sepenuhnya, ia merasa lebih baik.
Menanggapi pertanyaan Kazuki, Eru menjawab. "Ya, aku merasa agak tidak enak badan, makanya aku langsung pulang," mengingat bahwa belakangan ia selalu pulang ke apartemen laki-laki itu, pastilah membuat Kazuki bertanya-tanya ke mana Eru setelah ia sendiri pulang tidak mendapatinya di sana.
Eru memutar mata mencari jam dinding dan mengerjap sekali. "Oke, sampai jumpa nanti."
Sebelumnya Kazuki mengatakan akan datang ke apartemen Eru sekaligus membawa makan malam. Memang masih terlalu awal untuk itu, tapi kehadiran Kazuki bukan sesuatu yang ingin ia tolak.
Jadi setelah meletakkan ponselnya kembali, Eru bergegas mencuci wajahnya lagi dan sedikit beres-beres. Ia tidak ingin ada jejak kesedihan yang terlihat saat Kazuki datang. Karena ia sama sekali tidak memiliki alasan apa pun untuk diceritakan pada Kazuki.