Chapter 7

1376 Kata
Sama seperti kemarin, Kazuki memiliki urusan sendiri untuk diurusi. Dan Eru sudah menempel lagi pada Akemi dan Shina. Ia juga bersyukur karena kecanggungan di masa lalu telah sepenuhnya menguap, seolah tidak ada satu pun yang terjadi. Tapi sayang kenyataannya tidak semulus yang Eru pikirkan. Karena saat ia mengatakan pada kedua temannya untuk makan siang bersama di kafetaria, baik Shina mau pun Akemi menunjukkan reaksi terkejut yang sama. Jadi Eru hanya bisa memberikan senyum menyedihkan tanpa menjelaskan apa-apa. Eru sangat tahu, bahwa di tempat itu pasti ada Erwin Toshiro. Namun justru karena itu lah yang membuat Eru ingin pergi. Ia sendiri tak tahu apa yang sebenarnya ia inginkan. Seolah hanya sekedar memastikan Erwin baik-baik saja, atau barang kali menunjukkan bahwa ia tidak takut padanya, akan membuat suasana hatinya membaik, dan rasa bersalah itu bisa terobati. Ah, aneh sekali bukan. Di sini Erwin lah yang tersakiti, tetapi justru Eru yang gelapan karena tidak sanggup menahan rasa bersalah. "Kazuki bagaimana?" Akhirnya Shina bertanya. "Dia baik-baik saja, tak ada yang perlu dicemaskan," Eru berkata dengan sungguh-sungguh, setengah berharap Shina mengerti bahwa ia malas untuk membalas itu dan tidak bertanya apa-apa lagi. Shina mengangkat bahu. "Yah, kukatakan sejujurnya padamu. Sejak kesalah pahaman terakhir kali Erwin dan Kazuki belum berbaikan lagi kan. Dan sejujurnya itu membuat suasana agak canggung sekarang." Ya, Eru tahu. Karena sebagai pihak yang berada tepat di antara keduanya, Eru merasa dirinya lah yang justru berperan menuang minyak dan melemparkan api untuk membakar mereka. "Aku merasa agak tidak enak hati," ia berkata dengan jujur. Akemi mendengus menunjukkan ketidak persetujuan. "Ini bukan salahmu, omong kosong macam itu, abaikan saja. Mereka berdua yang tidak bisa bersikap dewasa dan mendadak bermusuhan. Sama sekali bukan salahmu." Eru merasakan dorongan kuat untuk memeluk temannya yang satu itu. "Yah, yah, mereka memang kekanak-kanakkan," Shina berujar lagi sambil lalu. Setelahnya tak ada obrolan lagi mengenai Erwin mau pun Kazuki. Sampai akhirnya mereka sampai di pintu masuk kafetaria yang luas. Diam-diam Eru memandang sekeliling ke segala penjuru. Siapa lagi yang ia cari jika bukan seseorang justru sempat ia takuti setengah mati? Benar.. benar.. mengingar ketakutanmu membuatnya merasa sangat konyol. Ah, itu mereka. Pandangan Eru berhenti pada sebuah meja di mana Erwin duduk bersama Hori dan Yama. Seperti biasanya Yama bicara dengan suara keras disusul tawanya yang membahana. Sangat tidak tahu sopan santun, tapi Eru menyadari ia agak merindukan saat-saat bisa tertawa lepas bersama teman-temannya seperti itu. Ia memerhatikan Erwin yang tengah makan sambil memerhatikan Yama. Sesekali ikut memberi tanggapa dan ikut tertawa. Eru menarik napas, mengembuskannya perlahan kemudian dan terus mengulanginya secara teratur berulang kali. Akemi dan Shina nampak ragu-ragu. Perlukah mereka bergabung dengan Yama dan yang lainnya seperti biasa dengan Eru di sini? Eru merasakan kepahitan melihat reaksi samar kedua temannya itu. Sampai kemudian, secara tiba-tiba pandangan Erwin terangkat dan terarah tepat padanya. Untuk sesaat ia dan Erwin hanya saling pandang. Segala reaksi yang ingin Eru tunjukkan seolah terkunci. Ia tidak bisa melakukan apa pun selain menunjukkan raut wajahnya yang aneh, separuh terkejut, separuh ingin tersenyum untuk menyapa, tapi juga takut jika keramahannya yang tiba-tiba akan memberikan kesan sebaliknya. Erwin menjatuhkan pandangan kembali dan mengaduk makan siangnya dengan canggung. Tak lama setelahnya Yama menyadari keberadaan mereka dan melambaikan sebelah tangan dengan bersemangat. Diikuti seruannya yang berisik mengajak mereka untuk bergabung tanpa peka sama sekali. Eru berpura-pura tidak melihat Yama yang memanggil dan mengalihkan pandangan, mendadak sibuk dengan apa pun yang tengah dilihatnya. Tapi tak lama karena perhatiannya kembali tertarik ke meja itu. Dan pada saat itu ia melihat, Erwin membereskan ransel dan meraih ponselnya di meja. Entah apa yang dia katakan pada Hori dan Yama sambil tersenyum itu, yang jelas Erwin langsung pergi setelahnya. Bahkan ia berbalik memilih pintu masuk lain di kafetaria agar tidak berpapasan dengan Eru. Seketika tanpa sadar, Eru menahan napas dan merasa seolah jantungnya dijatuhkan ke perut. Rasanya sangat tidak nyaman, membuatnya ingin merintih atau menangis sekalian. Tapi lebih dari itu, ia benar-benar menyesali keputusannya dan ingin menghilang. Ia bisa saja berbalik dan lari. Tapi semua orang sedang menatapnya saat ini. Bahkan Hori yang saat itu duduk membelakangi mereka pun berbalik ke arahnya setelah Erwin pergi. Akhirnya, Eru tidak memiliki pilihan lain selain menarik napas dengan kasar dan tersenyum. Yama belum sepenuhnya menyadari apa yang terjadi. Karena saat Erwin berpamitan padanya, ia sama sekali tidak memperhatikan karena sibuk melambai-lambaikan sebelah tangan pada mereka. Jadi setelah menyadari suasana mendadak berubah dan Erwin tak lagi ada di sisinya, ia pun menarik kedua tangannya dengan canggung. Eru merasa ingin menangis dan menelepon Kazuki sekarang juga untuk menjemputnya. Dalam hati terus meneriakkan sumpah serapah pada diri sendiri. Tapi kemudian ia menyadari satu hal baru yang tak kalah menyakitkan. Barangkali pertemanannya tak akan sama lagi setelah ini. Selama Kazuki menghindari Erwin dan Erwin menghindari ia dan Kazuki, maka kecanggungan di antara mereka akan terus membentang. "Kau tak apa?" Akemi bertanya dengan suara getir. Bahkan Eru serasa mampu mengecap kegetiran itu pada lidahnya sendiri. "Tak apa," ia memaksakan seulas senyum lagi. "Maaf," Yama berbisik entah pada siapa saat mereka bertiga sampai di meja. Eru tidak mengacuhkannya dan berharap dengan sungguh-sungguh Yama tidak pernah mengatakannya. Ia mengambil kursi di sebelah Hori, tepat berhadapan dengan kursi yang baru ditinggalkan Erwin. Menyadari semua orang masih diam karena kecanggungan, membuat Eru jadi tidak tahan lagi. "Aku minta maaf," ia berkata dengan sungguh-sungguh sambil menundukkan kepala. Semua orang terkejut dan beberapa bahkan tersentak. Hori yang duduk tepat di sebelahnya bahkan sampai memiringkan kepala dan membungkuk, seolah ingin melihat raut wajah Eru yang setengah tertutup rambut panjangnya yang terurai secara langsung. Terlepas dari entah apa yang ingin Hori pastikan dari wajahnya, Eru bertekad tidak akan mengangkat wajah sebelum ia mampu menyingkirkan segala kepedihan hatinya. "Aku benar-benar minta maaf, semua ini salahku?" "Apa maksudmu?" Hori bertanya dengan heran, menatap Eru seolah baru melihatnya pertama kali. Eru menarik napas susah payah tanpa suara dan melanjutkan. "Semua ini, aku sadar segala hal menjadi tak nyaman karena.. karena aku," meski Eru tahu ini bukan sepenuhnya salah dirinya. Tapi akan lebih mudah untuk mengatakannya seperti itu. "Ini bukan salah dirimu," kedua alis Akemi bertaut, ketidaksetujuan seolah terpampang jelas di wajahnya. Bahkan kilatan di balik mata yang tertutup kaca mata itu pun menunjukkan reaksi yang sama. Dan andaikan saja Eru tidak terlalu malu terlihat sekalut itu dan mau mengangkat wajah, maka ia akan menyaksikan dengan jelas bagaimana semua teman-temannya menunjukkan ketidaksetujuan yang sama. "Ah, omong kosong, angkat kepalamu," Hori berkata lagi dengan sabar. Eru merasa sudah terlalu lama menunduk dan benar-benar mengangkat kepala. Dan apa yang dilihatnya dari raut wajah semua orang membuatnya ingin menangis. Kenapa tidak seorang pun yang menyalahkan dirinya? Kenapa paling baik mereka hanya menatapnya dengan tatapan 'kau sangat bodoh'. "Kau tahu, aku memang tidak berpengalaman atau semacamnya," Yama memulai. "Tapi ini bukan salahmu. Dan aku sama sekali kenapa kau perlu meminta maaf." "Kau terlihat bodoh," Shina dengan jujur mengatakan isi kepalanya. Membuat Hori seketika memukul kepalanya dengan gerakan main-main. "Terlepas dari perubahan ini, semua itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan kami," Hori berujar dengan bijak. Sungguh sangat seperti dirinya yang selalu menggambarkan kesan dewasa dibanding siapa pun di meja ini. Eru mengerjap dan tidak tahu harus berkata apa. Karenanya ia hanya diam dan menunggu sampai semua orang mengatakan apa pun yang mereka suka. Akemi mendesah keras dan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. "Ah, aku benar-benar heran, berapa usia mereka sebenarnya? Kenapa sangat kekanak-kanakkan begini?" Itu bukan pertanyaan yang khusus ditujukan pada siapa pun, dan Akemi juga tidak mengharapkan jawaban. "Sudahlah, lupakan saja Eru. Itu bukan urusanmu, ayo kita makan saja, lupakan masalah dan bersenang-senang." Mendengar pendapat Shina itu, Eru pun nyengir. Meski tahu ia tak akan bisa mengambil tindakan sederhana dengan melupakan mereka, karena bagaimana pun posisi dirinya di tengah tepat di antara Erwin dan Kazuki. "Nantinya juga akan kembali seperti biasa," Hori menambahkan. "Ini hanya masalah waktu," kemudian dengan ragu-ragu sejenak ia menambahkan. "Anggaplah kita semua juga pernah merasa patah hati." "Aku tidak pernah!" Shina berseru seolah tanpa dosa, membuat Hori sekali lagi memukul kepalanya. Eru bergeming. Meski begitu, dalam lubuk hatinya ia mulai berharap bahwa semua ini hanya masalah waktu. Erwin akan melupakan dirinya dan segalanya akan baik-baik saja lagi. Eru juga tidak berharap ia bisa berteman seperti semula dengan Erwin. Sekedar memastikan jika tindakannya tidak lagi menyakiti laki-laki itu saja sudah cukup. Eru mendesah muram. Benar-benar berharap waktu itu akan segera datang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN