Beberapa hari lagi telah berlalu dan Kazuki tak lagi diam-diam mengernyitkan kening tiap kali meninggalkan Eru karena urusannya sendiri. Dengan kata lain, ia sudah tidak menempel sepanjang hari padanya. Sisi positifnya Eru jadi bebas berkumpul bersama Akemi dan Shina. Tapi mendapati rasa aman di sekitarnya menghilang, bukan sesuatu yang bagus baginya. Karena itu, sering kali, secara mendadak, ia akan bergerak gelisah dan memandang sekeliling dengan tatapan panik tersembunyi. Takut jika tiba-tiba bertemu Erwin atau laki-laki itu akan mendatanginya.
Tapi Eru dapat sedikit bernapas lega karena hal-hal yang ditakutkannya terjadi. Bahkan terkadang ia sampai heran dan bertanya-tanya, di mana Erwin? Di mana stalker gila itu belakangan ini? Sama sekali tidak terlihat lagi batang hidungnya. Lalu setelah itu Eru akan tersenyum puas pada diri sendiri. Tapi tetap memberi batasan tertentu pada diri sendiri dan tetap memasang kewaspadaan.
Dengan kondisi ini, tentu saja ia tidak dapat tidak berpikir dirinya akan gila cepat atau lambat. Rasa takut bukan sesuatu yang bisa dinikmati, setidaknya bagi Eru sendiri. Ia mengembuskan napas kuat-kuat dan memiringkin kepala sedikit ke satu sisi, kepalanya masih tertunduk pada ponsel yang ia bawa dengan kedua tangan. Saat ini ia sedang berada dalam lift menuju lantai dasar, dalam perjalanan pulangnya menuju apartemen Kazuki sendirian. Baru saja semua orang dalam lift berjalan keluar meninggalkan Eru sendirian. Dan karena ia masih sibuk berurusan dengan ponselnya, maka ia sama sekali tidak menyadari kehadiran seseorang yang masuk. Yang menjadikan kini ia hanya berdua saja dengan orang itu. Ya, itulah satu-satunya orang yang mampu membuatnya ketakutan setengah mati.
Baru setelah beberapa saat setelah pintu lift kembali tertutup. Ia merasakan siluet tinggi di sisinya, berdiri jauh nyaris menempel pada sisi lain lift. Eru merasakan kecanggungan itu dan menoleh. Benar saja, dalam seketika ia merasa seluruh isi perutnya jatuh ke lantai. Tubuhnya membeku menatap tubuh jangkung Erwin Toshiro yang menjulang.
Meski secara fisik ia tidak menunjukkan reaksi apa pun, tapi dalam diri Eru seolah menjadi begitu berantakan. Dan dalam gerakan yang lambat namun pasti, wajahnya ikut memucat. Mengabaikan jantungnya yang berdetak gila-gilaan. Eru menarik wajahnya kembali menatap ponsel. Kedua tangannya masih menekuk ke depan seperti semula, ia baru akan menghubungi siapa pun karena terdorong rasa panik. Tetapi bahkan sebelum dirinya mampu menggerakan satu jari pun, suara berat Erwin terdengar memenuhi ruangan sempit itu.
"Kenapa kau takut padaku?"
Eru seolah dipaksa untuk menoleh lagi pada laki-laki itu. Tapi Erwin bahkan tidak memandangnya. Ia menatap lurus ke depan, dan nada suaranya, bahkan jika Eru sangat bodoh sekali pun, ia tahu nada suara itu terdengar sedih. Seperti kesedihan yang sengaja ditahan, ini tidak beres. Ini sama sekali tidak seperti Erwin biasanya. Dan hal ini membuat perasaan Eru berkecamuk dengan aneh. Kemudian ia juga memikirkan ini, bahkan sejak awal masuk, Erwin membuat jarak begitu jauh dengannya. Seolah sengaja menghindarinya kan?
Eru merasa tenggorokannya kering. Ia tidak tahu harus berkata apa di tengah kekalutan itu. Rasa takutnya yang biasa berganti-ganti dengan perasaan-perasaan lain yang membingungkan. Sangat.. sangat aneh. Kenapa ia perlu merasa seperti ini.
Mendadak Erwin menghela napas berat dan menunduk. Seolah kepalanya dengan lemah terkulai. Eru nyaris tersentak menyedihkan melihat hal itu. Tetapi kesedihan dan kekecewaan yang ia lihat dari sisi wajah tampan itu.. terasa sulit diabaikan.. Karenanya, lagi-lagi Eru terpaku diam.
Erwin tak terlihat sengaja melakukan gerakan kecil itu, lantas saat merasakan tatatapan Eru, ia menoleh, tapi secepat kilat mengalihkan pandangan lagi. Membiarkan kepalanya menunduk sedikit ke depan.
Melihat hal ini membuat Eru merasa ingin menampar diri sendiri. Berharap bisa terbangun dari mimpi. Ah, ini benar mimpi kan?
Kenapa Erwin bersikap begitu? Apa yang salah? Ia tidak seperti biasanya..
Tanpa menoleh pada Eru, Erwin bicara lagi. Suaranya masih terdengar begitu berat seolah sedang menanggung beban, bahkan sedikit terdengar bergetar. Serupa kau saat tengah menahan tangis. "Kenapa kau takut padaku? Aku bahkan tidak tahu apa salahku."
Dengan cepat Eru menahan segala umpatan yang menyeruak ke ujung bibirnya. Ia membungkam diri sendiri dan tatapannya berubah marah, memandang sengit pada sosok tinggi itu. Kau tidak tahu salahmu di mana? t***l benar. Kau sangat menjijikkan berpura-pura suci begitu.
Kemudian Erwin melanjutkan tanpa menoleh, jadi ia sama sekali tidak menyadari tatapan Eru pada dirinya. "Aku memang tidak sengaja melihatmu membuang hadiah dariku."
Segala sumpah serapah dalam kepala Eru seketika berhenti menjadi kekosongan dingin yang mengerikan. Ia bahkan tanpa sadar telah menahan napas.
"Tapi, meskipun hadiahku menyinggungmu atau Kazuki atas ketidaktahuanku, setidaknya sebagai teman, melihat hadiah yang jauh-jauh kau siapkan malah dibuang di tempat sampah, apa yang akan kau rasakan?"
Kepedihan dalam suara itu membuat Eru membeku. Seolah ada sesuatu yang tepat menusuk jantungnya. Seperti sebuah sumpit tajam yang dingin. Membuatnya merasa sakit, tapi juga merasa pedih karena rasa dingin itu. Seolah beku, membuat jantungnya ikut berhenti berdetak.
Eru mengerjap, rasanya sangat sulit. Bagaimana bisa kau merasa baik-baik saja saat seseorang membuat perasaanmu jungkir balik dalam waktu singkat seperti roaler coaster?
"Aku.." Kenyataannya Eru tidak tahu apa yang harus dikatakan. Meski begitu, ia akui ia merasa bersalah. Memposisikan dirinya sebagai seorang teman yang tidak dihargai, rasanya memang sangat menyakitkan.
Mendengar kata itu, Erwin menoleh. Dan apa yang Eru lihat dalam mata birunya yang indah membuat Eru ingin menghilang saja. Kepedihan dan kekecewaan itu terlalu nyata. Dan hal itu bukan sesuatu yang bisa kau lihat dengan mudah dari seorang Erwin Toshiro. Bahkan sepanjang eksistensinya, ia belum pernah melihat Erwin menunjukkan raut kesakitan semacam itu. Seolah... Seolah sosok di hadapannya kini bukan sosok yang beberapa waktu lalu memberinya tatapan dingin tak dikenal yang membuatnya ketakutan setengah mati. Eru tidak bisa mencegah dirinya sendiri untuk tidak berpikir, bahwa kedua orang itu sama sekali berbeda. Lantas siapa sosok yang kini berdiri di hadapannya? Ini terasa lebih seperti Erwin Toshiro yang sebenarnya.
Tanpa mengalihkan pandangan, Erwin bicara lagi. "Tapi mungkin itu juga salahku," alisnya bertaut seolah menunjukkan permohonan maaf yang takut. "Aku sangat marah melihatmu membuang hadiah dariku. Jadi tanpa berpikir panjang aku mengambilnya kembali di tempat sampah," kepahitan saat mengucapkan kedua kata terakhir itu membuat Eru ikut mengernyit sakit.
"Lalu aku membawanya kembali padamu, aku masih sedikit berharap kau memberiku setidaknya sedikit penjelasan. Kenapa? Kenapa membuangnya? Kenapa memperlakukanku seperti ini? Jika kau memang tidak suka kau bisa mengembalikannya padaku. Aku benar-benar..." Erwin tak sanggup melanjutkan kalimatnya dan membuang muka dengan segera.
Eru mengerti. Mata Erwin yang berubah kemerahan dan berair. Laki-laki ini sedang menahan diri untuk tidak menangis sekarang. Dan melihatnya begini membuat d**a Eru terasa begitu tercabik. Apa yang salah darinya? Erwin memang bersalah. Dia stalker gila. Eru bisa membuktikannya bahwa Erwin memang lah seorang stalker, ah tidak, bahkan kata-kata itu terasa terlalu kasar sekarang. Mungkin lebih tepatnya, Erwin hanya terlalu terobsesi pada dirinya di masa lalu. Tapi selain hal itu, bisakah kau membuktikan bahwa Erwin adalah laki-laki yang jahat? Apakah ia telah melakukan suatu kejahatan kejam yang membuatnya pantas diperlakukan begitu?
Mendadak begitu banyak pertanyaan menyerbu dalam kepala Eru. Dan saat ini, ia benar-benar mempertanyakan kewarasannya sendiri. Mempertanyakan kebenaran sikapnya sendiri.
Ya, di masa lalu Erwin memang seperti itu. Hal-hal menjijikkan yang dia lakukan dulu, bahkan terasa tak begitu buruk sekarang. Eru tidak mengerti kenapa perasaannya bisa berubah begitu cepat. Tapi rasa bersalah yang menyesakkan dadanya terasa lebih mendesak. Ia menatap Erwin lekat-lekat, alisnya bertaut sedih. Tapi tidak ada apa pun yang bisa ia katakan.
Sebagai teman.. bahkan setidaknya sebagai seorang taman? Diperlakukan begitu.. Tapi masalahnya jelas Erwin tidak hanya menganggapnya sebagai teman. Tulisan dalam bola kaca itu membuktikan perasaanya masih ada. Dan hal itu membuat semua ini tak menjadi lebih baik, bahkan menjadi seribu kali lebih buruk. Erwin memang bersikap semacam itu di masa lalu. Tapi sekarang.. sekarang ia bahkan sengaja menjaga jarak darinya karena tahu Eru takut padanya. Ah, mengingat pertanyaan Erwin pertama kali membuat janting Eru serasa diremas. Ia mengernyit sakit tanpa sadar.
Eru jadi mulai berpikir, apakah belakangan Erwin juga sengaja menghindarinya? Karena tidak ingin membuat Eru ketakutan atau merasa terancam? Bahkan di waktu sebelumnya tiap kali berpapasan. Erwin juga bersikap seolah tidak melihatnya dan dengan cepat menyingkir kan?
Ah, kenapa ia baru menyadari semua itu sekarang? Bagaimana pun di masa lalu Erwin memang.. memang seperti itu. Tapi sekarang, Erwin bahkan begitu menjaga perasaannya dan Eru secara terang-terangan menunjukkan sikap yang membuat laki-laki itu tercabik-cabik.
Eru terus mempertanyakan kemanusiannya sendiri dan tidak sadar saat ini keningnya berkerut dan alisnya bertaut, sejujurnya ini ekspresi saat ia sedang berpikir keras. Tapi Erwin menoleh pada saat yang sangat tidak tepat dan terkejut melihatnya, beranggapan bahwa Eru memang membencinya.
Kilatan kepedihan di mata birunya sangat jelas, membuat Eru ikut terkejut.
"Aku, benar-benar minta maaf," selesai berkata begitu Erwin melangkah pergi.
Eru membeku di tempatnya tanpa kata-kata. Tidak. Tidak begitu Erwin. Itu tidak seperti yang kau pikirkan. Aku tidak bermaksud menunjukkan reaksi seperti itu...
Tapi sudah terlambat, saat dengan terburu-buru ia melangkah keluar, Erwin sudah berada begitu jauh. Masih setengah berlari sebelum akhirnya memperlambat langkah saat keluar dari pintu masuk utama gedung ini.
Eru merasakan kepedihan menjalar ke seluruh tubuhnya. Apa yang sudah ia lakukan? Alih-alih bersikap bodoh atas ketakutan tak berdasar, bukankah lebih baik jika ia memastikan terlebih dulu kesalahan Erwin yang sebenarnya. Memastikan apakah laki-laki itu sadar atas obsesinya yang berada di tingkat mengerikan. Bukannya menyakitinya sepanjang jalan tanpa ia tahu sendiri apa kesalahan dirinya.
Karena faktanya, jika Erwin memang memiliki niat buruk pada dirinya. Bukankah akan jauh lebih muda baginya untuk menculik Eru dan menyimpannya untuk diri sendiri? Tapi lihat yang justru dia lakukan! Menjaga jarak sejauh mungkin dan berhati-hati agar tidak membuatnya takut. Sekali lagi, jika Erwin memang memiliki niat jahat padanya, bukan hal yang sulit untuk melakuan sesuatu dan Eru tak akan bebas berjalan-jalan di mana saja seperti ini.
Menahan dorongan keras untuk menjambak diri sendiri. Eru melanjutkan langkah dengan langkah menghentak-hentak.
Apa yang sudah kau lakukan? Apa yang sudah kau lakukan? Apa yang sudah kau lakukan?
Pertanyaan itu terus berulang dalam kepalanya, membuatnya ingin menangis. Tanpa sadar kebencian dan rasa takut pada Erwin telah menguap sepenuhnya, dan yang tersisa hanya rasa bersalah yang menyesakkan, yang membuatnya ingin menangis dan mengutuk sendiri. Terlebih saat mengingat sebaik apa sikap Erwin di masa lalu, terlepas dari obsesinya yang menjijikkan dia memang sepenuhnya laki-laki baik kan?
Ah, kenapa harus seperti ini...
Erwin bahkan tak pernah memiliki niat buruk padanya. Karena kalaupun ia punya, sudah begitu banyak kesempatan baginya untuk melakukannya, tapi tidak. Eru masih dengan sehat berdiri dan bebas.
Eru keluar melewati pintu kaca, dadanya masih terasa sesak. Dan setitik air mata penyesalan mengalir turun dari sudut matanya. Belum pernah... belum pernah sekali pun seumur hidup ia merasa seburuk ini.