Chapter 5

1033 Kata
Zale kembali menjejakkan kaki jenjangnya di tempat kejadian perkara. Disebuah toko ayam cepat saji yang kini sudah berubah menjadi bangunan horor dengan bekas terbakar dimana mana dan kasus yang menimpa pemiliknya. Pria itu bisa berargumen dengan sangat yakin bahwa sehabis kasus ini selesai, nilai bangunan ini akan turun dan menjadi susah terjual. Rumor rumor yang beredar dari mulut kemulut terkadang menjadi salah satu penyebab orang orang berpikiran irasional mengenai jadi atau tidaknya membeli bangunan. Apalagi jika orang yang sedang mencari bangunan adalah orang yang belum mahir di bidangnya. “pak” seorang detective lokal dari kepolisian setempat yang menemaninya datang menghampiri. “bukankah kita dititahkan untuk kembali ke kediaman korban dan nyonya Jessica?” tanya pria itu pelan. Zale mengangguk mendengarkan meskipun arah matanya tetap fokus pada hal yang sedari tadi menganggu pikirannya. “ya, bisakah kau yang kesana untuk mencari bukti yang lain? Ada yang harus aku kerjakan disini” titahnya yang disanggupi oleh rekan barunya itu. Sepeninggalan pria asing yang baru ia kenal kemarin malam, pria jangkung itu berjongkok dibalik meja yang awalnya merupakan meja kasir. Melinik sebuah brangkas mini yang semakin membuatnya merasa curiga. Mengapa hal seconfidential brangkas bisa ada disebuah toko ayam, bukannya di rumah pribadi sang pemilik. Sebuah tipe brangkas digital yang tentu saja tak ada yang tahu kombinasi angkanya selain pemiliknya. Namun tentu saja pria itu mengetahui dimana tempat untuk memasukan kunci –jikalau pemiliknya melupakan kata sandinya- berada. Dibalik lempengan loga bertorehkan merk yang ada ditengah tengah  pembuka dan angka angka. Apakah dia memiliki kuncinya? Tentu saja tidak. Namun membuka kunci brangkas model seperti ini tak terlalu sulit. Hanya bermodalkan dua bobypin yang selalu ia selipkan dikaru tanda pengenalnya. Salah satu pin ia masukkan hingga mentok, lalu yang satunya lagi digunakan untuk memutarkan kunci dari dalam. Dan Voila- Easy peasy lemon squeezy, terbuka dengan mudahnya. Tak banyak hal yang bisa ditemukan disana. Hanya beberapa lembar uang dan secarik kertas yang berisikan- “hm? Apa ini? ...menempati tanah milik negara tanpa izin...” permintaan penghentian kontruksi yang sejujurnya belum bisa diketahui kontruksi macam apa yang harus dihentikan, dan mengapa si korban memiliki surat ini.  Dirinya dengan cepat memasukkan surat tersebut ke kantung identifikasi barang bukti yang nantinya akan ditunjukan kedalam bagian introgasi, atau jika beruntung, merupakan sebuah bukti yang akan dijadikan bagian dari proses di pengadilan. Lututnya kembali diluruskan. Pria itu bangkit untuk kembali mengamati sekitar. Pandangannya mengamati bekas bekas jejak yang tadinya berisikan banyak barang yang saat ini sudah berada di gedung forensik untuk dicari kemungkinan keberadaan sidik jari. Salah satunya adalah longsongan besi yang menjadi kemungkinan besar alat pembunuhan yang tergeletak di lantai tak jauh dari posisi tubuh korban. Merasa tak lagi menemukan banyak hal berguna, pria itu kembali keluar untuk mengamati sekitar. Semalam sudah diketahui bahwa area ini tak memiliki cctv karena sudah rusak dan belum diganti selama setahun lamanya. Belum lagi mobil yang terparkir disana tak memiliki blackbox yang setidaknya bisa membantu mereka untuk menemukan bukti siapa si pelaku pembunuhan. Kakinya beranjak untuk masuk ke rumah makan kecil yang ada di serong kiri dari sana, sebuah rumah makan yang menawarkan makanan khas rumahan yang biasanya menjadi santapan para pegawai bangunan karena saat ini lumayan banyak proyek membangun ruko ruko. Oh? Tiba tiba ingatannya mengenai surat permintaan penghentian konstruksi tadi kembali ke ingatannya. “Ingin memesan apa?” seorang anak muda seumuran pelajar menghampirinya sembari membawa buku menu yang terlihat sederhana. “Hm.. apakah ada sup hangat?” “Ya, semua menu sup yang ada di menu dalam keadaan hangat” “Kalau begitu tolong buatkan aku sup kerang dan ikan corniva bakar. Terimakasih” ujarnya pelan membubuhkan senyuman kecil. Sembari menunggu pesanannya dimasak, pria diujung dua puluh tahunnya itu kembali memperhatikan sekitar. Jarak antara tempat kejadian perkara dengan kompleks ruko yang sedang dibangun sebenarnya cukup jauh. Tidak berdampingan seperti yang lain. Butuh jalan sekitar sepluh menit untuk sampai kesana. Ya.. namun jika orang sudah berniat berbuat jahat. Hal apapun bisa dilakukan, bukan. “Hey, apakah kau pernah melihat tuan Bernard bertengkar dengan seseorang?” Bernard- korban sekaligus pemilik dari toko ayam yang kini naasnya sudah berubah menjadi TKP. “Pernah, dengan istrinya” ah.. sepertinya semua orang dikomplek ini mengetahui dan agaknya terbiasa dengan kerusuhan rumah tangga yang selalu dialami sepasang suami istri muda itu. “Selain itu?” Anak remaja tadi bergumam, matanya menilik keatas untuk mengingat ingat apakah ada satu dua pertengkaran yang pernah ia saksikan selama membantu ibunya di toko. Toh kehidupannya lebih banyak berputar di rumah dan sekolah juga tempat les. “kurasa aku pernah melihat beliau bertengkar dengan tuan Dale sebulan yang lalu” “Dale?” “Iya. Tuan Dale adalah pemilik General Store yang ada disana” ujarnya sembari menunjukan arah yang dimaksud. “Aku tak terlalu ingat mereka membicarakan apa, karena kurasa itu kosa kata yang belum kutahu” lanjutnya lagi. “Kurasa mereka bercekcok mengenai paman Dale yang akan membuka sebuah toko ayam juga disekitar sini” “Toko ayam?” “ngg” gumamnya sembari mengangguk. “Ibuku pernah mengobrol dengan paman Dale. Paman Dale ingin membuat toko ayam, dan tokonya sedang dalam tahap pembangunan. Kurasa mereka berdua bertengkar karena masalah itu” ahh.. mungkin pembangunan itu yang dimaksud dari surat permintaan penghentian kontruksi yang ditemukannya beberapa menit lalu. “Lalu apakah kau tahu ada lagi orang yang sekiranya bermasalah dengan Tuan Bernard?” “Entahlah” jawab remaja itu mengendikkan bahu. “Aku bisa kemari jika sudah pulang sekolah dan tak ada les. Kurasa yang kulihat dari toko ayam milik paman Bernard hanyalah hilir mudik pembeli dan sesekali kakak yang bekerja disana keluar untuk mengantarkan pesanan” cengirnya merasa bersalah. “Maafkan aku” Zale sedikit terkekeh karena terhibur dengan kepolosan remaja tanggung lelaki yang tampaknya cukup pintar disekolah. “Tak apa” pria itu menenangi- meskipun ia tahu bahwa bocah dihadapannya tentu saja tak merasakan apapun- “kau sudah cukup membantu kok” yang hanya dibalas anggukan polos. “Sepertinya ibu sudah selesai memasak, aku akan membawakan dahulu pesanan paman” ujarnya sembari berlalu kearah dapur. Ingin bertanya lebih lanjut, namun rekan barunya yang tadi dititahkan untuk kembali ke kediaman Bernard dan Jessica datang tergopoh gopoh sembari menunjukkan plastik barang bukti. “Aku menemukan racun di lemari pakaian nyonya Jessica” 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN