2 tahun kemudian..
“Pendaratan pertama di bulan, kemudian pesawat kita akan meluncur ke Mars.”
Evan menatap Mark ketika laki-laki itu berusaha menjelaskan misi dalam perjalanan mereka berikutnya. Mereka berjalan menyusuri lorong pajang yang yang dikelilingi oleh dinding kosong berwarna hijau pudar. Lampu yang dipasang memanjang pada langit-langitnya, menerangi lantai semen di sepanjang lorong dan berakhir di ujung persis dimana seorang petugas berseragam baru saja keluar dari sebuah ruangan yang dilapisi oleh kaca setinggi dua meter.
Mark menghentikan langkahnya ketika mereka sampai di ujung lorong. Kini mereka menatap lurus melewati kaca transparan dan menyaksikan sebuah roket besar yang telah disiapkan untuk perjalanan mereka. Beberapa petugas sedang bekerja disana untuk memastikan semua mesinnya berfungsi. Seisi tempat itu sibuk, hanya orang-orang tertentu yang diizinkan untuk masuk, oleh karena itu pintunya di kunci rapat.
Evan memandangi roket itu dengan kagum, menyukai rancangannya yang rumit dan desainnya yang bagus. Cahaya lampu di dalam ruangan menyorot lapisan roketnya yang bagus, beberapa bagian mesin yang terpasang di kedua sisinya tampak baru. Evan pernah mengendarai roket sebelumnya. Ia menyelesaikan tujuh misi untuk pergi ke ruang angkasa, beberapa di antaranya adalah misi untuk sampai di bulan. Ia mengenali dengan baik fungsi setiap mesin dalam setiap roket yang ditumpanginya untuk sampai disana, namun roket itu tampak baru, beberapa bagian mesinnya dapat ia kenali fungsinya, sisanya benar-benar baru untuknya.
Mark mengetahui isi pikirannya hanya dengan menilai reaksinya, karena setelah melihat bagaimana Evan menatap roket itu, laki-laki itu menekan tombol angka yang merujuk pada kode tertentu pada sebuah mesin kecil di dekat pintu. Kemudian lampu kecil pada mesin itu berkedip, alarmnya berbunyi dan gerendel pintu terbuka.
Mark membiarkan Evan masuk lebih dulu ke dalam ruangan kemudian menyusul dan menutup pintu di belakangnya. Kini, laki-laki berusia akhir lima puluh tahun itu mengajak Evan berjalan mengelilingi setiap sudut tempat di dalam sana untuk menyaksikan beberapa mesin yang berada disana. Suara keributan mesin dan sejumlah percakapan para petugas disana berdengung di sekitar ruangan. Evan berjalan mendekati roket itu kemudian menengadah untuk menatapnya.
“Aku tahu apa yang kau pikirkan,” ucap Mark. “Kami akan menamaninya Hercules, bagaimana menurutmu?”
Evan masih memandangi roket itu dengan terkagum-kagum sebelum menyadari bahwa Mark berusaha meledeknya.
“Apa yang akan kulakukan di Mars?”
“Beberapa robot yang telah sampai disana mendapat sinyal. Kita telah melihat beberapa rekamannya, beberapa di antaranya menunjukkan tanda-tanda aneh. Aku mengukur beberapa bagian tempatnya memiliki gravitasi yang lebih rendah dan data menunjukkan ada tarikan kuat. Jadi kami sudah mengirim robot lain dan mendarat di dekat Olympus Moons. Kau tau apa yang kami dapatkan? Sebuah ngarai!”
“Mustahil!”
“Ya, tidak sebesar sungai, tapi tetap saja ada air yang mengalir. Kesanalah kau akan pergi, aku ingin kau dan Tim-mu mengambil sampel airnya. Kita akan mencoba bereksperimen dengan sampel itu.”
“Berapa lama waktu yang dibutuhkan?”
“Kami mengusahakan tidak sampai satu tahun.. itu akan menjadi delapan bulan - atau mungkin enam bulan sampai kau kembali ke bumi.”
Evan menggeleng cepat saat menanggapinya. “Kau membohongiku, Mark! Dua tahun lalu dalam misi terakhirku, kau bilang aku akan sampai dalam tujuh hari, itu omong kosong! Itu tiga bulan sebelum akhirnya aku sampai! Dan aku harus menunggu di kapal itu selama tiga bulan, sementara aku sudah berjanji pada keluargaku akan kembali dalam waktu tujuh hari. Itu tiga bulan s****n!” Evan tidak dapat menahan dirinya untuk menyumpah kasar.
Mark menunduk menatap lantai di bawah sepatunya sembari meletakkan satu tangannya di atas pinggang. “Kau tahu konsekuensinya berada di luar sana. Aku minta maaf untuk itu, tapi aku berusaha melakukan sebisaku. Itu kegagalan mesin, kami harus menunda pendaratannya sampai semuanya siap dan itu berada di luar kendaliku.”
Evan mengangguk. “Ya, jelaskan itu pada putriku!”
“Aku mengerti. Aku pernah berada di posisimu dan aku juga memiliki dua orang putri dan istri yang menungguku di rumah. Tapi kali ini akan berbeda.”
“Mengapa itu akan berbeda?”
Mark mengayunkan tangannya di udara dan menunjuk ke arah roket besar di depan mereka sembari berkata, “karena ini. Ini seperti roket impian semua astronot seperti yang kita bicarakan. Hugh membuat desainnya sangat menarik, aku sangat menyukai hasil kerjanya, dan Grant - dia bekerja siang dan malam untuk mengerjakan proyek ini. Kami menyebutnya proyek sembilan, itu memakan waktu sembilan bulan sembilan belas hari untuk menyelesaikannya. Semua rancangan mesin sudah diperbarui, dan ketika aku mengatakan kau akan mendarat lebih cepat di Mars karena bahan bakarnya. Kita menggunakan tenaga matic dengan memanfaatkan energi surya dan gelombang ekeltromagnetik sehingga mesinnya bekerja dengan cepat dan dengan begitu kecepatan roket meningkat. Bagasi yang kau lihat itu dapat memuat persediaan selama satu tahun penuh. Mesin ini seperti yang dimimpikan para astornot karena kami membuat bar kecil di dalam, dan aku sudah memastikan rangkaian mesin di lab tersedia lebih lengkap sehingga kau bisa mengirim datanya bahkan sebelum kau kembali ke bumi. Semua yang kau butuhkan ada disana.”
Evan tertegun saat mendengarnya. Matanya terus menatap roket itu, menelunsuri setiap lapisan mesinnya yang mengilap. Mark manatap ke arah yang sama, kemudian laki-laki itu memutar tubuh dan berkata, “dengar! Aku memercayai misi ini padamu karena ini penting. Kau akan mengendarai roket ini dan kemudian kembali ke bumi dengan sampelnya. Aku berani menjamin padamu semua mesinnya telah diuji coba sebanyak ratusan kali, dan aku bisa mengatakan padamu kau akan kembali ke keluargamu lebih cepat. Tapi sebelum itu, roket ini hanya mampu membawa sedikit muatan di bawah tarikan gravitasi, untuk itu kita akan membiarkannya lepas landas lebih dulu, sementara kau dan Tim-mu akan menyusul menggunakan pesawat utama, mesin itu akan membawamu keluar dari gravitasi, kalian akan bergerak menuju ISS kemudian melanjutkan perjalanan dengan roket ini.”
Mark memberi jeda sebelum melanjutkan dengan menegaskan maksudnya.
“Ini akan menjadi proyek besar, dan jika ini berhasil, kita akan berhasil memperbaiki kegagalan dalam misi pertama. Kau benar bahwa ini bukan hanya tentang pendapat publik, ini tentang sains - tapi tetap saja, sains membutuhkan uang dan uang akan datang bersamaan dengan publisitas. Kau mengerti maksudku? Ini satu-satunya kesempatan kita.”
Evan memikirkan kalimat itu di sepanjang perjalanan pulang. Ia tiba di rumahnya persis ketika langitnya hampir gelap. Dari balik kaca mobilnya, Evan melihat kabut hitam menggantung di atas atap rumahnya. Herpaan angin yang bergerak dari arah bukit menyapu dedaunan kering di halaman rumahnya. Air danau menggenang dengan tenang, riak kecil muncul di permukaannya ketika sebuah ranting jatuh dari pohon oak besar yang berdiri kokoh di tepiannya. Tak jauh dari tangga di teras rumahnya, Evan melihat Ian dan Melissa berlari-larian di atas rumput, wajah mereka tampak berseri-seri, senyumnya merekah. Hannah mengawasi keduanya di dekat tangga. Sweter sutra berwarna biru tebal membalut tubuhnya, rambut gelapnya yang baru saja dipangkas sepanjang bahu dibiarkan tergerai. Wajahnya tampak pucat, lingkaran hitam di bawah matanya menegaskan bahwa wanita itu membutuhkan lebih banyak tidur, meskipun begitu kedua matanya tetap terjaga - mengawasi kemana anaknya melangkah.
Di kejauhan, Evan mendengar Hannah berseru, “pelan-pelan! Ian, pakai sepatumu atau kau akan terjatuh. Kubilang jangan mendekati rumput basah itu! Melissa, kau mendengarku? Hei, anak-anak! Pelan-pelan!”
Kepalanya terkulai di atas kursi kemudi. Evan terus mengawasi mereka di kejauhan, bertanya-tanya tentang keputusannya untuk - sekali lagi - meninggalkan mereka. Tidak akan sulit untuk menjelaskannya pada Hannah, tapi tidak dengan Melissa. Evan harus memberi alasan yang tepat sehingga gadis itu tidak akan mencegahnya pergi.
Detik berikutnya Evan memutuskan untuk melangkah keluar dari dalam mobil, kemudian berseru untuk memanggil mereka.
“Anak-anak!”
Dalam seketika suara tawa dan keributan yang pecah di pekarangan rumah mereka redup begitu seluruh perhatian tertuju pada Evan.
“Ayo pergi ke pantai!”
“Ayo!!”
Dengan antusiasme besar Melissa dan Ian berlari ke arahnya. Evan menyambut mereka dengan hangat. Menunduk sembari merentangkan kedua tangannya untuk menangkap tubuh kecil mereka. Di kejauhan Hannah tersenyum dan berjalan mendekatinya. Sementara kedua anak itu berebut untuk mendapatkan tempat duduk mereka di kursi belakang, Evan bergerak mengitari mobil dan membukakan pintu untuk Hannah. Hannah tertawa untuk menanggapi sikapnya, sementara Evan mengendarai mobil dan membawa mereka menuju pantai.
Langit sore telah bergulung. Matahari akan tenggelam di ufuk langit. Cahaya berwarna merah jingga menyebar di seluruh langit barat. Sementara itu suara gemuruh ombaknya terdengar kencang. Seluruh pasir yang mengisi pantai menyambut mereka. Sapuan angin yang bertiup lembut menyentuh dahan-dahan pohon tinggi yang berjejer di kejauhan, mengipas keliman pakaian mereka dan menarik mereka berjalan lebih jauh sampai di tepi pantai. Di seberang sana, sebuah demaga terbuka. Beberapa kapal nelayan yang baru usai berlayar di tautkan pada tiang-tiang besinya.
Seisi pantai hening, jauh dari keramaian dan kebisingan kota. Sejauh mata memandang, mereka hanya akan melihat sebuah pantai yang terbuka dan lautan yang seolah-olah tak berujung. Di bawah naungan senja itu, Evan dan Hannah duduk bersisian sembari mengawasi putra dan putri mereka yang berkeliaran di pinggiran pantai, berlari-larian dan tertawa lepas.
“Jangan masuk ke dalam air!” Hannah memeringati mereka dan ketika Melissa tidak menanggapinya, wanita itu menegaskan. “Melissa, aku berbicara denganmu! Jangan masuk ke dalam air, oke?”
“Ya, Ma!” gadis itu menekuk wajahnya untuk kemudian mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum lebar pada Evan.
“Lihat!” gerutu Hannah begitu wanita itu duduk dan bergabung di sampingnya. “Bagaimana mungkin dia begitu menyukaimu dan membenciku di saat yang bersamaan?”
“Dia tidak membencimu,” kilah Evan.
“Aku tidak tahu, dia tumbuh besar sepertimu. Aku tidak bisa memercayainya! Rasanya begitu cepat. Apa kau merasa dia tumbuh begitu cepat?”
“Ya.”
Hannah menarik rahangnya dan tersenyum lebar. Garis-garis kerutan muncul di dahinya. Sementara angin yang menyapu wajahnya menerbangkan helai rambut gelap di belakang bahunya dan memperlihatkan kekaguman, rasa takut sekaligus rasa letih yang terlukis jelas dalam raut wajahnya.
“Aku tidak percaya itu sudah sebelas tahun! Dan sebentar lagi dia akan merayakan ulang tahunnya yang kedua belas. Tapi dia berbicara seperti remaja berusia dua puluh tahun!”
Ketika Hannah menekuk kedua kaki dan mengalungkan lengannya di seputar lutut, Evan mengingat seorang remaja wanita dengan alamamater biru yang akan selalu tampak malu-malu ketika berjalan. Apa yang tidak dapat ia lupakan adalah rona merah yang seringkali muncul di wajahnya, atau antusiasmenya terhadap sesuatu yang membuatnya merasa penasaran. Kini wanita itu duduk di sampingnya, mengernyitkan dahinya saat menatap ke arah lautan lepas, seolah-olah menyadari bahwa tiba-tiba dunianya tampak berbeda. Meskipun begitu ia tetap menjadi wanita yang sama yang dikenal Evan – kecuali karena garis waktu yang menyisakan kerutan tipis di dahi dan kedua matanya, dengan tegas memperlihatkan tahun-tahun panjang yang telah dilalui mereka bersama-sama.
“Kau ingat awal musim panas ketika kita membawanya pergi untuk berlibur di Disneyland? Kau sudah memesan tiket penerbangan, menyewa kamar hotel dan menunda semua pekerjaanmu, tapi ketika kita sampai disana dia jatuh sakit dan kita hanya menghabiskan liburan panjang di dalam kamar hotel, merawatnya selama berhari-hari sementara kau sibuk mendekor seisi ruangan dengan lilin dan balon-balon hanya untuk menyenangkannya,” Hannah tersenyum lebar ketika mengingatnya. Tatapannya yang tampak kosong menerawang lurus di kejauhan, membawanya hanyut dalam momen yang tak terlupakan.
“Ya,” jawab Evan sembari menatapnya.
“Itu lucu sekali karena, kau bertingkah sangat konyol untuk menyenangkan Melissa. Tapi pada akhirnya, itu hanya menjadi liburan terpanjang yang menyebalkan karena penerbangan kita ditunda dan karena tidak ada kamar kosong yang tersedia di dekat hotel, jadi kita terpaksa menginap di motel dengan tetangga yang mabuk-mabukan dan menyetel musik begitu keras. Kita terjaga sepanjang malam karena khawatir salah satu pemabuk itu akan mengetuk pintu kamar kita atau mengganggu Melissa. Bagian terburuknya adalah kita harus menutup semua jendela dengan kain tebal sehingga suara musik keras di sebelah tidak akan mengganggu tidur Melissa. Itu lucu sekali..”
“Ya, aku ingat.”
Kini Hannah memutar wajah dan menatapnya sembari bertanya, “momen apa yang paling kau ingat?”
“Desember, ketika kita mengendarai mobil menuju rumah nenekmu untuk merayakan natal dan kita justru terjebak karena pohon yang tumbang menutupi jalan..”
“Ah, ya! Aku mengingatnya. Kau turun dari mobil dan bertemu santa.”
“Tidak, itu bukan Santa. Itu hanya seorang remaja dengan kostum.”
“Ya, tapi dia menggodamu. Dia pikir kau gay! Aku ingat dia menyudutkanmu di dekat toko minuman..” Hannah tertawa cekikikan ketika mengatakannya. "Bersyukur Melissa tidak melihatnya. Itu memalukan sekali.”
Sembari mendengus keras, Evan mengangguk menyetujuinya. “Ya, mengerikan sekali.”
Keheningan panjang menggantung di sekitar mereka. Di kejauhan sana, mereka dapat mendengar suara tawa Melissa dan Ian pecah di tengah deru keras ombak yang bergulung di tengah lautan.
“Oh Tuhan.. rasanya terlalu cepat,” gumam Hannah.
Evan tertegun menatap pasir putih dalam genggamannya. Ketika ia melepas genggaman itu, desauan angin yang bertiup menerbangkan pasir itu dari genggamannya. Sementara itu, cahaya senja di ufuk langit kian memudar. Matahari akan meninggalkan mereka dalam hitungan detik dan ketika Hannah sedang menikmati pemandangan itu dalam diam, Evan memutuskan bahwa itu adalah momen yang tepat untuk mengatakannya.
“Aku berbicara dengan Mark siang ini, dia membicarakan misi lain. Kami akan pergi ke bulan setelah itu lepas landas menuju Mars. Kami akan mengambil beberapa sampel disana dan kemudian kembali ke bumi.”
Tiba-tiba senyum tipis di wajah Hannah memudar, digantikan oleh kekosongan dalam kedua matanya. Perlahan-lahan wanita itu memutar wajah ke arahnya, namun bibirnya tidak terbuka untuk mengatakan satu patah katapun, alih-alih diam sembari menatapnya.
“Aku tidak akan pergi jika kau tidak ingin,” putus Evan akhirnya.
“Tidak, jangan katakan itu!” sanggah Hannah dengan cepat. Satu tangannya terangkat untuk menangkup tangan Evan. Ketika wanita itu meremas tangannya dengan lembut, Evan melihat ketulusan dalam sepasang mata hazelnya.
“Apa yang kau inginkan?” tanya Hannah. “Itu yang terpenting. Kau hanya akan menjawabnya dengan jujur karena aku memercayaimu. Apa kau menginginkannya? Lihat aku dan katakan apa kau menginginkannya?”
Sepasang matanya terarah lurus pada Hannah. Kemudian suara pekikan Melissa di pesisir pantai sejenak mengalihkan perhatiannya. Dua anak itu masih berlari-larian dan menikmati kebersamaan mereka. Kemudian Evan menunduk menatap jari-jarinya, tertegun selama beberapa saat sebelum memberanikan diri untuk kembali menatap Hannah dan menjawab, “aku menginginkannya.”
“Maka pergilah! Aku selalu mendukungmu.”
“Itu akan mengambil waktu delapan bulan..” kalimat itu terhenti ketika Evan menyaksikan Hannah terhenyak di tempatnya. Genggamannya mengerat, namun seperti biasa, wanita itu tidak akan mengatakan sesuatu hingga Evan sampai pada maksudnya.
“Aku janji aku akan kembali padamu.”
Setelah melewati keheningan yang panjang, cahaya senja di ufuk langit telah memudar, kini hanya menyisakan kegelapan panjang yang mulai menjalar di setiap sudut pantai. Evan melewatkan sisa keheningan itu dengan menatap Hannah, menyaksikan wanita itu menunduk dengan letih, wajahnya tampak gelisah seolah-olah ada sesuatu yang begitu mengganggunya. Tapi bagimanapun wanita itu tidak akan mengatakannya, dan seperti tahun-tahun panjang yang berlalu di belakang mereka, mereka hanya akan melewatinya dengan keyakinan bahwa sesuatu yang besar telah menunggu mereka di depan. Hannah menyebutnya sebagai keajaiban, Evan lebih suka menyebutnya sains.