Evan menikmati banyak hal dalam hidupnya: duduk memandangi cahaya bintang di kejauhan, bekerja dengan teleskopnya untuk memetakan rasi bintang - mempelajari kemana arah ribuan bintang itu bergerak, dan menikmati kebersamaannya dengan Hannah. Setiap momen terekam bagai kepakan sayap burung yang terbang meninggalkan sangkarnya. Terkadang ia pikir bahwa dirinya bergerak begitu cepat – seperti angin yang menelunsuri petak-petak rumput di ladang seluas berhektar-hektar, terus bergerak menuju lautan lepas, merambat di antara bukit-bukit tinggi dan menghilang begitu saja. Dalam perjalanan panjang itu, Hannah selalu berada persis di sampingnya, terkadang wanita itu mengatakan banyak hal, terkadang membisu, tapi ia selalu hadir di antara masa lalu yang terus bergulung dan masa depan yang menantinya.
Mereka telah menikah pada akhir musim panas dua tahun yang lalu. Kini Hannah tinggal bersamanya di rumah danau. Mereka memutuskan untuk mendekor ulang beberapa tempat di dalam rumah itu, membuatnya tampak seperti apa yang mereka harapkan. Tidak hanya itu, Evan juga membangun sebuah kabin kecil untuk tempat penelitiannya sendiri. Disela-sela waktu kosongnya, ia akan berdiam diri di dalam kabin itu, melakukan pekerjaan untuk memecahkan sejumlah persamaan yang belum dapat ia pecahkan sejak belasan tahun.
Setiap hari berlalu begitu cepat. Rutinitas harian mereka terbentuk dengan sendirinya. Hannah akan bangun satu jam lebih awal darinya dan ketika Evan terbangun ia akan mendapati wanita itu bergulat dengan sejumlah pekerjaan rumah tangga seperti memasak, menyiram kebun, atau mencuci porselen bekas makan malam mereka. Kemudian sekitar pukul tujuh mereka akan keluar untuk berlari-lari kecil mengitari jalur sepanjang lima kilometer di dekat sana, mengunjungi kedai terdekat dan mengobrol panjang tentang banyak hal.
Pada awal tahun lalu, Hannah memutuskan untuk mengadopsi seekor anjing untuk menemani mereka. Pagi harinya mereka akan membawa anjing itu keluar menyusuri jalur di sekitar rumah, kemudian sore ketika Evan belum kembai dari pekerjaannya, Hannah yang akan menemani anjing itu berkeliling.
Nyaris setiap malam selama satu tahun pernikahan itu, keduanya tidak pernah absen untuk hadir di atas meja makan, saling bertatapan dan melewati percakapan ringan tentang bagaimana hari mereka berlalu atau apa yang akan mereka rencanakan pada hari berikutnya. Sementara itu, pada akhir pekan Evan akan menemani Hannah pergi ke gereja untuk menghadiri misa. Meskipun Evan belum menemukan alasan tentang keberadaannya di antara para jemaat itu, ia melakukannya karena Hannah dan setiap kali ketika Evan mendengar nyanyian lembut yang mendengung di bawah atap gereja, atau menyaksikan bagaimana Hannah memejamkan mata dengan khidmat ketika sedang berdoa, perasaan lega yang tak berdasar melingkupinya.
Cintanya terhadap Hannah tumbuh dari hal-hal kecil yang mengelilingi mereka: cara wanita itu menatapnya ketika ia berbicara, kebiasaanya menyetel alarm ketika Evan lupa untuk melakukannya, atau bahkan secangkir kopi tanpa gula yang selalu disiapkan Hannah di atas meja makan, dan juga rutinitas Hannah untuk menghadiri misa.
Evan menyadari bahwa sedikit demi sedikit ia membiarkan kehidupannya berpusat pada Hannah. Wanita itu telah menjadi ujung tombak dalam kebersamaan mereka, dan kemanapun Hannah pergi Evan akan mengikutinya seperti sebuah bayangan. Baru-baru ini Evan menyadari bahwa ia melakukan semua itu tanpa alasan: menghadiri misa, mengunjungi sejumlah galeri seni, atau mengelilingi dirinya dengan semua keindahan kota yang begitu dikagumi Hannah. Apa yang terpenting dari semua itu adalah eksistensinya. Evan menyadari bahwa terlepas dari status sosial dan kecukupan materil yang diwariskan oleh keluarganya, Hannah adalah wanita yang sederhana dan mencintai setiap aspek yang sederhana. Wanita itu memiliki sejumlah cara unik untuk menikmati hidupnya, menyukai segala jenis musik dan tidak ragu-ragu ketika menyanyikannya, mengagumi hal-hal artistik yang bahkan tidak pernah diketahui Evan sebelumnya. Hannah adalah wanita yang penuh kejutan. Menghabiskan hidup bersamanya tidak akan terasa membosankan. Setiap hari mereka akan merayakan kebersamaan, bahkan dalam masa-masa sulit yang telah dilalui mereka, wanita itu dapat duduk tenang, bernostalgia tentang masa lalunya dan melakukan hal-hal konyol yang tak terpikirkan hanya untuk menghibur dirinya.
Apa yang mendefinisikan cintanya terhadap Hannah adalah eksistensinya. Setiap kali terhanyut dalam obrolan panjang, mereka nyaris lupa untuk mengungkapkan bagaimana keduanya telah menjadi bagian terpenting terhadap satu sama lain. Meskipun begitu bukan berarti tidak ada cinta – sebaliknya, Evan dapat merasakan cintanya kian membesar setiap detik ketika ia mengelilingi dirinya di dekat Hannah – mereka hanya jarang mengungkapkannya.
Kemudian, sebuah kabar baik datang lebih cepat dari dugaannya. Persis pada malam perayaan ulang tahun pernikahan mereka yang pertama, Hannah memberinya kejutan besar dengan mengatakan bahwa mereka akan melewati perayaan natal tahun berikutnya bersama seorang bayi yang akan hadir di tengah-tengah mereka. Kedua mata Evan basah karena rasa haru. Memikirkan seorang bayi kecil yang akan hadir di tengah-tengah mereka benar-benar sebuah keajaiban!
Setelah mengetahui kehamilan pertama Hannah, Evan mulai menyibukkan dirinya untuk menyenangkan wanita itu: bekerja sepanjang akhir pekan untuk mengecat ulang dinding rumah mereka, meletakkan sejumlah barang di ruangan kosong dan mendekornya menjadi kabar bayi, dan juga mengambil alih semua pekerjaan Hannah di dalam rumah serta membiarkan wanita itu mengambil waktu istirahatnya sebanyak mungkin.
Evan mengakui bahwa pekerjaannya untuk mengurus setiap aspek di dalam rumah itu tidak sebaik Hannah, namun usaha selama berbulan-bulan itu membuahkan sebuah perasaan yang memuaskan ketika Hannah akhirnya melahirkan putri pertama mereka pada pertengahan November. Evan tidak menduga bahwa proses persalinannya akan berjalan lancar karena persis sebelum proses persalinan itu berlangsung, ia terjaga siang dan malam dengan perasaan cemas yang melingkupinya setelah melihat bagaimana kondisi Hannah menurun dalam satu pekan terakhir. Kemudian pada suatu malam yang terasa amat panjang, Hannah mengalami kesakitan dahsyat yang membuat Evan harus mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi di tengah jalanan kota untuk tiba lebih cepat di rumah sakit. Dahinya berkeringat, jari-jarinya menggenggam setir dengan erat. Ketika sampai disana, tiga orang petugas segera membantunya, mereka membaringkan Hannah di atas tandu kemudian meminta Evan menunggu selama berjam-jam dalam ketidakpastian yang meresahkan.
Evan nyaris tidak tertidur selama dua malam. Ketika menatap wajahnya di depan cermin, ia melihat lingkaran hitam di bawah matanya, menyadari bagaimana bibirnya memucat dan bobot tubuhnya menurun karena kurang makan. Namun rasa menyiksa itu terbayarkan persis setelah Evan diizinkan untuk menggendong putrinya dan melihat sepasang mata hazel yang tampak jernih itu menatapnya. Tangan kecilnya terangkat di udara, bibirnya mengatup dan terbuka seolah-olah bayi itu hendak mengatakan sesuatu padanya. Sementara itu, Hannah yang terbaring pucat di atas kasur menatapnya dengan haru. Air mata bergulir di atas wajahnya ketika Evan mendekat untuk duduk di sampingnya. Sembari mengatur nafasnya, Hannah bangkit duduk kemudian membiarkan kepalanya terkulai di atas pundak Evan. Wanita itu termangun saat menatap gadis kecil mereka.
“Kita akan memanggilnya siapa?” tanya Hannah ketika mengangkat satu jarinya untuk menyentuh lembut hidung kecil putri mereka.
“Melissa,” sahut Evan. “Bagaimana menurutmu?”
“Itu nama yang bagus.”
“Halo, Melissa! Hei, lihat aku! Hei.. kau sangat cantik.”
-
Terkadang harinya berjalan dengan buruk, terkadang berjalan baik, tapi Evan memutuskan untuk melihat hal-hal indah dari semua itu. Ia memutuskan bahwa kebahagian telah melingkupinya bersama dengan kehadiran putri mereka. Evan menyaksikan bayi kecil itu tumbuh besar, merayakan ulang tahun pertamanya dan juga merayakan kata pertama yang terdengar di antara gumamannya. Evan menghabiskan banyak waktu untuk berada di samping Melissa - lebih banyak dari yang dimilikinya.
Sementara itu, kariernya di NASA terus melonjak. Berbagai tawaran kerja menghampirinya. Evan harus menghadapi sejumlah wawancara, mengikuti pelatihan selama berbulan-bulan untuk setiap misi penerbangannya dan pulang lebih cepat untuk melihat putrinya. Evan mengosongkan semua jadwal akhir pekannya untuk menemani putrinya. Terkadang mereka pergi ke taman, kebun binatang atau bahkan museum-museum di pusat kota. Evan berusaha memenuhi semua kebutuhan keluarga kecilnya dan memastikan putrinya tidak mengalami kekurangan petualangan atau merasa memiliki batasan. Evan mengharapkan kehidupan yang normal untuk Melissa, mencurahkan seluruh perhatiannya untuk bayi itu bahkan rela meninggalkan pekerjaannya ketika Melissa jatuh sakit.
Disisi lain, Hannah berperan sebagai ibu yang baik, wanita itu tidak pernah menyerah untuk menyenangkan mereka, membuat Evan dan Melissa merasa senyaman mungkin berada disana. Terkadang ketika Evan harus mengikuti pelatihan selama dua pekan berturut-turut dan mulai disibukkan oleh pekerjaannya siang dan malam, Hannah akan pergi ke rumah keluarganya dan tinggal disana sementara bersama Melissa. Dan dalam setiap misi yang dijalankan Evan, dimana misi itu membawanya jauh ke luar angkasa selama berminggu-minggu, Hannah akan menjaga putri mereka sendirian dan memastikan mereka tetap berkomunikasi melalui internet.
Edith suka berkunjung untuk menemani Hannah. Wanita itu akan membawa putra pertamanya yang hampir berusia delapan tahun untuk menemani Melissa. Terkadang Edith memutuskan untuk menginap selama satu atau dua minggu penuh untuk menemani Hannah dan sejauh ini mereka tetap menjaga hubungan kekeluargaan itu berjalan dengan baik.
Setelah hampir tujuh tahun sejak hari kelahiran Melissa, setiap momen penting terekam sebagai gulungan film yang yang amat panjang. Semua terjadi begitu cepat hingga Evan tidak menyadarinya. Rasanya baru kemarin ketika Evan menggendong Melissa di pundaknya, mengajarinya cara berjalan atau berbicara dan memastikan Melissa tidur dengan nyenyak di kotak bayinya. Kini putri telah tumbuh besar. Evan menyaksikan hal itu persis di depan matanya: ketika Melissa berlari-larian di atas rumput dan tersenyum bebas. Wajahnya yang selalu memerah setiap kali gadis itu tertawa mengingatkan Evan tentang Hannah, tapi senyum kecilnya yang indah milik seseorang. Evan hanya pernah melihat senyuman yang sama di wajah ibunya. Ketika gadis itu menarik rahangnya dan tersenyum, sebuah lesung pipi akan muncul di satu sisi wajahnya. Hidungnya yang sedikit bengkok dan mancung persis seperti miliknya, namun sepasang mata hazel-nya yang cerah adalah milik Hannah. Gadis itu tumbuh besar dengan mewarisi rambut gelap ibunya. Setiap aspek tentang Melissa adalah perpaduan yang sempurna. Evan melihat semua itu hanya dengan memandanginya. Rasa cintanya terhadap Melissa bukannya memudar namun justru semakin berkembang seiring berjalannya waktu.
Evan suka mengajak putrinya pergi ke kabin kecil dan pekarangan di belakang rumahnya, memperlihatkan sejumlah keajaiban kecil pada gadis kecil itu dan perlahan-lahan membuat Melissa memahami pekerjaannya. Diusianya, Melissa suka menggambar langit gelap dan bintang-bintang, menikmati setiap kisah yang diceritakan Evan tentang dongeng langit malam sebagai pengantar tidurnya, kemudian terbangun di pagi harinya dengan perasaan menggebu-gebu ketika mengetahui bahwa ia akan mempelajari sesuatu yang baru di dalam kabin atau di pekarangan rumahnya. Melissa menikmati momen ketika Evan menunjukkan setiap benda yang bergerak di atas langit melalui teleskop. Perlahan-lahan mereka mengerjakan proyek untuk memetakan langit bersama-sama.
Setiap pagi mereka suka menyusuri taman luas yang dipenuhi oleh rangkaian bunga, dan setiap kali menghadapi momen itu Evan akan melihat putrinya berjalan menyusuri rumput hijau sembari tersenyum. Cahaya matahari pagi menyentuh lembut wajahnya, kemudian kumbang-kumbang akan berterbangan ke arahnya. Suatu pagi yang cerah mereka mengamati seekor kupu-kupu mengepakkan sayap birunya, melompati kelopak bunga dan semak-semak tinggi yang menggelilinginya kemudian berhenti di puncak daun lebar.
“Lihat itu!” bisik Evan di telinga Melissa.
“Kupu-kupu!” gumam Melissa sembari menyeringai lebar.
“Apa warna sayapnya?”
“Biru.”
“Kenapa biru?”
Gadis itu menyipitkan kedua matanya saat berkata, “karena.. kelihatannya biru.”
“Benar. Tapi bagaimana setiap benda yang kau saksikan memiliki warnanya sendiri?”
“Aku tidak tahu. Bagaimana?”
“Ini bagian lucunya. Sayap kupu-kupu itu terlihat biru karena dia menerima semua warna cahaya kecuali biru, jadi biru yang kau saksikan adalah warna yang dipantulkan kembali.”
“Warna cahaya?”
“Ya. Kau tahu warna pelangi?”
“Ya!”
“Ada berapa banyak warna pada pelangi?”
“Tujuh.”
“Tepat sekali. Itu adalah warna cahaya. Sayap kupu-kupu itu - atau semua benda yang kau saksikan di sekelilingmu menyerap semua warna cahaya kecuali satu warna yang akan mereka pantulkan kembali untuk dapat kita lihat. Jadi setiap warna yang dapat kau lihat pada semua benda itu adalah warna yang ditolak sehingga dipantulkan kembali. Sayap kupu-kupu itu berwarna biru karena dia meneyerap semua warna cahaya - kecuali biru. Jadi warna sayap kupu-kupu itu seharusnya..”
“Merah, jingga, kuning, hijau - nila, dan ungu.”
“Tepat sekali!”
“Bagaimana dengan hitam?”
“Pertanyaan yang bagus! Objek hitam menyerap semua cahaya, jadi tidak ada yang dipantulkan kembali.”
“Aku mengerti.”
Dalam lebih dari satu kesempatan, Evan mengajak putrinya berkeliling untuk menjelaskan bagaimana dunia bekerja dengan cahaya yang aneh. Evan akan memulainya dengan menjelaskan detail terkecil seperti warna yang dapat mereka saksikan dengan mata t*******g hingga hukum alam tentang aksi - reaksi pada semua hal yang mengelilingi mereka. Setiap hari yang bergulir di belakang mereka membuahkan sebuah pemahaman baru bagi Melissa. Karenanya, diusia yang masih cukup muda, gadis itu fasih menyebutkan setiap jenis atom dalam tabel periodik, mengenali jenis-jenis bintang, proses kelahiran bintang hingga ledakan besar saat kematiannya, dan mampu mengilustrasikan setiap pola rasi bintang yang ia petakan ke dalam sebuah gambar.
Kebersamaan yang mereka jalin selama tujuh tahun itu membuat Melissa tumbuh lebih akrab dengan Evan ketimbang Hannah. Meskipun begitu mereka tidak pernah kekurangan momen kebersamaan dalam keluarga. Hannah memahami keinginan Melissa untuk selalu berada di dekat Evan, dan wanita itu hanya akan memanfaatkan waktunya bersama Melissa dalam setiap kesempatan yang dimilikinya untuk mengantar putrinya pergi ke sekolah atau menjemputnya.
Seolah semua itu belum cukup, puncak kebahagiaan mereka terjadi satu tahun berikutnya, persis satu pekan setelah mereka merayakan ulang tahun Melissa yang ke-8. Kabar baik datang tanpa diduga-duga. Malam ketika mereka duduk di belakang meja dan menikmati hidangan makan malam mereka, Hannah mengatakan bahwa seorang anggota keluarga akan segera bergabung di tengah-tengah mereka.
Melissa adalah orang pertama yang bereaksi dengan melompat kegirangan. Evan terhenyak di kursinya dengan perasaan haru. Senyuman lebar muncul di wajahnya yang berseri-seri ketika ia melangkah mendekati Hannah untuk memeluknya erat. Malam itu telah menjadi sebuah momen yang tak terlupakan. Mereka semua merayakannya selama satu pekan penuh. Evan mengambil lebih banyak waktu untuk berada di rumah, karena tahu bahwa ia tidak akan dapat berada di dekat Hannah tepat pada hari kelahirannya nanti.
Dua pekan sebelum kabar baik itu muncul, Evan lebih dulu menyetujui misi penerbangan yang memakan waktu tiga bulan berturut-turut. Ia telah memperhitungan waktunya, dan menyesal karena waktu penerbangannya bertepatan dengan waktu kelahiran Hannah. Jadi ketika bulan demi bulan bergulir cepat dan hari kelahiran yang dinanti-nantinya telah tiba, Evan hanya dapat menyaksikannya melalui sejumlah rekaman yang dikirim Edith ke satelitnya.
Selama tiga hari berturut-turut Evan duduk di dalam pesawat antariksanya, menunggu selagi beberapa awak kapal lainnya menyelesaikan tugas mereka mengecek semua sistem di stasiun ruang angkasa, dan menjaga pesawat itu berada tetap pada jalur orbitnya. Tidak ada pergantian siang dan malam di atas sana, dan karena tidak ada udara yang menjadi medium perantara suara, keheningan menjalar di mana-mana.
Setiap kali ia membuka mata dan menatap pada kegelapan di kejauhan, ia akan merasakan tubuhnya berputar-putar di ruang angkasa, namun setelah berkali-kali menyelesaikan misi penerbangannya dengan sukses, Evan mulai terbiasa melakukannya. Hanya saja kali ini terasa berbeda dengan hasrat untuk kembali ke rumah dan menatap bayi laki-lakinya secara langsung. Evan hanya dapat membayangkan dirinya berada disana, menemani Hannah pada momen terpenting dalam hidup mereka dan membisikkan sesuatu ke telinganya bahwa semua akan baik-baik saja.
Begitu ketika Evan mendapat kesempatan untuk rehat sejenak, ia bergegas menuju layar monitor untuk bertatap muka dengan keluarga kecilnya, alih-alih menyantap makanannya. Ketika layar itu berkedip menyala, wajah Hannah, Melissa, dan bayi kecil mereka muncul disana. Kamera kemudian berputar sehingga Evan dapat menyaksikan keluarga besar lain ikut hadir di dalam ruangan yang sama. Orangtua Hannah berdiri di dekat pintu, mereka melambai saat Edith mengarahkan kamera itu pada mereka. Miguel, putra Edith yang awal tahun ini genap berusia enam belas tahun juga hadir disana. Kemudian kamera berputar kembali, kali ini Edith memperlihatkan wajah bayi laki-laki kecilnya yang berada di lengan Hannah. Kedua matanya terpejam, tangan kecilnya bergerak-gerak dengan gelisah.
“Oh Tuhan.. dia sangat manis!” gumam Edith. “Lihatlah dia! Dia sangat mirip denganmu, Evan! Jadi siapa nama bayi kecil yang tampan ini?”
Evan menyaksikan bagaimana Hannah tersenyum lebar saat menatapnya. Wajahnya pucat, namun kedua matanya bercaka-kaca. Wanita itu tampak bahagia, sementara Melissa yang duduk di sampingnya memandangi saudaranya dengan terkagum-kagum, sama seperti Hannah, gadis itu tampak berseri-seri.
“Siapa namanya?” Edith mendekatkan kamera itu pada wajah ibu dan bayinya.
“Ian,” sahut Evan akhirnya.
“Halo Ian! Selamat datang di keluarga kecilmu..”
“Ayah! Bagaimana ruang angkasa? Kapan kau akan kembali?” Melissa bergerak mendekati Edith untuk memutar kamera itu dan menyerbunya dengan banyak pertanyaan. Evan menanggapi semua pertanyaan gadis kecil itu dengan kerinduan besar yang dirasakannya selama berada jauh dari mereka. Melissa penasaran tentang banyak hal, ia bersikeras untuk mengatakan sejumlah ide untuk sebuah penemuan barunya dengan Evan, dan dengan caranya yang selalu dirindukan Evan, gadis itu akan membujuknya untuk membawakan sebuah rekaman ruang angkasa ketika Evan pulang nanti.
Tanpa disadari obrolan panjang mereka telah berlangsung selama beberapa menit hingga semua orang yang hadir disana akhirnya meninggalkan ruangan dan memberi kesempatan bagi Evan untuk bertatap muka dengan Hannah dan berbicara dengannya secara empat mata.
Edith menggendong Ian ketika meninggalkan ruangan, Melissa mengekor tepat di belakangnya, orangtua Hannah juga membeli kelongaran dengan meninggalkan mereka. Baru ketika semua orang telah meninggalkan ruangan, Hannah menatapnya dari balik layar monitor itu dan tersenyum.
“Selamat untukmu!” katanya dengan suara serak.
“Tidak, selamat untuk kita.”
“Bagaimana keadaan disana?”
“Tujuh hari orbit sebelum kami diizinkan meninggalkan stasiun.”
“Tujuh hari tidak masalah, aku pernah menunggu lebih lama dari itu.”
Keheningan sejenak merayap. Evan memandangi wajah istrinya sembari tertegun, ia telah membaca kesedihan yang terlukis disana. Jantungnya mencelos dan kalimat berikutnya diucapkan dengan suara rendah.
“Hei, maafkan aku.”
“Kenapa kau meminta maaf?”
“Aku seharusnya berada disana bersamamu.”
“Tidak apa-apa, aku bersama keluargaku. Edith juga disini, dia membuatku merasa tenang.”
“Jadi, bagaimana perasaanmu?”
Hannah menggindikkan kedua bahunya sebelum menjawab, “tidak pernah terasa sama tanpamu, tapi.. Melissa melakukan hal-hal konyol yang benar-benar menghibur. Kau tidak akan percaya karena wali kelasnya memanggilku minggu kemarin. Dia mengatakan Melissa membuat keributan di kelasnya..”
“Mengapa?”
“Itu hal konyol, dia berdebat karena temannya mengejeknya setelah menggambar matahari berwarna putih. Akhir-akhir ini, dia mudah sekali terbawa emosi dan lepas kendali. Aku akan menyalahkanmu karena itu.”
“Itu bukan salahku!” sanggah Evan dengan cepat. “Putrimu melakukan hal yang benar, dan aku merasa bangga padanya.”
“Kau merasa bangga karena Melissa memukul teman sekolahnya?”
“Tidak, tentu saja tidak. Aku bangga karena dia akhirnya melihat sesuatu sebagaimana adanya – matahari berwarna putih, kau tahu?”
“Aku tidak mau mendengar teorimu setelah apa yang kualami beberapa hari terakhir..”
“Oke, oke, maafkan aku.”
Hannah mendengus keras. Rahangnya tertarik saat wanita itu tersenyum lebar. Rambut gelapnya yang mulai memanjang, membingkai kontur wajahnya yang tirus. Sedangkan sepasang mata hazel itu menatapnya dalam, tiba-tiba kerutan muncul di dahinya, dan dalam hitungan detik, senyumnya telah memudar.
“Kau harus memakan sesuatu!” tegur wanita itu.
“Aku tahu.”
Evan tertegun ketika memandangi Hannah melalui layar itu. Keheningan yang familier kembali melingkupi mereka. Keheningan itu telah ada selama bertahun-tahun sejak mereka mengenal satu sama lain. Terkadang Evan merasa bahwa keheningan yang menenangkan itu telah menjadi bagian dari hubungan mereka, menemani mereka dalam masa-masa sulit atau bahagia, menjadi sebuah jawaban yang sempurna ketika mereka tidak menemukan kalimat yang tepat untuk diucapkan. Sementara itu, ia menatap ke balik bingkai kecil jendela di dalam pesawat antariksanya, menyaksikan kegelapan pekat di setiap sudut tempat dan diam-diam membayangkan Hannah berada di dekatnya.
“Apa yang ingin kau katakan?” tegur wanita itu setelah beberapa saat.
“Aku sangat mencintaimu.”
Reaksi Hannah mengejutkannya. Wanita itu tertawa setelah mendengarnya.
“Kenapa menunggu berada disana untuk mengucapkannya? Oh Tuhan, kita pasti sangat sibuk sampai lupa mengatakannya ketika kita berada cukup dekat satu sama lain – tidak dalam jarak sejauh ini.”
Evan mengangguk-anggukan kepalanya, kemudian mendengus keras.
“Cepatlah kembali! Aku kewalahan menghadapi semua pertanyaan Melissa sendirian. Kau tahu..?”
Kalimat terakhir itu berhasil membuat tawa Evan pecah. “Ya! Oke, baiklah.. aku akan segera kembali dan menjawab semua pertanyaannya untukmu.”
“Bagus. Itu bagus..”
“Hei, kau ingin mengatakan sesuatu?”
“Kau tidak akan berhenti sampai aku mengatakannya, bukan?”
Kedua mata Evan berkedip, bibirnya mengulas seringai lebar. “Ya, aku ingin mendengarnya keras-keras! Disini hening sekali, terkadang keheningannya membuatku gila.”
Wanita itu menggembuskan nafasnya keras-keras. “Oke, aku mencintaimu juga.”
“Bagus untukmu!” ledek Evan. “Pukul berapa disana?”
“Aku tidak tahu.. sepuluh – mungkin sebelas malam?”
“Oke, sebaiknya aku membiarkanmu beristirahat.”
“Kapan aku bisa menghubungimu lagi?”
“Aku tidak tahu, mungkin tiga atau empat hari hari.”
“Aku sudah merindukanmu.”
“Aku juga.”
“Selamat malam, Evan!”
Evan tersenyum. “Penunjuk waktuku mengatakan saat ini seharusnya pukul tujuh pagi, tapi karena langitnya selalu gelap, jadi.. selamat malam juga untukmu.”
“Sampai jumpa di bumi?” tanya Hannah sembari menyeringai lebar.
“Sampai jumpa di bumi.”
Percakapan itu berakhir dengan cepat dan menyiksakan satu lagi momen hening yang harus dihadapinya sendirian di dalam pesawat itu. Ketika Evan bergerak meninggalkan layar monitor dan mendekati jendela, matanya memandang lurus ke depan, mencari-cari cahaya sekecil apapun yang dapat ia saksikan, namun kemanapun ia memandang, langitnya akan tampak kosong, bahkan planet terdekat berada dalam jarak ribuan mil jauhnya, dan begitulah kekosongan ruang angkasa yang tampak menakutkan.