Setelah melewati enam bulan pelatihan, Evan sampai pada hari dimana ia akan menerbangkan pesawatnya untuk mengorbit bumi sebelum melepaskan diri dari tarikan gravitasi bumi dan – sekali lagi – bergabung dengan kegelapan di ruang angkasa.
Selama berbulan-bulan ia telah mempersiapkan dirinya untuk hari peluncuran itu, selama itu juga Evan menghabiskan waktu lebih banyak untuk berada sesering mungkin di dekat keluarganya hanya agar ia dapat mengatasi apapun yang terjadi di hari berikutnya. Namun, seperti yang dikatakan Mark, pekerjaan itu akan menyita waktunya, perlahan-lahan menjauhkannya dari orang-orang terdekatnya dan pada akhirnya Evan hanya memiliki dua pilihan: pergi ke tempat yang jauh dan meninggalkan mereka, atau tinggal. Evan memilih pergi, tapi keputusan itu tidak sama artinya dengan mengabaikan mereka. Sebaliknya, Evan merasa bahwa kemanapun ia pergi, keluarga kecilnya akan selalu membayanginya.
Ruang angkasa sudah seperti rumahnya yang gelap dan kosong. Kemanapun ia melangkahkan kakinya, ia akan mendapati dirinya kembali ke sana: ke dalam kegelapan yang pekat dan tak berujung. Kesunyian disana terasa mengerikan, namun juga menenangkan dan setiap kali menghadapinya Evan akan mendapati suara-suara muncul di kepalanya. Suara-suara itu menciptakan sebuah delusi, bayangan tentang jenis kehidupan yang ingin disaksikannya.
Evan mengetahui konsekuensi atas keputusannya persis ketika ia membawa pesawatnya bergerak meninggalkan daratan. Dalam bayang-bayang yang kabur, ia mengingat perpisahannya dengan Hannah. Wanita itu duduk tenang di tepi kasur, nyaris tidak mengucapkan sepatah katapun untuk mengungkapkan emosinya. Evan menatap melalui pantulan cermin di kamarnya dan menyadari bahwa kesedihan melingkupi Hannah, mendekapnya begitu erat hingga tubuhnya remuk.
Tidak ada kata-kata yang mampu mendeskripsikan perasaannya. Evan tertegun memandangi dirinya di depan cermin, kemudian menyaksikan sepasang mata sayup Hannah menatapnya dari seberang ruangan. Wanita itu mengernyitkan dahinya dalam-dalam, tampak resah. Punggungnya bergerak naik turun seirama dengan tarikan nafasnya. Dengan gelisah, Hannah meremas jari-jarinya, kemudian berjalan mendekatinya. Menggunakan kedua tangannya, Hannah menangkup rahang Evan dan menatapnya. Aroma parfum yang familier menguar dari tubuhnya.
Evan memejamkan kedua matanya untuk menikmati momen kedekatan mereka, sejenak berpikir bahwa itu bisa saja menjadi momen terakhir untuk mereka. Hannah tampaknya merasakan hal yang sama karena Evan dapat merasakan denyut jantungnya berpacu lebih cepat ketika ia meletakkan tangannya di atas tubuh Hannah, perlahan bergerak naik untuk menangkup rahangnya, menyusuri garis hidung dan bibirnya yang lembut. Evan menunduk untuk menatap langsung ke matanya, merasakan embusan nafasnya yang hangat dan membaca kegelisahan yang terlukis disana dengan lebih jelas. Kemudian ia mendengar wanita itu bertanya, “kapan kau akan kembali?”
Keheningan menjalar di setiap sudut tempat di dalam ruangan itu. Evan mengamati wanita itu dari dekat, melihat garis tipis kerutan di bawah matanya, sejenak mengingat gadis muda yang menatapnya dengan cara yang sama. Bahkan setelah belasan tahun, wanita itu tidak berubah, kecuali – tentu saja – karena usianya yang tidak lagi muda. Kemudian sepasang alisnya menyatu, bibirnya mengatup dan kelopak matanya berkedip hanya untuk menyadarkan Evan bahwa ia masih menunggu jawaban atas pertanyaannya.
“Aku tidak tahu,” bisik Evan akhirnya.
Wanita itu telah mengangkat satu tangan Evan ke bibirnya dan meninggalkan kecupan panjang disana. Kini Evan dapat merasakan kehangatan itu merangkulnya. Keheningan sudah seperti melodi yang menemani mereka selama belasan tahun. Waktu seakan bergerak di belakang dan membayangi mereka kemanapun mereka pergi. Dalam kekosongan itu, ia dapat mendengar suara-suara yang menggema di kepalanya, terkadang bagian dari ingatan tentang masa lalunya muncul secara acak. Kemudian, ia mulai membayangkan dirinya sebagai asap yang melompat-lompat di ujung lidah api, menari dan bergerak di antara lilin-lilin yang disusun berjejer menuju altar dimana sesuatu yang besar telah menunggunya.
Evan dapat merasakan air mata wanita itu jatuh di atas punggung tangannya. Ketika Evan menunduk untuk mencium keningnya, bahu wanita itu mulai berguncang, isak tangisnya teredam dalam pelukan.
“Aku harus pergi,” bisiknya di telinga wanita itu. Ia tidak membiarkan dirinya hanyut dalam momen itu berlarut-larut. Langkah kakinya telah membawanya bergerak mundur. Kini kedua matanya menatap lurus ke wajah Hannah, dengan berat hati ia berbalik dan melangkah menuju pintu. Di luar sana, ia melihat Melissa berdiri dengan dress biru dan pita hijau kecil yang menggantung di atas rambut gelapnya. Sepasang mata hazel-nya berkilat ketika menatap Evan.
Evan menunduk untuk menatapnya. Air mata jatuh di pelupuk mata Melissa sebelum gadis itu menjulurkan sebuah logam kecil berbentuk lingkaran berwarna perak dengan sebuah pengatup. Melissa meletakkan benda itu di dalam saku jaketnya kemudian mendekat dan berbisik ke telinga Evan: sebuah kalimat ringan yang akan selalu diucapkannya, menggema di antara suaranya yang serak.
“Kau sudah berjanji padaku.”
Untuk kali terakhir Evan menyaksikannya tersenyum, samar-samar mengingat cahaya mentari yang jatuh di atas wajahnya, menyapu lembut kulitnya yang pucat. Tangannya kecilnya melambai-lambai. Dari balik kaca mobil, Evan tersenyum pada mereka untuk terakhir kalinya sebelum mobil yang ditumpanginya membawanya bergerak menjauh meninggalkan halaman rumah, semakin jauh hingga yang terlihat hanyalah sebuah titik di kejauhan, tempat dimana ia akan kembali setelah menyelesaikan misi penerbangannya menuju Mars.
Sapuan angin yang bertiup lembut menyusup masuk melalui jendela mobil yang terbuka kemudian menyentuh wajahnya. Di sepanjang perjalanan meninggalkan rumahnya, Evan nyaris mendengar suara-suara di kepalanya memintanya untuk kembali. Namun roda mobilnya terus berputar menggilas aspal dan membawanya semakin jauh meninggalkan rumah. Ia membiarkan suara-suara itu mendengung ke kepalanya – bernyanyi bersamanya hingga ia merasakan air matanya jatuh.
_
“Evan apa kau siap?”
Seseorang yang mengatakan itu berdiri di luar ruangan kedap persis di balik kaca hitam yang membatasi mereka. Evan tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas, namun ia masih dapat mendengar suaranya melalui mikrofon kecil yang dipasang ke telinganya. Lampu dari sebuah mesin berkedip dan mulai merekam setiap kalimat yang diucapkannya.
“Ya.”
“Oke, kau bisa mulai sekarang!”
Kedua matanya terpejam. Evan membusungkan dadanya saat menarik nafas sebelum mengembuskannya perlahan. Ia masih mendengar suara Melissa menggantung di kepalanya, melihat gambaran ketika gadis itu berlari-larian di pekarangan rumah mereka, mengingat senyumannya atau suara tawanya yang polos. Namun Evan membiarkan semua itu menari-nari di atas kepalanya selagi ia melewati tes akhir sebelum memulai penerbangan.
“Aku Evan, dan ini adalah rekaman terakhir sebelum misi dimulai. Aku telah melewati enam bulan untuk melakukan rangkaian persiapan. Aku merasa sehat sekarang. Aku sedikit gugup, tapi aku sepenuhnya siap untuk misi penerbangan ini. Ini bukan penerbangan pertamaku, jadi aku akan menanganinya dengan baik – aku selalu tahu ini akan terjadi, jadi aku membuka pikiranku. Aku tahu konsekuensi yang mungkin akan kuhadapi di sana, aku tahu bahaya yang menungguku, tapi aku telah berbicara dengan putriku, Melissa, dan aku sepenuhnya merasa lega. Terkadang aku khawatir ketika memikirkan apa yang mungkin terjadi padaku di ruang angkasa, terkadang aku memikirkan kematian dan betapa rapuhnya hal itu. Begitu gelap diluar sana, begitu senyap, dan ada banyak cara konyol untuk mati disana.. tapi aku juga melihat cahaya kerlap-kerlip di bumi dari atas sana. Tidak ada tempat yang cukup nyaman di ruang angkasa yang dapat menggantikan kenyamanan yang dapat ditawarkan di planet ini, tapi aku suka berada di ruang angkasa, aku suka memandangi cahaya kerlap-kerlip bumi dari atas sana. Suatu saat ketika aku kembali setelah misi ini, aku akan menceritakan pengalaman tentang perjalanan ini pada putriku..”
“Apa kau siap untuk penerbangan ini?”
“Ya,” sahut Evan untuk menjawab suara yang muncul melalui mikrofon kecil di dalam ruangan itu. Tatapannya terarah lurus ke depan, persis pada kaca gelap yang memantulkan bayangan wajahnya.
“Ada hal lain yang ingin kau katakan sebelum kita mengakhiri ini?”
“Tidak.”
Evan mengingat kalimat terakhir yang disampaikan Mark ketika pria itu membimbingnya keluar. Sebelum memasuki pesawatnya, Mark menepuk bahu Evan dan berkata, “kau akan menyelesaikan misi ini dan kembali padaku, Evan.”
Evan berjalan melewati ambang pintu. Mark menunggunya di depan. Jauh sebelum pintu itu di tutup, Evan berbalik untuk mengatakan. “Mark! Kau berjanji akan menjaga keluargaku..”
“Selesaikan misi itu! Keluargamu aman bersamaku.”
“Aku serius!”
Mark melambaikan satu tangannya di udara dan tersenyum tipis. “Selamat jalan, Evan!”
Pesawatnya lepas landas. Sebelum itu Evan mendengar suara deru mesin yang keras. Suara itu menggema di kepalanya bersamaan dengan bisikan-bisikan yang muncul di kepalanya. Asap mengepul dari bagian luar roketnya, menjalar naik melewati jendela kecil dan memblokir seluruh pemandangan keluar, kini yang tersisa hanyalah langit di atasnya. Langit itu seakan terbuka untuk menyambutnya. Mesin bergedengung keras, beradu dengan suara wanita dari mikrofon kecil yang memberitahu Evan dan kelima awak lainnya bahwa roket mereka akan meluncur dalam hitungan detik.
Lima, empat, tiga..
Evan mencengkram kuat logam hitam pada mesin kendali, menekan serangkaian tombol di atas kepalanya, mengamati layar mesin berbentuk persegi yang memberinya semua laporan tentang kecepatan peluncuran. Sesekali ia memalingkan wajahnya untuk menatap lima awak kapal yang duduk di belakangnya. Urat-uratnya menegang, bibirnya bergetar.
.. dua, satu.. meluncur!
Guncangan yang dahsyat mulai terasa saat ujung roket bergerak melewati lapisan atmosfer. Pada hitungan ketiga lampu merah yang berkedip memberitahunya untuk melepas satu tenaga pendorong. Mesin itu melaju dengan kecepatan tinggi, memecah kerak es dari awan yang menggumpal di atasnya, kemudian bergerak maju menuju lapisan stratosfer, menciptakan dengungan keras yang nyaris memekakan telinga.
Sejauh itu seluruh mesin berfungsi dengan baik. Para awak menunduk menyaksikan daratan melalui kaca jendela, berusaha untuk melepas ketegangan dari raut wajah mereka. Seluruh mesin berada di bawah kendali, Evan sepenuhnya meyakini bahwa roket mereka akan mencapai lapisan atmosfer berikutnya, kemudian mencapai ketinggian yang cukup untuk melepas mesin pendorong berikutnya sebelum mencapai orbit. Tepat di bawahnya, ia dapat menyaksikan lautan membentang luas, nyaris tak berujung, kini daratan hanya terlihat seperti sebuah titik kecil di tempat yang jauh. Para awak sudah menyadarinya, jauh sebelum guncangan berikutnya mengacaukan mesin.
“Apa? Apa yang terjadi?”
Gumpalan awan yang mengkristal menghantam bagian samping mesin, menyebabkan kehancuran kecil pada tenaga pendorong yang kemudian melebar dalam hitungan detik. Alarm berbunyi keras.
“Mesinnya terbakar!”
Dua orang awak nyaris melompat dari atas kursinya, seseorang dari mereka berkutat dengan sabuk pengaman, berusaha untuk menghentikan kekacauan. Evan merasakan dahinya berkeringat, jantungnya terpompa kuat. Tenaga pendorong mengalami kerusakan total, berikutnya mesin yang menompang mereka akan meledak. Sementara itu alarm peringatan yang berbunyi memberitahunya untuk melompat keluar. Keributan antar awak kapal mendengung di kepalanya, sebagian dari mereka siap untuk melompat.
“Ayo!!” teriak Daniel.
“Tidak, tidak, jangan! Aku akan melepas mesinnya sekarang!” Evan berteriak keras, jari-jarinya bergetar ketika ia menekan serangkaian tombol kunci pada mesin kendali manual. Jantungnya berpacu cepat seiring dengan dengungan dari suara ledakan mesin di belakangnya. Kabut gelap menggumpal di kepalanya, disusul oleh suara ledakan berikutnya dan teriakan yang berdengung keras di telinganya. Terlambat untuk menyadari ledakan yang terjadi disana. Perbandingan waktunya hanya beberapa detik sebelum tenaga pendorong utama berhasil dilepaskan dan kapsulnya meluncur dengan kecepatan tinggi sebelum menghantam permukaan laut. Jika ia lebih cepat beberapa detik, ledakan itu mungkin dapat dicegah, namun terlambat untuk menghindarinya, dan ia hanya membiarkan mesin itu terjun bebas, menghantam lapisan atmosfer di bawahnya, terkikis oleh panas yang disebabkan oleh pergesekan udara kemudian membawanya terjun ke lautan lepas.
Ada banyak suara yang berdengung di kepalanya, namun itu bukan suara mesin atau alarm peringatan yang berbunyi keras, suara-suara itu berasal dari dalam kepalanya, dan membawa gambaran ingatan tentang kejadian yang dialaminya belasan tahun silam. Masa-masa terburuk yang pernah dialaminya akan selalu bergerak mengikutinya di belakang, membayanginya seperti awan gelap yang menggantung di atas kepalanya.
Ia mengingat mimpi lamanya untuk dapat terbang juga mengingat malam-malam yang dilewatinya di dalam lumbung, sebuah danau dan kabin tua di dekat sana tempat dimana ia akan bersembunyi dari dunia. Kemudian kabut tebal menggumpal di atas kepalanya, dan menariknya kembali pada insiden mengerikan malam itu, ketika truk yang dikendarainya melaju dengan kecepatan tinggi di atas permukaan aspal yang licin. Salju menggumpal di atas jalanan, sisanyanya telah mencair. Udara dingin menyusup masuk melewati celah kecil dari kaca jendela mobil yang terbuka. Suara keributan menggantung di udara, suara itu beradu dengan dengungan mesin truk di sekitarnya.
Langit gelap menyelimuti setiap sudut tempat. Lampu jalanannya sempat berkedip, cahaya remang-remangnya menyentuh permukaan aspal sebelum akhirnya padam. Evan nyaris tidak memerhatikan jalanan di sekitarnya. Seekor anjing liar melompat keluar dari semak-semak, mengejutkannya hingga ia hilang kendali dan truknya menabrak pembatas jalan sebelum meluncur bebas di atas permukaan tanah berumput yang melandai, jatuh berguling sejauh belasan meter dan berhenti sebelum mencapai anak sungai. Hal terakhir yang dilihatnya malam itu hanyalah sebuah cahaya yang berkedip di atas langit gelap.