Bab 7

2362 Kata
Waktu dapat menjadi sesuatu yang sangat membingungkan. Waktu dapat hadir karena ruang. Lengkungan ruang membuat waktu tidak pernah sama untuk setiap pengamat. Perjalanan waktu memungkinkan jika saja ada sesuatu yang mampu menyandingi kecepatan cahaya, tapi jika itu terjadi maka dunia yang dikenalinya mungkin tidak sama lagi. Ia pernah duduk dan mengamati bagaimana cahaya merambat di ruang kosong, bagaimana cahaya yang bergerak lurus dapat dibelokkan dan apa cahaya itu benar-benar memiliki tempat pemberhentian akhirnya? Bagaimana mungkin cahaya menjadi sebuah objek yang bergerak lebih cepat dari yang lainnya, dan bagaimana cahaya – dengan keunikannya yang indah, mampu memberi garis tepi bagi alam semesta? Pertanyaan itu tersimpan di kepalanya selama bertahun-tahun. Biasanya Evan hanya menghabiskan waktu untuk duduk dan merenunginya. Seisi kepalanya akan dipenuhi oleh banyak hal-hal absurd. Orang-orang menghindarinya karena itu, mereka mungkin merasakan ketidaknyamanan saat berada di dekatnya. Apa yang benar-benar menganggunya adalah fakta bahwa selama bertahun-tahun Evan berusaha membaur dengan anak-anak seusianya, tidak satupun di antara mereka yang menariknya ke dalam dunia penuh fantasi seperti yang seharusnya ia bayangkan. Evan tidak merasa tertarik dengan video game, tidak pernah meluangkan waktu untuk melewati percakapan tentang peristiwa menarik yang terjadi belakangan, dan nyaris tidak pernah meluangkan waktunya untuk menikmati pesta. Masa kecilnya berlalu dengan cepat hingga ia sampai pada titik itu: momen dimana ia menyadari bahwa ia tidak sama seperti yang lainnya. Evan tidak menikmati percakapan dengan mereka, menolak untuk melakukan hal-hal konyol yang bisa saja dilakukannya dan setiap detik ketika ia mengamati mereka, ia akan merasa tersingkir dari dunianya. Hal yang sama terjadi padanya sore itu, persis ketika kelas berakhir dan ia berdiri di ujung lorong sembari mengamati sekumpulan anak yang berkerumun di dekat pagar. Richie, Antoni, Luke, dan Rob berdiri disana. Masing-masing dari mereka menatapnya di kejauhan. Luke sudah dapat dipastikan menatapnya dengan permusuhan, remaja itu tidak begitu menyukai Evan karena pertengkaran yang terjadi selama hampir dua bulan yang lalu. Namun Richie – tidak seperti yang lain – mendekat untuk menyambutnya dalam kelompok. “Hei, kau mau ikut main?” tanyanya. Evan tidak segera menjawab hingga Richie mengalungkan lengan ke seputar pundaknya dan menarik Evan mendekati anggota kelompok lainnya. Luke adalah orang pertama yang dilihatnya ketika Evan bergabung disana, alih-alih mengatakan sesuatu untuk mengatakan ketidaksukaannya, Luke memilih untuk diam. Antoni dan Rob cukup bersahabat, masing-masing dari mereka memaksa Evan untuk ikut bergabung dalam kelompok dan pergi menyusul anggota lainnya di sebuah tempat. Evan berniat untuk menolak ajakan mereka dan pergi untuk kembali ke lumbung. Ada banyak pekerjaan di lumbung yang sudah menunggunya. Ia memiliki pilihan untuk melakukan tindakan itu, tapi sebuah suara yang berbisik di kepalanya memintanya untuk ikut bergabung, menikmati waktunya dengan anggapan singkat bahwa ia pantas menerimanya. Bergabung dengan kelompok itu akan mengembalikan pengalaman yang hilang darinya selama belasan tahun. Selama ini Evan hanya terus menghindarinya, tapi tidak hari itu. Di tengah perjalanan ketika Evan hendak pergi meninggalkan area kampus, ia sempat berpapasan dengan Hannah. Wanita itu berdiri persis di depan gerbang. Wajahnya memerah dan kedua matanya menatap lurus ke arah Evan. Alih-alih mengatakan sesuatu untuk menegurnya, Evan memilih untuk berjalan melewatinya kemudian mengekor di belakang kelompok itu kemudian mengendarai sepedanya untuk meninggalkan area kampus. Sesekali Evan menatap dari atas bahunya untuk mendapati Hannah masih berdiri disana, memandanginya hingga ia menghilang di kejauhan. Tempat yang dikunjungi mereka kali ini bukanlah kabin kosong yang sama, mereka melewati lahan seluas belasan hektar jauhnya, menyusuri jembatan panjang sebelum tiba di sebuah bangunan tua yang hampir runtuh. Bangunan itu kosong dan tak terpakai, letaknya persis di tengah-tengah lahan luas yang ditumbuhi oleh rumput-rumput liar. Seseorang memasang pagar kawat setinggi tiga meter untuk menghalangi siapapun yang hendak masuk ke kawasan itu. Namun persis di belakang pohon rindang di dekat tebing, seseorang telah merusak pagar itu dengan memotong kawatnya sehingga mereka dapat masuk dengan bebas ke dalam. Evan meninggalkan sepedanya di dekat tebing kemudian berlari untuk menyusul para remaja itu. Mereka mengendap-endap masuk ke dalam bangunan tua yang kosong di hadapannya. Pintu di bagian depan terkunci, sehingga mereka masuk melalui jendela di sisi kanan bangunan yang dipecahkan secara sengaja. Evan berhati-hati ketika masuk melewati jendela itu, sebisa mungkin menghindari pecahan kaca yang bertebaran di atas lantai. Bau apak yang tajam segera menusuk indra penciumannya begitu ia sampai di dalam. Seisi ruangan tampak gelap kecuali karena cahaya yang diizinkan masuk melewati lubang yang mengaga di jendela dan juga ventilasi udaranya. Ketika menyapukan pandangannya ke sekitar, Evan melihat sisa genangan air hujan membentuk lingkaran air berwarna kecoklatan di atas lantai. Air terus menetes dari langit-langitnya yang hampir runtuh. Cat dindingnya telah mengelupas, seseorang telah mengotori dinding itu dengan tulisan tangan di permukaannya. Evan dapat menebak bahwa para remaja itu yang melakukannya. Segala hal tentang tempat itu tampak usang dan tua. Sarang memenuhi setiap sudut dindingnya, sisa potongan kayu, barang-barang tak terpakai dan sampah lainnya berserakan di atas lantai. Evan harus menjaga langkahnya dengan hati-hati agar tidak menginjak sesuatu yang bisa saja melukainya. Matanya sedang menjelajah ke sudut gelap di ujung lorong saat Richie menegurnya dan memintanya untuk menaiki tangga di dekat sana. Tangga yang terbuat dari besi itu mengeluarkan suara bedebum keras ketika seseorang menginjakkan kakinya disana. Evan berpegangan erat pada susuran tangga selagi ia menaikinya. Para remaja lain lebih dulu sampai di atas sana, sementara itu Evan menengadah menatap cahaya yang muncul di atas sana. Tangga yang melingkar itu mengarah persis ke loteng. Ia dapat mendengar suara bising dari kumpulan remaja lain yang hadir disana, keributan dari percakapan mereka. Karena tempatnya terbuka, Evan dapat melihat langit sore dari atas sana. Richie dan ketiga kawannya duduk di atas loteng sembai menikmati obrolan mereka. Lily juga hadir bersama teman wanitanya, Dona. Wanita itu langsung menatapnya begitu Evan bergabung dengan kelompok. Mereka memintanya untuk duduk untuk mengisap putung rokok. Evan sempat menolak, tapi kemudian Richie memaksanya. Tiga orang remaja lainnya yang baru datang segera bergabung dengan kelompok. Meskipun wajah mereka tampak familier, Evan tidak mengenalinya secara khusus. Namun semua orang yang hadir disana tampaknya mengenali Evan. Beberapa di antara mereka ikut hadir untuk menyaksikan pidatonya dalam kompetisi itu. Salah seorang dari mereka meledeknya bahwa ia akan menjadi seorang politis yang hebat dengan pidato itu, yang lainnya ikut bersorak untuk meledeknya. Rasa tidak nyaman itu membuat Evan menyingkir dari kelompok. Ia pergi ke sudut lain loteng dan duduk di untuk menyaksikan mataharinya tenggelam di ufuk langit. Tak lama kemudian, Evan mendengar suara langkah di belakang. Seseorang yang datang dengan membuawa dua botol bir di tangannya adalah Lily. Lily tidak repot-repot meminta izin untuk duduk di sampingnya, tanpa diminta wanita itu mendekatinya, kemudian meletakkan botol bir di tangan Evan sembari berkata, “Aku belum berterima kasih padamu hari itu. Jadi, terima kasih untuk menyingkirkan Luke. Kadang dia bertingkah menyebalkan.” Evan memandangi botol bir di tangannya kemudian tertegun. Ia mengangkat wajahnya untuk menyaksikan wanita itu menyipitkan kedua mata saat memandanginya. “Ada apa?” “Aku tidak minum alkohol..” “Itu bukan alkohol.. maksudku.. dosis alkoholnya tidak begitu tinggi, itu tidak akan membuatmu mabuk berat.” Evan tidak menanggapinya alih-alih bertanya, “kenapa kau berhubungan dengannya jika kau tidak menyukainya?” “Maksudmu Luke? Tidak, kami tidak berpacaran. Dia hanya suka memaksakan dirinya. Dia pikir aku menyukainya padahal tidak. Dia berteman baik dengan kakakku, itu saja.” Evan menatap Lily untuk kemudian berpaling dan memandang lurus ke ufuk langit, persis di bawahnya ia menyaksikan bukit tinggi membentang luas, pohon-pohon rindang mengelilinginya. Evan mengenali setiap sudut tempat di kota itu, ia menghabiskan sembilas belas tahun hidupnya untuk menjelajahi setiap sudut tempat disana. Lily tampaknya tidak begitu tertarik dengan kota itu, wanita itu mengatakan bahwa menempati kota itu adalah sebuah kesalahan besar. Disana tidak ada tempat hiburan yang cukup untuk remaja seusia mereka selain itu mereka menempati sebuah kawasan yang terletak belasan mil jauhnya dari pusat kota. Evan menghabiskan sore itu untuk mendengar Lily mengungkapkan banyak hal tentang latar belakangnya yang tidak begitu baik. Wanita itu tidak menyukai ide untuk menghabiskan lebih banyak waktu di rumah bersama keluarganya. Ibunya adalah seseorang yang dibencinya dan Lily mengatakan bahwa wanita itu selalu berteriak di depan wajahnya hampir setiap hari. Sementara itu, kehidupan tidak bisa menjadi lebih buruk lagi untuknya karena ayahnya adalah seorang pecandu alkohol yang suka bertindak kasar. “Aku terkejut sekali kau melakukan hal itu padaku,” ucap Lily. Kedua alis Evan saat mendengarnya. Ia bertanya, “melakukan apa?” “Menolongku dari orang-orang seperti Luke. Tidak ada yang begitu peduli padaku seperti itu, dan itu membuatku tersentuh.” Alih-alih menanggapinya, Evan tertegun menatap botol bir di tangannya hingga Lily menegurnya dengan bertanya, “cobalah sekali! Itu tidak akan membunuhmu, aku bersumpah!” “Bagaimana rasanya?” “Sedikit terbakar,” sahut Lily. “Tapi kau akan menyukainya.” Keheningan menggantung di sekitar mereka hingga Evan memutuskan untuk memboka botol bir itu dan mendekatkannya ke mulut. Reaksi yang dialaminya kali pertama menelan minuman itu tidak begitu menyenangkan. Seperti yang dikatakan Lily, Evan merasa sesuatu seperti membakar mulutnya, namun tidak sulit untuk membiasakan diri untuk meminumnya. Persis setelah sore itu berakhir, Evan kembali ke rumahnya. Ia masuk melalui pintu belakang untuk menghindari kedua orangtuanya, kemudian menaiki tangga kayu dan mengunci dirinya di dalam kamar. Sesuatu dalam kepalanya terus bertanya-tanya tentang keputusan ceroboh yang mungkin saja telah diambilnya hari itu. Namun perubahan itu sama sekali tidak mengganggunya. Sebaliknya, Evan merasa bahwa perubahan yang terjadi itu sejenak dapat mengalihkannya dari rasa pesimis dan kegagalan yang terus membayanginya. Mudah sekali untuk mengambil keputusan, yang sulit adalah mempertanggungjawabkannya. Evan tidak berpikir panjang malam itu, ia hanya tahu bahwa – mungkin – ia dapat mengubah takdirnya sendiri dengan merebut kembali masa kanak-kanak yang dilewatinya selama ini. Tapi bahkan ia tidak berpikir panjang untuk setiap tindakan yang diambilnya sejak malam itu. Evan hanya memutuskan bahwa ia akan bersenang-senang dan melakukan apa yang tampaknya normal dilakukan oleh remaja seusianya. Hari-hari berikutnya berlalu dengan cepat. Setiap hari ketika ia memutuskan untuk meninggalkan kampus lebih awal dan pergi bersama kelompok remaja itu, ia merasa semakin dekat dengan mereka. Rutinitas mereka untuk mengobrol dan bersenang-senang tidak lagi menjadi sesuatu yang aneh. Bahkan hanya dalam hitungan hari, Evan dapat merasa terbiasa dengan aktivitas itu. Disisi lain, Don terus berusaha menariknya kembali. Evan hanya terus mencari-cari alasan untuk menghindarinya. Dan setiap detik yang berlalu setelah ia memutuskan untuk bergabung dengan kelompok remaja itu, hubungan pertemanannya dengan Hannah ikut meregang. Memang benar bahwa ia tidak dapat merangkul dua hal secara bersamaan. Selalu ada pilihan dan konsekuensi. Namun Evan bahkan nyaris tidak memikirkan konsekuensi atas pilihan yang diambilnya. Alkohol membawanya hanyut dalam dunia gelap yang sekilas tampak memukau, persis seperti ratusan titik kecil dari cahaya lampu di pusat kota. Cahayanya begitu memukau hingga ia nyaris tidak dapat memalingkan wajah ketika menyaksikannya. Sementara itu, Lily telah menjadi bagian lain dari kesenangan singkat itu. Sama halnya seperti alkohol yang menyebabkan candu ketika dikonsumsi secara berlebihan, Lily adalah hal lain yang sulit untuk didefinisikan. Evan tidak memiliki alasan untuk berada di dekatnya, namun wanita itu akan selalu datang untuk mengelilinginya, hingga pada momen dimana ia merasa cukup mabuk untuk berpikir secara sehat, Lily mendekatinya dan memeluknya erat. Wanita itu membisikkan sebuah kalimat yang bahkan tidak dapat diingatnya hingga Evan terbangun di pagi harinya dengan Lily yang tertidur lelap sampingnya. Evan tersentak bangun karena terkejut. Ia berusaha mengenali tempat itu, namun ingatannya kabur. Jadi ia mengenakan pakaiannya dengan cepat, pergi meninggalkan kamar sewaan di sebuah tempat penginapan itu dan bergegas untuk pergi ke kampus dan menghadiri kelas pertama. Kelas berlangsung lebih panjang dari biasanya, terutama ketika Evan terus menguap dan tidak dapat berkonsentrasi penuh pada mata pelajaran yang diberikan oleh dosennya. Ingatannya berpusar pada peristiwa yang terjadi malam tadi. Evan mengingat ia pergi meninggalkan rumahnya diam-diam dan bergabung dengan kelompoknya. Mereka membawanya ke sebuah pub di kota, tempat dimana orang-orang berkerumun untuk meneguk alkohol atau sekadar menikmati suara musiknya yang menggema keras. Seseorang harus berteriak untuk dapat didengar dan ia segera memutuskan bahwa pub itu bukanlah tempat yang cukup menyenangkan kecuali karena mereka menjual alkohol dengan harga murah. Evan tidak ingat berapa banyak yang diminumnya karena Richie dan Antoni menantangnya untuk itu, namun ia mengingat ketika Lily menariknya menjauhi kerumunan membawanya ke sebuah tempat penginapan dan mengatakan bahwa mereka bisa menginap disana selama semalaman. Evan tidak ingat siapa yang membayar biaya sewa untuk motel itu, tapi yang jelas ia kehabisan semua uang sakunya. Ingatan tentang malam yang dilaluinya bersama Lily masih kabur, namun hal itu terasa begitu menganggu hingga berhasil mengalihkannya dari mata kuliah yang dilaluinya hari itu. Sore sebelum pulang, Evan menyusuri lorong dan berdiri di belakang mesin telepon. Ia tertegun saat memandangi mesin itu dan berpikir apa sebaiknya ia menghubungi kantor surat kabar untuk menanyakan kembali tentang artikel-nya. Namun Evan baru setengah jalan untuk meluruskan niat itu ketika ia memutuskan untuk meletakkan kembali gagang telepon pada mesinnya dan pergi menuju ruang penyimpanan untuk meletakkan beberapa bukunya di dalam rak. Evan sengaja memilih akses lain untuk sampai di sana sehingga ia tidak harus melewati perpustakaan dan berpapasan dengan Don. Namun ketika ia berdiri di belakang lemari penyimpanannya, seseorang datang menghampirinya dan mencoba untuk berbicara dengannya. Wanita itu adalah Hannah yang mengenakan almamater biru dan dasi hijau favoritnya. Evan mengenali segaris kerutan yang muncul di dahinya ketika wanita itu mendekat untuk berkata, “kau tidak menghadiri misa kemarin.” Butuh waktu beberapa detik untuk menyadari bahwa wanita itu menunggu ia menanggapi ucapannya. Alih-alih melakukannya, Evan memilih untuk meletakkan buku-buku ke dalam rak itu dengan cepat kemudian berbalik untuk bersiap pergi. “Apa aku melakukan sesuatu yang salah padamu?” Evan mengayunkan tasnya ke atas pundak, sejenak bergeming sebelum memberanikan diri untuk menatap Hannah. Wanita yang berdiri di sampingnya masih menjadi wanita yang sama: seseorang yang menarik dan dikaguminya. Namun Evan menyadari bahwa kedekatannya dengan Hannah mungkin menjadi sesuatu yang mustahil, terutama setelah ia mengambil keputusan yang telah mengubah hidupnya. Benaknya tidak memiliki keraguan pada Hannah melainkan pada dirinya – tentang apa yang telah dilewatinya dan kemungkinan bahwa ia hanya akan merusak sesuatu yang dimiliki wanita itu, maka untuk menanggapi pertanyaan terakhir Hannah, Evan menggelengkan dan menjawab, “tidak.” Ia punya firasat bahwa Hannah tidak memercayainya, karena setelah percakapan singkat itu berakhir, wanita itu masih memandanginya dan setiap hari ketika berpapasan dengannya, Hannah tidak akan mengatakan sesuatu atau berusaha mendekatinya. Namun, satu hal yang diketahuinya secara pasti adalah fakta bahwa wanita itu tidak pernah mengabaikannya – tidak peduli sekalipun hidupnya telah berubah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN