Bab 6

1941 Kata
Dalam tidur yang terasa singkat itu, ia berada dalam ruang kosong yang gelap. Kemanapun pandangannya pergi, ia tidak akan sanggup melihat apapun. Ia masih bisa mendengar suara nafasnya, atau merasakan kulitnya yang dingin dan kabut di bawah kakinya. Kemudian semua terjadi dalam hitungan detik. Setitik cahaya kecil muncul di kejauhan. Dengan terburu-buru ia melangkah mendekati cahaya itu, berharap menemukan jalan keluar dari sana. Alih-alih mendekat, cahaya itu justru menjauhinya hingga langkahnya berhenti di satu titik dan ia hanya menunggu dalam keheningan yang terasa begitu memekakan. Tubuhnya bergetar selagi menunggu, nafasnya berembus tak beraturan. Cahaya itu kemudian membesar ketika bergerak mendekat. Ketika ia mengambil langkah mundur, cahayanya menjadi semakin besar dan tampak menyilaukan. Ia menggunakan lengannya untuk menutupi sinar besar yang kemudian menelannya, kali ini membawanya ke sebuah tempat yang mirip ladang. Hamparan rumput hijau mengelilinginya, di kejauhan terdapat sebuah pohon oak yang rindang, kabut gelap hampir menutupi langitnya. Tidak ada cahaya matahari disana, dan sejauh ia memandang, hanya ada hamparan rumput luas yang tak berujung. Herpaan angin kencang menampar wajahnya. Ia menunduk untuk menatap sepatu coklatnya yang usang menapak di atas tanah berumput dengan kaku. Ia telah mengenakan kemeja biru tua dan jaket hijau milik ayahnya. Keliman jaket itu ikut bergerak tertiup angin. Kemudian suara gemuruh angin terdengar kencang. Hamparan luas rumput di sekelilingnya bergerak ke arah yang sama dan dalam sekejap badai yang mengamuk mengeharuskannya berlari meninggalkan tempat itu untuk mencari perlindungan. Namun rasanya ia telah berlari belasan kilometer jauhnya dan mendapati bahwa tempat itu tidak berujung dan ketika ia mengamati lebih jelas, ia menyadari bahwa ia berdiri di tempat yang sama seperti kali pertama ia berada disana: di tengah-tengah hamparan rumput luas dan sebuah pohon oak besar yang berdiri kokoh di kejauhan. Kedua matanya terpejam, tangannya terbuka lebar dan ia membiarkan badai itu menerpanya, membawa terseret entah kemana hingga ia mendengar sebuah suara bergema persis di bawah langit gelap yang hendak menimpanya. “Evan! Evan..” suara itu berbisik di telinganya. Ia mendengar gumaman lain, namun semuanya terdengar saru kecuali satu kata: “Evan!” Kelopak matanya perlahan terbuka. Mulanya, segala hal masih tampak buram. Tepat di atasnya ia menangkap sebuah cahaya putih kecil dan bayangan hitam yang menari-nari di sekitarnya. Kemudian, suara-suara lain muncul secara bersamaan, suara itu mengisi telinganya dengan cepat. Ia melihat benda hitam di atas nakas, mencium aroma obat yang tajam, sebelum segalanya terlihat semakin jelas dan wajah pertama yang tersenyum padanya adalah wajah ibunya. Kedua matanya berbinar-binar, tangannya saling mengatup untuk memanjatkan doa dan air matanya bergulir begitu saja. “Kau akan baik-baik saja,” katanya. “Aku janji, kau akan baik-baik saja.” Evan mengalami kesulitan untuk mengingat apa yang terjadi. Ketika terbangun dari tidurnya pagi itu, ia sudah berada di dalam ruang UGD, berbaring di atas ranjang rawat dengan dua selang yang mengaliarkan cairan ke tubuhnya. Monitor hitam kecil di atas nakas difungsikan untuk memantau denyut jantungnya, sebuah perban melilit di kaki kiri dan lengan nya. Evan juga mengalami kesulitan untuk menggerakan sekujur tubuhnya, kedua kakinya mati rasa. Mulanya ia panik, namun keluarganya hadir disana untuk menemaninya. Ibunya duduk di samping sembari meremas tangannya dengan kuat, air matanya bergulir di atas wajah ketika ayahnya mulai menjelaskan situasi yang dialaminya. “Tulang kakimu patah karena kecelakaan itu,” katanya. “Mereka harus mengoperasinya. Kau mungkin akan kesulitan untuk bisa berjalan, tapi semuanya akan segera membalik, jangan khawatir!” Tubuh Evan bergetar, kemudian dalam sekejap ingatan akan kecelakaan itu membanjirinya. Evan mengingat sebuah cahaya yang berkedip di atas langit, seekor elang yang terbang memasuki portal langit dan menghilang disana, dan juga suara gemuruh mesin mobil yang keras sebelum kendaraan itu menabraknya. Kedua matanya terasa menyengat. Ia tidak dapat menahan tangisannya. Bahunya berguncang hebat dan ia merasa begitu hancur hanya dengan memikirkannya. Kakinya patah dan ia tidak diperbolehkan meninggalkan tempat itu hingga kondisinya pulih. Evan mungkin akan bisa berjalan normal kembali, namun hal itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat yang mana itu berarti tidak akan ada kompetisi akhir yang dapat diperjuangkan. Ia tidak akan memenangkan piala dan hadiahnya untuk lulus dan masuk ke sekolah penerbangan terbaik. Jantungnya mencelos, hatinya telah hancur berkeping-keping. Evan berharap ia tidak harus berada disana, Evan berharap ia dapat meneriakkan sesuatu dengan keras untuk meluapkan perasaannya. Namun bibirnya telah membisu sejak kejadian itu. Evan menolak untuk berbicara dengan siapapun yang datang untuk mengunjunginya. Meskipun begitu, orangtuanya selalu hadir disana untuk menemaninya dan dalam tekanan yang membuatnya tersiksa, ia meninggikan suaranya ketika salah seorang dari mereka memaksanya untuk berbicara atau sekadar memintanya untuk menghabiskan makanan. Sesekali ia berteriak hingga membuat mereka meninggalkannya sendirian dan mengambil waktunya untuk berpikir. Sementara itu, hari demi hari berlalu. Kompetisi akhir telah dimulai, empat peserta yang bertarung untuk memenangkan hadiah mereka, pergi ke Washington untuk mengikuti pelatihan penerbangan. Beritanya muncul di mana-mana: di televisi, di surat kabar, atau disiaran radio lokal. Namanya secara otomatis terhapus dari daftar peserta karena ia tidak dapat hadir untuk mengikuti pelatihan yang mana hal itu justru membuat kondisinya kian memburuk. Hari terasa begitu panjang di sana, detik bergulir dengan lambat dan setiap kali ketika ia menatap keluar jendela, ia mendapati kesedihan dan amarah itu menguasainya disaat yang bersamaan. Ia merasakan kebencian yang besar saat mengetahui dirinya tidak mampu bangkit dari sana, berjalan dan melakukan sesuatu seperti yang biasa dilakukannya. Evan malu mengakui bahwa ia telah membenci situasi yang dihadapinya saat itu. Setiap hari menjadi buruk dan semakin buruk ketika ia tidak dapat membuktikan pada dirinya – atau orang-orang di sekitarnya bahwa ia mampu mengikuti pelatihan itu dengan baik dan keluar sebagai yang terbaik. Kebencian yang terus tumbuh dari rasa sakit itu pada akhirnya mengakar dalam dirinya, memakan seluruh semangatnya dan membuatnya tumbang selama berminggu-minggu. Tiga pekan berlalu sebelum akhirnya ia diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Kakinya sudah mampu menapak di atas lantai meskipun ia masih harus menggunakan alat bantuan. Dalam satu kesempatan pada rutinitas makan malam keluarga di rumahnya, ibunya sempat memberi usulan untuk menggunakan kursi roda, namun usulan itu menjadi sia-sia karena segera setelah mendengarnya, Evan menyentak meja dengan kasar, memancing keributan di atas meja sebelum pergi dan membanting pintu kamarnya dengan kasar karena merasa tersinggung. “Aku tidak cacat!” teriaknya. “Aku masih bisa berjalan, apa kalian tidak bisa melihatnya?!” Malam-malam berikutnya berlalu dengan panjang karena Evan mengalami kesulitan tidur. Kondisinya menurun drastis, ia dapat menyadari hal itu hanya dengan menatap wajahnya di depan cermin. Namun alih-alih mengasihani dirinya, hal itu justru membuat amarahnya kembali menggebu-gebu. Evan pergi ke kabin di dekat danau untuk meluapkannya. Ia berdiri memandangi air keruh danau itu selama berjam-jam, merasakan kedua matanya yang kian memerah berusaha keras membendung kesedihan yang hampir pecah. Kedua tangannya terkepal erat, butuh usaha keras sebelum teriakkan protes itu akhirnya pecah. Satu tangannya terjulur untuk meraih sebuah batu di dekat sana kemudian ia melemparnya jauh ke arah danau. Tubuhnya membeku saat menyaksikan riak muncul di permukaan air begitu batu besar itu menyentuh dan tenggelam di dalamnya. Dadanya bergerak naik turun saat berusaha mengatur nafasnya, namun menghadapi keheningan itu tidak membuatnya merasa lebih baik, karena itu Evan melampiaskan amarahnya pada hal lain. Dengan tersuruk-suruk, ia berjalan mendekati kabin. Tempat itu berdebu setelah lama ditinggalkan, namun puluhan kertas hasil kerjanya masih menempel di atas dinding. Evan menatap pada sebuah sertifikat yang menggantung di antara kertas catatan itu, dalam sekejap merasakan darahnya mendidih. Ia membanting tongkat penyanggahnya dengan kesal, kemudian berjalan tersuruk-suruk untuk mengacaukan papan kerja itu. Satu langkah ceroboh mengakibatkan kakinya tidak sanggup menopang tubuhnya dan membuatnya jatuh di atas lantai kayu. Puhan kertas catatan bertebaran di sekelilingnya. Kala itu ia membiarkan tubuhnya merosot hingga wajahnya menyentuh permukaan lantai. Ia dapat mencium aroma kayu dan air hujan yang tajam pada permukaan lantai itu, tubuhnya berbaring telentang, matanya memandang lurus ke arah langit-langit kabin, kelopak matanya berkedip sesekali dan untuk kali pertama ia membiarkan air matanya jatuh bergulir begitu saja. - Dua hari berikutnya ia mendengar kabar bahwa universitas mereka telah mendapat dua pemenang dalam kompetisi itu. Evan mengenal satu salah satu di antaranya sebagai mahasiswa pertama yang berbicara dengannya dalam kelas fisika yang suka mereka hadiri bersama-sama. Seisi kampus merayakannya, karena persis pada hari itu, hari yang bertepatan dengan perayaan sekaligus pelepasan dua mahasiswa yang memenangkan lomba untuk pergi ke Chicago dan melanjutkan studi penerbangan mereka disana, kondisi Evan sudah cukup pulih sehingga ia dapat menghadiri kelasnya lagi. Belasan mahasiswi yang berpapasan di lorong memandanginya dengan tatapan simpati, sekilas Evan mendengar mereka saling membisikkan sesuatu dan menyebutkan namanya sesekali, namun ia berusaha mengabaikan mereka dan terus berjalan menyusuri lorong dengan hati-hati. Pintu perpustakaan terbuka lebar, ketika melewatinya, Evan menengok ke dalam dan menyaksikan Don duduk di belakang meja kerjanya, mengenakan kaca mata tebalnya dan berkutat dengan tumpukan kertas di atas meja. Evan sempat terpikir untuk masuk dan menyapanya, namun alih-alih melakukannya langkah kakinya justru membawanya bergerak menuju ujung lorong. Evan baru beberapa langkah melewati pintu perpustakaan ketika ia mendengar Don berseru di belakangnya. “Hei, Evan!” ujarnya dari arah pintu. Evan menghentikan langkahnya dan berbalik untuk mendengar laki-laki itu bertanya, “mau masuk dan mengobrol sebentar?” Kedua bahunya terangkat, untuk menanggapi pertanyaan itu Evan berbalik dan menjawab dengan cepat, “tidak hari ini,” kemudian ia berlalu pergi. Evan baru saja meninggalkan lorong dan sampai di taman. Ia berniat untuk menyendiri dan menempati sebuah bangku panjang di dekat sana. Namun ketika ia bergerak mendekat, ia menyadari Hannah telah duduk menempati bangku itu dengan tumpukan buku di pangkuannya. Wanita itu menyadari kehadirannya karena ia berbalik untuk menatap Evan dan tersenyum padanya. Tubuhnya membeku dan keinginan untuk pergi meninggalkan tempat itu muncul begitu saja. Hannah mungkin berpikir Evan akan datang dan bergabung dengannya, namun Evan menyaksikan senyum cerah di wajah Hannah hilang persis ketika ia memutuskan untuk berbalik pergi dan meninggalkan taman. Kedua matanya terpejam, ia merasa seolah seseorang menusukkan sesuatu ke tubuhnya. Terutama ketika mengetahui bahwa wanita itu tidak menyerah dan memutuskan untuk mengejarnya. Evan harus berusaha keras untuk mempercepat langkahnya demi menghindari Hannah. Yang terjadi ia justru menambah tekanan rasa sakit pada kakinya. Sementara wanita yang berusaha menginbangi langkahnya itu berbicara di belakangnya. Evan mendengarnya berkata, “Kupikir kau akan mengatakan ‘halo’..” katanya. Evan menolak untuk menanggapinya dan tanpa menghentikan langkahnya, ia berjalan menuju gerbang keluar. “Apa kau akan berbicara denganku?” tanya Hannah di belakangnya. “Aku ikut menyesal tentang kompetisi itu..” Pada detik itu Evan menghentikan langkahnya, berbalik menatap Hannah dan membuat wanita itu berdiri terpaku di tempatnya. Kedua tangannya terkepal, emosinya siap diluapkan, namun ia mengatup bibirnya rapat-rapat. Tatapannya mengatakan dengan jelas bahwa bagaimanapun usaha Hannah tidak akan menghiburnya. Wanita itu juga tidak mengalami kesulitan untuk memahami isyarat itu, dan untuk mempertegas maksudnya, Evan membuka mulut untuk berkata, “tinggalkan aku sendiri!” Tubuhnya berbalik, ia melanjutkan langkahnya yang tergopoh-gopoh untuk sampai di gerbang utama dan keluar dari tempat itu. Ketika Evan memutar wajah untuk menatap Hannah dari atas bahunya, ia menyadari bahwa wanita itu masih berdiri mematung di tempat yang sama dan memandanginya. Untuk kali pertama Evan membaca kekecewaan dalam raut wajahnya dan untuk satu alasan yang tidak dapat dimengerti, hal itu menimbulkan kesan lain yang membuatnya berpikir bahwa hari itu tidak akan bisa menjadi lebih buruk lagi. Malam sebelum pergi tidur, Evan memandangi langit gelap yang kosong dari balik jendela kamarnya. Sebuah titik dari cahaya bintang di kejauhan sana berkedip padanya, kemudian ia melihatnya kembali: sebuah cahaya yang sama berkedip di atas langit. Evan berusaha mengabaikan cahaya itu, ketika melihatnya, ingatan akan kejadian sebelum kecelakaan itu akan terulang dan untuk suatu alasan tertentu ingatan itu begitu menganggunya. Evan berharap ia tidak harus menghadapi momen itu: saat dimana instingnya memintanya untuk mencari dimana cahaya itu berasal sehingga ia dapat menghindari kecelakaan yang akan terjadi padanya. Meskipun begitu ia masih bertanya-tanya siapa yang menempatkan cahaya di atas langit itu? Dan mengapa?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN