Bab 8

2398 Kata
Setiap hal yang terjadi pada hari-hari berikutnya seperti kabut gelap yang menggantung di atas kepalanya. Kemanapun ia pergi, kabut itu akan membayanginya seperti sebuah mimpi buruk. Namun Evan menduga bahwa yang terburuk benar-benar belum terjadi karena persis setelah firasat itu muncul, ia mendapati dirinya berjalan menyusuri lorong di kampusnya untuk sampai di depan ruangan yang ditempati oleh salah seorang pengurus kampus. Wanita paruh baya itu berpakaian rapi dan mengenakan kaca mata tebal, menatapnya dari balik meja kayu panjang yang dipenuhi oleh tumpukan kertas dan map-map tebal. Wanita itu telah menunggunya untuk muncul di depan pintu dan Evan sudah dapat menebak apa yang hendak disampaikannya. “Kau harus melunasi biaya kuliahmu untuk dua semester terakhir atau kau tahu konsekuensinya..” Evan memikirkan hal itu di sepanjang perjalanan pulang. Ia berusaha mencari cara untuk mendapatkan uangnya sendiri sehingga ia dapat melunasi semua utang-utang kuliahnya. Karena itu, sore segera jam pelajaran berakhir, Evan pergi ke kantor surat kabar dimana ia menawarkan artikelnya pada pemilik kantor itu. Seorang petugas yang berjaga disana memintanya untuk menunggu di dekat pintu. Setidaknya Evan telah menunggu selama satu jam lebih sebelum ia akhirnya mendapat giliran untuk berbicara dengan pria pemilik perusahaan surat kabar lokal itu. Mulanya semua berjalan baik, Evan dipersilakan untuk menempati kursi di seberang mejanya dengan sopan dan ia diizinkan untuk menjelaskan maksudnya. Namun di tengah penjelasan itu, seseorang mengetuk pintu ruangan dan mengatakan bahwa pria bernama Vincent, yang merupakan pemilik perusahaan itu diharuskan bersiap untuk menghadiri pertemuan dengan klien dalam lima belas menit ke depan. Akibatnya, Evan tidak punya banyak waktu untuk menjelaskan artikelnya dan laki-laki itu juga tampaknya tidak mau repot-repot untuk mendengarnya, alih-alih mengatakan bahwa pekerjanya akan menghubungi Evan dalam waktu dekat. “Tapi aku membutuhkan uangnya sekarang..” jelas Evan dengan terburu-buru. Vincent bangkit berdiri dari kursinya, menyampirkan lengan kemejanya kemudian berjalan mendekati pintu. “Maksudku.. aku sudah menunggu selama hampir dua bulan, tapi mereka belum memberi kabar.” Vincent tidak mengacuhkannya ketika laki-laki itu memutuskan berjalan mendekati pintu dan memintanya untuk keluar dari ruangan itu. Hal terakhir yang disampaikannya hanya, “aku akan memastikan mereka menghubungimu jika artikelmu benar-benar layak. Sekarang pulanglah, orangtuamu pasti sudah menunggumu di rumah!” Segera setelah meninggalkan kantor surat kabar itu, Evan mengendarai sepedanya dengan perasaan kecewa. Namun semua tidak berakhir sampai disana, Evan harus menghadapi keributan lain bersama orangtuanya di dalam rumah. Semua berawal dari pertanyaan-pertanyaan mereka tentang apa yang terjadi dalam waktu dekat. Evan mendapati bahwa ia tidak pandai menyembunyikan sesuatu karena ayahnya menjadi orang pertama yang menyadari hal itu dan terpancing karenanya. “Kau meninggalkan pekerjaanmu di lumbung, dan kau keluar setiap malam. Pagi ini pengurus universitas menghubungiku dan mengatakan kau belum membayar biaya untuk dua semester terakhir. Kemana perginya uang yang kuberikan padamu minggu lalu? Kenapa kau tidak berbicara padaku dan menjelaskan situasinya? Ada apa denganmu?! Jika kau punya masalah, kau bisa memberitahu kami sekarang!” “Aku menghabiskan uangnya..” sahut Evan dengan cepat. Ia dapat merasakan ruang makan itu tiba-tiba menyempit. Di belakang mejanya, Edith duduk dan memandanginya dari atas piring, makanannya nyaris tak tersentuh. Keributan yang terjadi di atas meja makan terasa seperti bencana besar. Mereka telah melewati hari-hari yang tenang selama ini, sebelum kejadian dua bulan yang lalu mengubah segalanya. Kini, sebuah teriakan tidak pernah absen dari atas meja makan. Ketika salah satu di antara mereka diam, yang lainnya akan meninggikan suara. Masalah datang bertubi-tubi, bukan hanya karena bisnis ternak dan ladang yang sedang menurun akibat perubahan musim yang tak menentu, tapi juga karena utang-utang yang harus dilunasi mereka untuk semua pangan yang dipesan bulan lalu. Malam itu Evan membawa masalah baru ke atas meja makan. Edith nyaris tidak mengatakan sepatah katapun dari awal. Di sudut lain ibunya berusaha untuk tetap tenang, namun Evan menyadari bagaimana kesedihan dan kekecewaan yang besar terlukis dalam raut wajahnya. Ayahnya telah habis kesabaran. Laki-laki itu telah melewati hari yang panjang dan melelahkan sebelum Evan membawa masalah lain untuknya. “Apa? Kau menghabiskannya? Untuk apa?” Evan tidak menjawab pertanyaan itu alih-alih mengatakan, “jangan khawatir aku akan menggantinya..” “Tidak!” tubuhnya tersentak bangkit dari atas kursi. Keributan berawal dari teriakan itu dan merembet begitu Evan ikut berdiri untuk menghadapinya. “Ini bukan tentang itu, aku bertanya kemana semua uang itu? Kau tahu itu uang terakhir yang kita punya dan kau menghabiskannya untuk dirimu sendiri? Apa aku tidak pernah mengajarkanmu untuk tidak menjadi egois? Kemana putraku, bisakah aku berbicara dengannya? Apa aku harus berteriak untuk berbicara dengannya?” Wajahnya memerah ketika Evan merasakan amarah menguasainya. Selama sejenak ia berusaha mengendalikannya, namun situasinya menjadi semakin panas begitu laki-laki itu mendekatinya untuk menuntut penjelasan. “Aku mengirim sejumlah artikel ke perusahaan surat kabar dan jika lolos, mereka akan membayarku. Uang itu akan cukup untuk menutupi semuanya.” “Ya, dimana uangnya sekarang? Apa kau berhasil? Apa kau dapat memastikan mereka membeli artikelmu?” Keheningan yang mencekam menjalar ke setiap sudut ruangan, rasanya Evan dapat mendengar sebuah dengungan yang bergema di kepalanya, kemudian menjadi sesuatu yang lebih keras, mengganggunya dengan pemikiran bahwa semua yang dilakukannya tidak akan pernah cukup untuk mengubah situasi yang terjadi disana. “Apa kau mengonsumsi alkohol?” tanya ayahnya dengan suara keras. “Beritahu aku, apa kau mengonsumsi alkohol! Aku melihatmu pulang tengah malam bersama teman-temanmu, dan kau tidak pernah datang ke lumbung untuk membantuku. Kau meninggalkan kelasmu dan pergi bersama teman-temanmu. Itu benar kalau kau mengonsumsi alkohol, kan? Beritahu aku! Kemana semua uang itu pergi?” Jantungnya mencelos, Evan merasakan sesuatu seakan menusuknya dengan begitu keras. “Evan, aku berbicara denganmu! Beritahu aku, beritahu ibumu dan saudarimu apa yang kau lakukan? Kau mengecewakan kami, Evan.. kau berhasil mengecewakan kami.” Kalimat terakhir itu membuat Evan mendorong kursinya ke belakang dan bergerak pergi meninggalkan meja makan. Ia membanting pintu kamarnya dengan kasar dan membiarkan keheningan itu mengisi setiap sudut tempat di dalam sana, merangkulnya dengan erat. Tapi ia menyadari bahwa langkah yang diambilnya sudah terlalu jauh dan sudah terlambat untuk mundur. Pikirannya berasap pada banyak hal yang menghampirinya dalam waktu dekat. Hal-hal buruk datang secara beruntun seperti sebuah mimpi buruk. Malam-malam yang dilaluinya tidak pernah terasa lebih panjang. Terkadang ia mendengar suara di kepalanya meneriakkan sesuatu yang tidak lazim, atau nyanyian yang terkadang muncul begitu saja. Semua itu memberitahunya untuk pergi. Dulu ketika semua hal terasa baik, segalanya berjalan begitu mudah. Namun alam seakan hendak memberinya hukuman atas kesalahan yan bahkan tidak ia perbuat dan setiap kali Evan berusaha menyangkal, ia hanya akan mendapati dirinya jatuh lebih jauh ke dalam jurang yang terjal, dimana tidak ada jalan baginya untuk kembali ke tempat awal. Memang benar bahwa waktu tidak pernah bergerak mundur. Seseorang dapat melihat masa lalu namun tidak akan bisa mengulangnya dan untuk satu alasan tertentu Evan menyesali hal itu. Tapi apa yang terjadi berikutnya merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari, dan keterpurukannya hanya membuat Evan berpikir untuk meninggalkan tempat itu. Kelompoknya akan membawanya pergi ke suatu tempat, tempat dimana ia akan terbebas dari semua hal itu dan sebuah tempat dimana segalanya akan terasa lebih mudah karena tidak ada tanggungjawab yang harus dipikul, tidak ada sesuatu yang perlu dikhawatirkan dan segalanya hanya akan berjalan seperti yang seharusnya. Namun Evan tidak benar-benar sadar tentang keputusannya karena ia hanya mengikuti insting dalam dirinya yang mendambakan sebuah ketenangan, jauh dari keributan dan tekanan, sebuah situasi yang tampaknya mustahil ia dapatkan di rumahnya. Jadi Evan menyetujuinya dengan cepat dan mereka sepakat akan pergi pada tengah malam. Itu berarti satu lagi aksi pergi diam-diam dari rumahnya. Namun kali ini Evan dapat memastikan bahwa itu adalah yang terakhir. Evan menghabiskan hari liburnya untuk mengemas sejumlah pakaiannya ke dalam tas. Ia meninggalkan semua buku, catatan-catatan dan hanya membawa apa yang perlu. Evan tidak sepenuhnya yakin, tapi ia punya firasat bahwa itu akan menjadi momen terakhirnya berada di sana, karena itu ia memutuskan untuk menghabiskan lebih banyak waktu untuk duduk di kamarnya dan memikirkan kembali keputusannya. Ia tidak yakin tentang banyak hal dan apa yang mendorongnya untuk pergi hanyalah sebuah anggapan bahwa hidupnya akan terasa lebih mudah setelah ini. Tidak ada beban lain yang harus dipikulnya karena ia akan hidup secara mandiri, mendapatkan pekerjaan dan menghasilkan uangnya sendiri. Setidaknya pemikiran itu memberi alasan kuat baginya untuk meninggalkan rumah. Kemudian semua terjadi begitu saja. Malam itu ia berhasil mengendap-endap keluar dan meninggalkan rumah. Kali ini Evan tidak mengendarai sepedanya. Teman-temannya telah menunggunya di pinggir jalan, mereka mengendarai sebuah jeep hitam yang kemudian membawanya pergi meninggalkan kawasan itu. Evan membiarkan kaca jendelanya terbuka sehingga ia dapat melihat keluar sana, menyaksikan jalanan panjang yang dilaluinya. Lumbung milik ayahnya kini hanya terlihat seperti sebuah titik kecil di kejauhan. Ia memikirkan kembali keputusannya di sepanjang perjalanan, namun setiap detik yang berlalu membawanya semakin jauh - terlalu jauh untuk kembali hingga Evan membiarkan dirinya bersandar di punggung kursi dan jatuh terlelap. - Ada banyak hal yang muncul di kepalanya, semua itu hadir bergiliran seperti herpaan angin kencang yang menamparnya, menariknya kembali pada momen-momen kecil yang pernah dialaminya. Suatu pagi yang cerah ia berjalan menyusuri ladang, dengan rumput liar yang tubuh subur di bawah kakinya, menutupi jalur setapak menuju anak sungai, dan terus memanjang menuju kaki bukit. Matanya memandang lurus ke depan, menyaksikan sinar matahari jatuh merambat di atas permukaan air sungai yang menggenang tenang, menerangi setiap sudut tempat disana. Tepat di atas pohon oak yang rindang, puluhan burung terbang bersamaan, kemudian menghilang di ufuk langit. Warna pelangi mengintip dari balik bukit tinggi, cahayanya merambat panjang dari atas langit dan sejenak membuatnya terpukau. Wanita yang berdiri menjulang tinggi di sampingnya menjulurkan tangan dan menunjuk ke arah bukit. Sudut bibirnya terangkat ketika mengulas senyum, rambut gelapnya tergerai di belakang bahu. Wanita itu akan selalu tampil dengan setelan kemeja biru dan rok bercorak bunga berwarna putih. Ia akan tampil sebagai sosok favorit yang mengajarkannya tentang banyak hal yang tidak ia ketahui pada masa itu. Terkadang Evan melihatnya duduk di belakang meja kerjanya dengan kertas yang harus diperiksa, wajahnya tampak pucat karena penyakit tumor yang dialaminya, namun kemanapun wanita itu melangkah dan siapapun yang ditemuinya akan menjadi seseorang yang menyaksikan senyuman lebar di wajahnya. Suaranya akan terdengar selembut sutra, ia memiliki aksen yang unik ketika berbicara dan karena wanita itu berdarah Asia, ia memiliki perawakan yang mudah untuk diingat. Terkadang Evan hanya duduk dan memandanginya menjelaskan hal-hal baru yang tidak pernah diketahuinya. Ketika ia menghindar untuk bermain dengan murid-murid lain di taman, wanita itu akan datang untuk menemaninya. Ia suka bercerita banyak hal, dan ia akan membuat cerita-cerita itu bagaikan sebuah rahasia yang diungkapkan oleh burung-burung kecil di dekat gereja, atau seperti soneta yang terkadang dinyanyikan sebagai doa. Bahkan hingga sekarang Evan masih mengingat wajahnya: caranya berbicara, atau suaraya yang terdengar begitu familier. “Lihat pelangi itu?” tanya wanita itu di sampingnya. “Ya.” “Warna apa yang kau suka?” Evan mengangkat kedua bahunya sembari mengamati cahaya pelangi itu di kejauhan, kemudian bertanya-tanya tentang sebuah warna yang benar-benar disukainya. Tapi ia nyaris menyukai semua warna yang dilihatnya, menurutnya semua warna itu memiliki sebuah keunikan tersendiri. “Aku tidak tahu.. aku menyukai semua warna itu.” “Apa yang dapat kau lihat dari pelangi?” “Warna..” “Berapa warna?” “Tujuh.” “Tepat sekali.” Kemudian Evan menyipitkan kedua matanya, melihat lebih jelas di kejauhan dan kembali bertanya, “kenapa hanya tujuh? Kemana warna yang lainnya? Coklat? Biru tua? Merah muda?” “Semua ada disana,” jelasnya dengan ringan. “Aku tidak bisa melihatnya.” “Itu disebut warna cahaya. Cahaya memiliki tujuh warna, semua dikelompokkan sesuai dengan panjang gelombangnya. Warna dengan panjang gelombang tertinggi adalah merah, sedangkan yang terendah adalah ungu. Dan semua warna yang absen dari apa yang kau lihat disana adalah perpaduan dari ketujuh warna itu.” “Bagaimana dengan hitam?” “Hitam menyerap semua warna cahaya, maka tidak ada warna yang dipantulkan dikembalikan ke mata kita, itu sebabnya hitam disebut hitam – tidak ada warna.” “Aku mengerti..” Wanita itu kembali tersenyum lebar saat bertanya, “jadi, warna apa yang kau suka?” Sembari mengangkat wajahnya untuk memandangi wanita itu dengan polos, Evan menjawab, “warna cahaya.” Namun masa-masa itu telah berlalu bagaikan asap yang berkabut di kepalanya. Dalam sejumlah momen yang dijumpainya, ia mendapati bahwa segalanya dapat menjadi lebih rumit dari yang diduga. Namun Evan menyaksikan satu-satunya cahaya yang menusuk pandangannya malam itu. Cahaya itu menyorot ke setiap sudut tempat di dalam bar, musik bergema kencang dan orang-orang berpesta. Evan merasakan tubuhnya seakan melayang, pandangannya kabur namun ia menyadari bahwa suara-suara itu masih bergema di sekitarnya: suara musik dan keributan para anggota kelompoknya. Untuk memulihkan sensasi aneh yang dialaminya itu, Evan menyandarkan tubuhnya di atas sofa, membiarkan kedua matanya terpejam sejenak, kemudian terbuka kembali hanya untuk menyaksikan ketujuh spektrum warna menari-nari di atasnya, menyambutnya dengan cara yang aneh. Meskipun sulit untuk dapat berpikir menggunakan akal sehatnya kala itu, namun Evan menduga bahwa sensasi aneh yang melingkupinya adalah efek dari pil kecil yang ditelannya. Para remaja itu memaksanya untuk menelan pil itu dan hanya dalam hitungan menit, segalanya tampak aneh. Namun sensasi itu mampu mengalihkan pikirannya sejenak dari semua hal yang terjadi beberapa hari terakhir dan untuk satu alasan tertentu, Evan menikmatinya. Ia memberi kelonggaran pada dirinya untuk duduk bersandar dan menikmati momen itu. Aroma alkohol yang tercium tajam di setiap sudut tempat, bercampur oleh bau keringat dan hawa panas di tengah ruangan padat itu lambat laun terasa akrab. Evan dapat membiasakan dirinya hanya dalam hitungan hari. Namun ia bertanya-tanya, sudah hari keberapa sejak ia meninggalkan rumahnya, meninggalkan tugas-tugasnya di lumbung, pekerjaannya dan sekolahnya? Satu hari? Dua hari? Tiga hari? Rasanya lebih lama dari itu. Ia menghabiskan sisa tabungannya untuk membayar semua kesenangan kecil yang dapat dibeli dengan harga murah, kemudian menenggelamkan dirinya dalam situasi yang begitu asing – sekaligus terasa begitu menyenangkan, diam-diam menikmati hubungan percintaan singkat dengan seorang wanita yang dijumpainya di bar. Evan tidak berpikir panjang – ia telah menanggalkan akal sehatnya persis ketika ia memutuskan untuk pergi meninggalkan keluarganya. Ia pikir ia akan menemukan kehidupan baru di kota, sebuah pekerjaan baru atau orang-orang baru, tapi segalanya tidak berjalan sesuai rencana. Teman-temannya suka bersenang-senang, dan ketika Evan tidak memiliki kuasa untuk menghentikan mereka – atau bahkan menghentikan dirinya, ia hanya membiarkannya saja. Evan telah menerima situasi itu sebagai sesuatu yang baru untuknya, ia mengatakan pada dirinya bahwa ia akan membiasakan diri terhadap situasi itu hingga momen yang dinantinya tiba – momen ketika rasa sakit hatinya akan kegagalan terbesar dalam kompetisi itu dapat sembuh. Mungkin, pikirnya.. mungkin kau akan sembuh, atau justru kau hanya membuatnya semakin buruk.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN