Bab 5

2493 Kata
“Titik kecil ini adalah awal mula perjalanan cahaya itu bermula. Foton-foton cahaya yang saling bertabrakan membentuk energi. Zat bertemu dengan antizat. Antizat memusnahkan zat, namun untuk satu alasan yang tidak diketahui penyebabnya, jumlah zat lebih banyak daripada antizat dan begitulah kehidupan berawal, dari ketidakseimbangan kecil di awal yang menciptakan sesuatu yang lebih besar. Cahaya yang kita saksikan sekarang adalah saksi mata perjalanan selama miliaran tahun lamanya, mereka menempuh jarak miliaran tahun sebelum mencapai mata kita. Bisa kau bayangkan perjalanan panjang yang telah ditempuh oleh semua foton cahaya itu? Benar bahwa kita hidup dan menatap ke masa lalu, masa dimana semuanya berawal, ruang dan waktu tidak diperhitungkan. Semua unsur tidak dapat diukur dengan angka, kemudian.. buumm! Semuanya terjadi - tanpa alasan. Mengapa semua ini terjadi? Kita tidak tahu, kita hanya menatap ke atas langit dan bertanya-tanya maksud kita di alam semesta, disini, di planet biru kecil yang hangat, di bawah langit biru mudanya yang memukau, di antara samudra yang membentang dari utara ke selatan, barat ke timur, berlindung di bawah dinding batu, hidup dan bergantung pada energi surya dan bertanya-tanya apa itu waktu – bagaimana itu bermula – dan bagaimana itu akan berakhir..” Evan mengangkat wajahnya dari secarik kertas dalam genggamannya, menatap Don yang duduk di sampingnya. Laki-laki itu menarik rahangnya dan tersenyum, kedua matanya berlikilat, tatapannya hangat dan kehadirannya menenangkan. Pada pukul sepuluh sebelum kelas berikutnya di mulai, Evan memutuskan untuk menemui Don dan meminta pendapatnya tentang paragraf pembuka yang telah disusunnya untuk memenuhi tugas kompetisi itu. Don hadir disana seperti yang diinginkannya, laki-laki itu mendengarkannya selagi Evan membaca setiap kalimat dalam paragrafnya, dan tanpa ragu-ragu memuji hasil karyanya. “Itu indah,” katanya. “Benar-benar indah, Nak. Kau tahu apa? Kau akan berdiri di atas panggung dan orang-orang akan bertepuk tangan untukmu.” “Apa itu berarti aku tidak perlu memperbaikinya?” Don menggeleng cepat dan berkata, “tidak.” “Baik,” Evan melipat secarik kertas itu dan meletakkannya di dalam tas. Ia bangkit berdiri sembari mengalungkan tasnya di atas pundak dan bersiap untuk pergi sebelum sesuatu menghentikannya. Kedua matanya menatap Don selagi laki-laki paruh baya itu menyandarkan tubuhnya di atas kursi panjang, melipat kedua tangannya di depan d**a sembari membuka kedua telinga untuk mendengarnya mengatakan sesuatu. “Aku tidak mengerti mengapa mereka memenjarakan orang baik sepertimu.” Don tersenyum lebar, tatapannya jatuh ke atas permukaan lantai ketika laki-laki itu tertegun. Setelah beberapa detik, ia mengangkat wajahnya, kembali menatap Evan dan berkata, “mungkin karena aku layak menerimanya.. tapi itu sudah berlalu dan aku disini sekarang, kapanpun kau butuhkan.” Sebuah senyuman lembut terulas di bibir Evan. Ia mengangguk sebelum meninggalkan perpustakaan itu dan tiba lebih awal untuk menghadiri kelasnya. Kelas itu berlangsung lebih cepat dari biasanya, Evan menyelesaikan tugasnya lebih cepat sehingga ia dapat menyelesaikan pekerjaan lain. Sementara murid lainnya masih duduk di kursi mereka dan bergumul dengan semua soal dalam lembar ujian siang itu, Evan mengumpulkan hasilnya lebih awal kemudian pergi meninggalkan kelas. Ia sempat berpapasan dengan Hannah di lorong. Wanita itu melambaikan tangan dan tersenyum padanya. Segelintir perasaan aneh yang muncul membuat adrenalinnya berpacu kuat. Sesuatu dalam dirinya terasa menggebu-gebu, perasaan itu memintanya untuk duduk dan menyelesaikan sisa makalahnya sebelum sehingga ia dapat menyerahkannya besok sebelum jam makan siang. Evan bekerja siang dan malam untuk mengerjakan semua itu. Ia memotong waktunya untuk membantu menyelesaikan pekerjaan di lumbung dan menghabiskan lebih banyak waktunya di dalam kamar, duduk di belakang meja belajarnya dan mulai menyusun kata demi kata sebelum akhirnya semua itu menjadi sebuah tulisan menarik. Evan juga menghindari kumpulan remaja yang ditemuinya di kabin dalam peristiwa pertikaian yang terjadi beberapa hari yang lalu. Ia menolak untuk berbicara atau sekadar menjalin kontak mata denagn mereka. Evan menyadari bahwa di kejauhan, para remaja itu sedang menertawainya, namun kompetisi yang sedang dijalaninya telah menyita perhatian Evan dari semua hal itu sehingga ia tidak mengalami kesulitan untuk mengabaikan mereka. Kebaikan tidak selalu hadir bersamaan, namun mereka datang secara beruntun hingga Evan nyaris memercayai bahwa keajaiban itu benar-benar terjadi. Pertama, luka di wajahnya kian membaik, kemudian ia berhasil menyelesaikan makalahnya sesuai dalam tenggat waktu yang telah ditentukan, tidak hanya itu, hubungannya dengan orangtuanya kian mambaik, dan akhir pekan ini pemilik kios tempatnya bekerja mengganjinya duakali lipat karena ia menyelesaikan pekerkerjaannya dengan baik sebelama enam bulan terakhir. Seolah dunia sedang bekerja untuk menyenanginya, kedekatannya dengan Hannah tiba-tiba terjadi begitu saja. Setiap kali Evan menghabiskan waktunya duduk di taman, membaca buku atau menyelesaikan tugasnya, wanita itu akan datang menghampirinya dan berbagi makan siang. Hannah membawa lebih banyak makanan yang dapat dihabiskan untuk dua orang, sebagai gantinya Evan akan membagi wanita itu jatah makan siang yang telah disiapkan ibunya. Setelah duakali berbagi bekal makan siang, Hannah mengatakan bahwa itu adalah makanan terlezat yang pernah ia coba. “Kami selalu membeli makanan siap saji,” kata Hannah. “Ibuku pergi bekerja pagi-pagi sekali jadi terkadang kami hanya menyantap roti isi selai di pagi hari, malamnya, mereka akan memesan makanan siap saji dan begitu seterusnya. Kau beruntung sekali karena ibumu bisa membuatkan makanan apa saja yang kau inginkan.” “Kau akan bosan makan gandum dan jagung.. hanya itu yang kami punya.” Wanita itu menganggukkan kepalanya, tatapannya jatuh pada permukaan rumput di bawah kaki mereka. “Mungkin - atau mungkin aku akan terbiasa.” “Sebaiknya begitu.” Evan menyeringai lebar kemudian menghabiskan sisa makanannya dengan cepat. Hari itu bergulir dengan cepat, keeskokan paginya, seseorang telah memajang daftar nama peserta kompetisi yang lolos ke babak kedua. Evan mengayuh sepedanya lebih cepat, tiba beberapa menit lebih awal untuk melihat namanya tercantum disana. Tubuhnya terpaku karena di antara seratus lima belas makalah dari peserta yang ikut berpartisipasi, hanya sepuluh di antaranya yang terpilih untuk masuk ke babak kedua. Para siswa yang namanya muncul disana ikut merasakan kegembiraan yang sama. Beberapa di antara mereka bersorak kencang. Dalam hitungan detik, seisi lorong dipenuhi oleh puluhan mahasiswa yang berkerumun untuk mendapat giliran melihat daftar yang dipajang di papan pengumuman itu. Sebuah perasaan bangga mengalirkan sengatan energi ke sekujur tubuhnya. Senyuman lebar muncul di bibirnya, dan ia dapat mendengar sesuatu dalam dirinya meneriakkan sesuatu, memintanya untuk melompat dan merayakan kemenangan itu. Namun Evan tidak membiarkannya merayakan kemenangan itu hingga babak kedua dimulai. Kali ini beberapa peserta yang lolos dalam seleksi pertama diminta untuk tampil di atas panggung dan membawakan pidato mereka. Seluruh partisipan diberi waktu satu minggu penuh untuk mempersiapkan pidato itu dan Evan telah memanfaatkan waktunya semaksimal mungkin. Pada akhir pekan ia akan menghabiskan waktunya untuk pergi ke sebuah kabin rahasia yang terletak di dekat danau. Kabin itu hanyalah sebuah gubuk tua yang sudah lama tidak digunakan. Dulu pemiliknya menyimpan beberapa peralatan memancing disana, sisa bangkai perahu juga diletakkan di dalam sana bersama tumpukan kayu dan barang tidak terpakai lainnya. Sekitar satu dekade yang lalu, peristiwa longsor yang sempat terjadi di dekat sana telah mencemari air danau dan membuat makhluk hidup yang tinggal di dalamnya tidak bertahan dalam waktu lama. Kemudian, orang-orang tidak pernah lagi mengunjungi danau itu. Mereka akan berkendara tiga mil jauhnya untuk memancing dan setelah bertahun-tahun tidak dikunjungi, danau itu tampak seperti tempat yang sakit. Tidak ada seseorang yang datang untuk merawat kabin atau sekadar berlayar di atas permukaan air danaunya yang kian menghitam. Bekas longsornya masih dapat terlihat karena sebagian tempat di seberang danau pemukaannya telah ditutupi oleh tanah yang melandai, pohon besar yang berdiri kokoh selama puluhan tahun lamanya juga tumbang dan pagar kawatnya rusak akibat tertimpa timbunan tanah dan batang pohon. Meskipun begitu tempat itu telah menjadi pelariannya selama bertahun-tahun. Evan mendapati keheningan disana, suara kicauan burung, desauan anginnya yang lembut atau permukaan air danau yang menggenang tenang, telah bersahabat dengannya setelah bertahun-tahun. Di sela-sela waktu kosongnya, Evan akan datang kesana untuk sekadar duduk dan menikmati keheningan atau merenung untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya tentang alam semesta. Ia juga membuat kabin tak terpakai itu menjadi ruang kerjanya sendiri. Dinding-dinding kayunya adalah papan kerja, permukaan dek dari bangkai kapal yang diletakkan disana telah menjadi meja kerjanya. Evan memiliki sejumlah catatan yang ditinggalnya disana. Sebuah lubang tepat di bawah lantai kayu di dalam kabin itu adalah brangkas untuk menyimpan semua barang-barangnya. Beberapa catatan hasil pekerjaannya ia biarkan menggantung di atas dinding kayu. Evan melakukan semua itu tanpa alasan, dan sejauh itu tidak ada seseorang yang mengetahuinya. Ia berniat untuk menjaga tempat rahasia itu untuk dirinya. Hingga pagi itu persis pada hari penentuan babak kedua, seluruh mahasiswa telah dikumpulkan di aula. Mereka menggelar sebuah panggung besar dimana para partisipan yang lolos dalam seleksi pertama diminta untuk berdiri di belakang mimbarnya dan membawakan pidato mereka. Evan tidak pernah menyangka acaranya akan menjadi semegah itu, dan untuk kali pertama ia akan berdiri di depan ribuan pasang mata yang memandanginya. Orang-orang terpenting dalam hidupnya juga ikut hadir disana. Evan dapat menyaksikan kedua orangtuanya duduk di barisan kursi terdepan, mengenakan setelan kemeja paling bagus yang pernah dilihatnya dan menatapnya dengan bangga. Tidak hanya itu, Hannah duduk menempati barisan paling ujung bersama kedua orangtuanya yang juga hadir disana. Evan akan selalu mengingat momen ketika gadis itu menatapnya dengan mata berbinar-binar, tersenyum lebar dan bersorak untuknya. Hannah dan orangtuanya akan menjadi orang-orang pertama yang berdiri dan memberi tepuk tangan meriah ketika menyambutnya. Perasaan meletup-letup itu jarang terjadi, namun saat itu ia merasakannya. Momen itu terjadi begitu cepat hingga ia nyaris tidak menyadarinya: ketika orang-orang mulai mendengarnya berbicara dan menyampaikan pidatonya. Para juri yang duduk di samping panggung terkagum-kagum saat mendengarnya. Ribuan orang yang hadir disana ikut memberinya tepuk tangan. Seruan keras di dalam ruangan itu terus menggema di kepalanya bahkan hingga Evan meninggalkan panggung itu dengan bangga. Di akhir acara, ketika seluruh partisipan telah naik ke atas mimbar dan menyampaikan pidato mereka, juri mengumumkan lima orang peserta yang akan masuk ke babak penentuan. Saat itu adalah momen yang menegangkan ketika Evan berdiri di belakang panggung dan berharap namanya akan disebutkan. Namun momen itu hanya terjadi dalam hitungan detik. Semua persis seperti cahaya dari ledakan petasan yang indah di atas langit, letusannya begitu spektakuler, cahayanya begitu memukau, namun hanya terjadi dalam hitungan detik. Jantungnya mencelos. Evan merasakan sengatan aneh yang sama muncul kembali, kali ini berhasil membuatnya membeku, persis ketika para juri menyebutkan namanya sebagai salah satu partisipan yang lolos untuk masuk ke babak akhir. Sorakan keras bergema memenuhi seisi ruangan. Air matanya hampir jatuh, dan melalui pandangan yang kabur itu, Evan menyaksikan ribuan orang di dalam ruangan menyambutnya naik ke atas panggung dan berdiri bersama empat partisipan lainnya yang lolos ke babak akhir. Juri mengumumkan pelatihan penerbangan yang akan mereka terima selama dua pekan sebelum tes akhir penerbangan dimulai untuk menentukan dua pemenang akhir yang akan mendapatkan hadiah mereka. Dua orang terpenting dalam acara itu naik ke atas panggung untuk menyerahkan medali perak dan sertifikat pada kelima peserta yang akan masuk ke babak akhir, satu di antara orang itu adalah donatur besar yang mensponsori acara sekaligus pemilik perusahaan penerbangan, sementara satu yang lain adalah kepala Universitas yang menggenggam tangannya dengan erat dan membisikkan sebuah kalimat ke telinganya. Di tengah keriuhan ribuan suara yang menggema di dalam ruangan, Evan samar-samar mendengarnya bebisik, “kerja bagus.” Meskipun Evan menikmati momen itu, ia menyadari bahwa – seperti yang dibayangkannya – momen itu seperti sebuah ledakan cahaya petasan di langit, sekilas cahayanya akan tampak sangat memukau hingga mampu membekukan setiap pasang mata yang menyaksikannya, kemudian itu menghilang begitu saja. Sore itu ia mengayuh sepedanya dengan bersemangat, berkendara pergi di jalur panjang yang kosong, melewati jembatan panjang dan anak sungai kemudian menyusuri bukit panjang dan merasakan herpaan angin menampar wajahnya. Ia tersenyum, sejenak menikmati momen dimana irama lembut bergema di dalam dirinya dan membawa gambaran jelas akan mimpi-mimpinya untuk berada di atas langit, mengapung di antara bintang-bintang dan menemukan tempatnya. Orang-orang mungkin akan menertawai mimpi kecilnya, namun ia telah mengendarai sepedanya tanpa ragu dan membayangkan momen itu berada persis di depan matanya. Hanya satu langkah lagi.. Ia menghabiskan satu jam berikutnya untuk duduk di tepi danau, kemudian memeriksa sejumlah catatan yang diletakkannya di dinding-dinding kabin. Dengan bangga, ia memajang sertifikat itu di antara kumpulan catatan penuh tentang puluhan – mungkin ratusan pertanyaan yang telah terjawab dan belum terjawab. Evan bekerja sore itu untuk menandai beberapa pertanyaan terpenting yang belum terjawab seperti: eksistensi dunia lain di alam semesta ganda, bintang-bintang tergelap di langit, energi yang memengaruhi gravitasi dan gravitasi itu sendiri. Apa hal yang mendominasi alam semesta, apa unsur yang menggambungkan setiap objek di alam semesta dan bagaimana semua itu saling terhubung. Aksi dan reaksi. Evan mencatatnya di atas kertas yang menempel di dinding, permukaannya tampak sudah menguning, namun ia masih dapat membaca tulisannya dengan jelas. Dua puluh menit berikutnya, Evan mengendarai sepedanya mengikuti arah angin. Kali ini ia hanya berkendara tanpa tujuan. Di tengah perjalanan, sebuah mobil hitam yang tampak familier baru saja melintas dari arah berlawanan. Evan menghentikan sepedanya ketika seseorang menurunkan kaca jendela dan wajah Hannah muncul di balik sana, wanita itu tersenyum lebar dan melambai ke arahnya. Helai rambut gelapnya yang panjang bergerak tertiup angin dan wajahnya bersemu-semu. Evan nyaris tidak menggerakkan tubuhnya hingga mobil itu menghilang di ujung jalan dan kini yang terlihat hanya dua titik cahaya lampu sennya di kejauhan. Kemudian, ia memutuskan untuk kembali mengayuh sepedanya hingga sebuah cahaya yang menyala di atas langit menyita perhatiannya. Cahaya itu berkedip selama beberapa kali seolah-olah hendak memberinya sebuah isyarat. Selama sesaat, ia terpaku menatap cahaya yang tampak aneh di atas langit, kemudian seekor elang terbang di atasnya. Dengan bersemangat, Evan mengayuh sepedanya, mengikuti kemana elang itu pergi. Tampaknya elang itu menuju cahaya yang sama. Evan mengerahkan sisa tenaganya untuk mengayuh lebih cepat. Langit dibentangkan di atas kepalanya dan ia merasa bahwa elang itu terbang semakin rendah. Evan tidak menyerah untuk mengikutinya, ia membawa sepeda itu menyusuri blok blok sempit kemudian keluar ke jalan raya dimana puluhan kendaraan melintas di sekitarnya. Tanpa sadar ia telah bersepeda dalam jarak beberapa mil jauhnya. Sementara itu, cahaya yang muncul di atas langit terus berkedip. Elang itu seolah hendak menunjukkannya jalan menuju cahaya itu dan Evan masih bertanya-tanya bagaimana semua orang yang ada disana tidak memerhatikannya. Ketika ia sampai di tengah jalanan padat, Evan menghentikan sepedanya di ujung tikungan. Matanya terus mencari-cari kemana elang itu pergi. Kemudian cahaya di atas langit kembali muncul, kali ini cahaya itu berada persis di seberangnya, tak lama kemudian elang yang sama muncul entah dari mana. Evan terperangah saat menyaksikan kejadian itu dengan cepat: ketika cahaya yang terus berkedip itu berubah menjadi sebuah portal kecil sekaligus pintu yang terbuka bagi elang itu untuk dapat masuk ke dalamnya. Sang elang kembali menghilang ketika memasuki portal dan ketika Evan membawa sepedanya menyebrangi jalan untuk menyaksikan kejadian itu lebih jelas, seruan kencang menggema di kejauhan kemudian disusul oleh suara gemuruh mesin kendaraan yang kencang dan klakson yang dibunyikan. Namun, ia belum sempat berbalik untuk menyaksikan ketika sebuah sedan melintas cepat dan menabraknya hingga Evan terpental jatuh dari atas sepeda dan terseret belasan meter jauhnya di atas jalan beraspal. Dalam beberapa detik yang berlalu cepat, telinganya masih bisa mendengar suara pekikan yang menggantung di sekitarnya, matanya masih sanggup melihat belasan orang yang berjalan mendekat, bibirnya masih sanggup bergerak untuk menggumamkan sebuah kata, kemudian dalam sekejap semuanya menjadi gelap.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN