Langit di balik kaca jendelanya telah gelap, cahaya bintang di kejauhan berkedip seakan memanggilnya. Evan melirik alarm di atas nakas yang menunjukkan pukul delapan sebelum beranjak untuk mengenakan jaket dan mengepakkan senter ke dalam tas hitamnya. Begitu mengintip melalui celah pintu kamarnya, Evan mendengar suara musik dari balik pintu kamar Edith yang tertutup rapat, lampu di lorong menuju kamarnya telah dipadamkan, namun lampu di dapur dan ruang tengah masih menyala. Suara gemerisik dari mesin radio lama terdengar hingga lantai atas. Sekilas ia mengintip dari arah tangga dan melihat kedua orangtuanya duduk di ruang tengah, tampak sibuk membersihkan porselen bekas makan malam mereka.
Evan memutuskan bahwa itu adalah waktu yang tepat. Ia telah mengunci rapat pintu kamarnya kemudian keluar melewati jendela kamar dan pergi meninggalkan pekarangan rumahnya. Angin dingin malam langsung menyergap tubuhnya. Dengan langkah kakinya yang cepat, Evan bersepeda menyusuri jalanan berbatu di sekitar sana, sesekali menatap ke belakang untuk meyaksikan rumahnya yang menyendiri di tengah lahan kosong dengan luas berhektar-hektar.
Pagar kayu di lumbung telah dikunci, lampunya dibiarkan menyala. Sementara itu, jalanan kosong di depan menantinya. Jalanan itu gelap, nyaris tidak ada cahaya lampu yang meneranginya. Rumput liar mengisi lahan kosong seluas puluhan hektar di kedua sisi jalan, pohon-pohon tinggi berdiri di sekelilingnya, berbaris dan menyisakan jalur lebar untuk kendaraan yang melintas di sekitar sana.
Kaki bukit masih terletak ratusan meter jauhnya, sementara di kejauhan sana, area hutan terbuka. Evan mengayuh sepedanya lebih cepat ketika melewati jembatan panjang yang mengarah menuju lembah kecil dimana sebuah pohon oak besar berdiri kokoh selama puluhan tahun, dan terowongan sempit yang tersusun dari bebatuan besar mengaga terbuka. Tempatnya begitu hening dan kosong, di sekelilingnya barisan pohon berdiri. Semak-semak liar tumbuh memanjang menuju jembatan kayu kecil yang dibawahnya dialiri sungai. Evan dapat mendengar aliran arusnya yang deras, melihat bantarannya yang dipenuhi oleh rumput dan bebatuan licin dan merasakan udara dingin yang terasa menusuk di sekelilingnya.
Ia menatap ke kejauhan, persis ke arah terowongan gelap di bawah sana. Selama beberapa menit Evan bergerak mondar-mandir dan menunggu kemunculan Hannah di sana. Jarum jam di tangannya menunjukkan pukul delapan lewat tiga puluh menit ketika Evan menyaksikan seseorang dengan jaket biru cerahnya, mengendarai sepeda dan berhenti persis di dekat terowongan. Tak lama kemudian, ia melihat sebuah cahaya kecil dari lampu senter yang berkedip ke arahnya. Lantas ia meraih sepedanya yang dibiarkan tergeletak di atas jalanan kemudian mengendarainya menuju terowongan kecil tempat dimana Hannah menunggu sembari melambaikan tangan ke arahnya. Wanita itu tersenyum lebar, bola matanya berkilat, dan di bawah cahaya remang-remang bulan, wajahnya tampak pucat, bibirnya membiru karena kedinginan.
“Dingin sekali disini,” kata wanita itu begitu Evan sampai di sampingnya. “Sebaiknya kita bergegas!”
Evan mengikuti Hannah di belakang selagi wanita itu mengayuh sepedanya dan menuntunnya menaiki bukit tinggi menuju lahan luas yang menunggu mereka di atas sana. Mereka setidaknya telah bersepeda selama sepuluh menit, merasakan hawa dingin menyergap tubuhnya hingga Evan berpikir jari tangan dan kakinya benar-benar membeku. Mereka melewati kawasan rumah penduduk yang saling terpisah belasan meter jauhnya, kemudian menyebrangi sungai dan terus bekendara di jalanan luas yang kosong. Dahan pohon-pohon tinggi bergerak melambai ke arahnya. Ketika menengadah, Evan menyaksikan ratusan atau mungkin ribuan bintang tersebar di atas kepalanya. Masing-masing hanya terlihat seperti sebuah titik cahaya kecil di kejauhan, satu yang paling terang terlihat di utara. Tatapannya terpaku ke langit di selatan, persis dimana ia dapat mengenali sebuah rasi yang tersusun dari tiga bintang induk paling cerah yang mengelilingi empat bintang redup lainnya.
Namun pemandangan memukau itu tidak berakhir disana, ketika Hannah menuntunnya mengayuh sepeda lebih jauh ke atas bukit, Evan merasa seakan langit membentang persis di bawah kepalanya karena ia dapat melihat bintang-bintang itu bersinar lebih terang. Beberapa di antaranya berkedip dan rasanya ia baru saja menyaksikan sebuah objek langit yang jatuh di atas sana. Objek yang berkilau itu bergerak lurus dan meninggalkan asap putih kecil di belakang yang terlihat seperti ekor panjang. Objek itu adalah komet dan asap putih yang menbentuk ekor adalah lapisan es-nya yang terbakar ketika melewati atmosfer. Lambat laun cahayanya meredup hingga tidak ada lagi yang tersisa.
Di depannya, Hannah menatapnya dari atas bahu dan tersenyum lebar. Rambut coklat gelapnya yang tergerai melambai ketika tertiup angin, menyisakan helai-helai tipis yang membingkai wajahnya dengan anggun.
“Seberapa jauh?” tanya Evan ketika mereka sampai di atas bukit.
“Bermil-mil,” seru Hannah dari sepedanya, kemudian Evan mendengarnya tertawa. “Hanya bercanda, kita sudah dekat.”
“Benarkah?” Evan membisikkan kalimat itu di bibirnya, selagi ia berusaha keras mengayuh sepedanya menyusuri jalanan kosong yang panjang. Mereka harus berkendara sejauh dua ratus meter lagi sebelum berhasil sampai di belakang sebuah bangunan bertingkat yang kaca-kaca jendela dan pintunya tertutup rapat.
Bangunan itu berdiri di atas bukit, hamparan rumput luas mengelilinginya. Dua pohon tinggi berdiri di kedua sisinya seolah menjaga bagunan itu tetap aman. Mereka harus melewati gapura dan pos penjaga sebelum sampai di kawasan itu. Pagar setinggi tiga meter mengelilinginya, dua orang petugas berjaga disana dan memastikan pagar itu tertutup rapat.
Hannah menempelkan satu jarinya di depan mulut seolah hendak memberi isyarat agar mereka melanjutkan sisa perjalanan dengan hati-hati. Mereka memutuskan untuk turun dari sepeda dan menghabiskan sisa perjalanan untuk sampai disana dengan berjalan kaki, untuk menghindari dua petugas yang berjaga di luar, keduanya mengendap-endap masuk melewati semak-semak tinggi hingga sampai di dekat anak sungai.
“Disini tempatnya?”
“Kau akan melihatnya.”
Mereka berjalan menyusuri bantaran sungai itu hingga sampai di depan pagar kawat setinggi dua meter. Di sekelilingnya, lahan tampak kosong, pohon-pohon berdiri tegak nyaris menutupi kawasan itu. Sementara itu suara bising air sungai yang mengalir deras berhasil meredam suara lain di sekitarnya. Hannah segera memintanya untuk meninggalkan sepeda mereka disana dan masuk melalui celah kecil di pagar kawat itu.
“Apakah aman?” tanya Evan sebelum menggeletakkan sepedanya di antara semak-semak. Segera setelah Hannah mengangguk, ia mengikuti wanita itu berderap di dekat pagar kawat.
“Ada celah disana.”
“Bagaimana kau bisa tahu?”
“Hanya tahu..”
Evan membantu Hannah melewati lubang itu dengan menahan kawatnya. Wanita itu melakukan hal yang sama hingga mereka berhasil memasuki kawasan itu dengan bebas. Sembari mempercepat langkahnya, mereka berjalan mendekati sebuah bangunan tua di dekat sana. Dindingnya tersusun atas batu-batuan besar, kaca-kacanya yang panjang dan transparan memperlihatkan bagian dalam ruangan. Lampu-lampu di matikan, pintu depan dibiarkan terkunci, namun Hannah memilih untuk menaiki tangga yang melingkar menuju balkon dan menerobos masuk dari jendela di lantai atas.
“Ini rumahmu?”
“Tidak, ini properti keluarga. Ayahku membeli properti ini musim panas tahun lalu dan dia menggunakannya sebagai tempat observasi. Dia membangun lab penelitiannya sendiri, kau boleh melihatnya tapi kita tidak akan menyentuh apa-apa di lab. Tempatnya sudah disterilkan minggu lalu.”
“Bagaimana dia bisa memiliki semua ini? Apa pekerjaannya?”
“Dia seorang peneliti – seperti kau.”
“Tidak, aku bukan peneliti – belum. Apa yang dia teliti?”
“Banyak hal, dia mungkin bukan ahli astronomi, tapi dia seorang dokter dan ahli biologi. Dia yang meneliti sampel dari luar angkasa, itu sebabnya tempat ini dijaga ketat. Dia tidak membebaskan seseorang untuk masuk, jadi aku harus memaksanya saat itu.”
“Kau membawaku masuk,” ujar Evan ketika Hannah berkutat dengan jendela di lantai atas. Wanita itu sejenak berbalik dan menatapnya.
“Ya, karena aku percaya padamu,” katanya. Evan bergeming setidaknya hingga Hannah berdeham dan memberi isyarat untuk membantu membuka birai jendela.
“Jendela ini tidak pernah terkunci, bisakah kau membantuku membukanya?”
“Tentu.”
Mereka bersama-sama menarik jendela kayunya hingga terbuka. Setelah menerobos masuk ke dalam, Evan kembali menutup rangka jendela itu kemudian mengekor Hannah ketika menyusuri lorong-lorongnya yang gelap. Evan menyaksikan sejumlah lukisan dipajang disana. Seluruh pintunya diberi papan nama yang menjelaskan tentang ruangan di dalamnya hingga mereka sampai di depan pintu ruangan dengan sebuah papan yang bertuliskan “ruang observasi”.
Seseorang membiarkan pintu ruangannya tidak terkunci sehingga siapapun dapat masuk ke dalam tanpa kesulitan. Begitu daun pintu di geser terbuka, Evan mengintip ke dalam dan menyaksikan meja-meja yang dipenuhi oleh mesin-mesin canggih dengan permukaannya yang mengilat. Rak di sudut ruangan terisi oleh tumpukan dokumen hasil observasi. Map dan peta langit dibentangkan di atas dinding. Beberapa hasil potretan gambar dari kumpulan galaksi berupa titik-titik tersebar yang berhasil diamati melalui teleskop dipajang di atas dinding. Evan menyusuri setiap gambar itu satu persatu, merasa begitu terpukau ketika mengamatinya.
Hannah berdiri persis di sampingnya, kernyitan muncul di dahinya ketika wanita itu mulai mengamati foto itu dan berkata, “aku tidak melihat apapun selain cahaya kecil yang berkumpul di kejauhan.”
“Itu kumpulan galaksi,” sahut Evan untuk menanggapinya. “Super gugus galaksi.”
“Maksudmu selain galaksi kita?”
Evan mengarahkan satu jarinya untuk menunjuk satu titik paling terang di antara kumpulan titik lainnya kemudian titik lain yang berdekatan. “Satu titik yang kau lihat disini adalah galaksi elips raksasa, jika dilihat dari jauh, tampaknya bereka berdekatan, tapi sebenarnya, ruang hitam disini adalah kekosongan berjarak ribuan atau bahkan miliaran tahun jauhnya. Dan ruang hitam besar di antara galaksi elips ini..” Evan menyeret jarinya bergerak turun menghubungkan dua titik dalam gambar itu dan melanjutkan. “.. dengan galaksi ini disebut big void. Kau tidak akan dapat membayangkan seberapa jauh jaraknya, dan titik-titik ini – galaksi lain, jumlahnya ribuan, atau bahkan miliaran.”
Evan memutar wajah untuk mendapati Hannah berdiri tertegun di tempatnya, tatapannya terpaku pada titik pada potret gambar itu sebelum ia memutar wajahnya dan kembali menatap Evan untuk bertanya, “dimana kita?”
Evan menggindikkan kedua bahunya dan menyerah pada satu kata, “disini.”
Wanita itu tersenyum lebar. Langkah kakinya menuntun Evan ke sudut lain di dalam ruangan. Mereka mengitari ruangan itu untuk mengamati sejumlah mesin yang ada disana, mempelajari jara kerjanya kemudian berdiri untuk mengamati sebuah lukisan yang memetakan sejumlah rasi bintang di atas langit.
“Bagaimana kita bisa melihat rasinya dengan jelas?”
“Selalu ada bintang yang lebih terang dari yang lainnya. Kita hanya perlu menghubungkan titik cahaya paling terang di atas langit untuk mengetahuinya.”
“Bisakah kau menunjukkannya dengan teleskop?”
“Ya.”
Hannah berjalan ke salah satu sudut ruangan. Ia membuka sebuah kain polos yang membungkus teleskop besar yang menunjuk keluar jendela. Setelah menyibak tirai yang menutupi jendela, mereka berdiri di belakang teleskop besar itu dan berkutat dengan sejumlah tombol pada mesinnya.
“Ini teleskop yang besar,” ujar Evan.
“Aku tidak tahu persis bagaimana cara menggunakannya.”
“Biar kulihat!”
Setelah membuka penutup lensa dan mengatur pembesarannya, Evan menunduk mendekatkan matanya pada lensa itu. Pandangannya menerobos keluar jendela, jatuh persis di antara ribuan bintang yang tersebar di langit gelap. Setelah mengatur tombol pada mesin itu, ia dapat melihatnya lebih jelas. Kini langit tampak begitu dekat, tata surya membentang di depannya. Sejauh itu, ia dapat menyaksikan ribuan benda langit bertebaran di atas sana, sejumlah asteroid yang terhitung banyaknya membentuk jalur melingkar di antara Mars dan Jupiter, membentang dalam jarak ribuan mil jauhnya dan mengelilingi orbitnya. Uranus hanya terlihat seperti sebuah titik kecil disana, mengambang di tempat yang jauh, begitu gelap dan dingin karena tidak tersentuh cahaya.
Sejenak Evan merasa terperangah oleh pemandangan itu. Matanya terus mencari-cari selagi ia mengarahkan teleskop itu untuk melihat lebih jauh, seolah-olah ia dapat menyelami kedalaman lautan bintang dan berharap dapat menemukan sesuatu disana. Sesuatu yang belum tersentuh, atau sesuatu yang benar-benar berbeda.
“Beritahu aku apa yang kau lihat!” ucap Hannah yang berdiri di sampingnya.
“Planet jovian..”
“Apa itu?”
“Itu sebutan lain untuk planet luar atau planet gas raksasa yang berada lebih jauh dari matahari, dan bebatuan ruang angkasa yang berputar mengelilingi orbitnya di antara Jupiter dan Mars..”
“Sabuk asteroid?”
“Tepat sekali. Kau pernah mendengar seseorang menyebutkan ungkapan ‘bintang jatuh’?”
“Ya. Aku melihatnya sesekali.”
“Sebenarnya objek itu bukan bintang, melainkan komet, benda ini tebentuk dari partikel debu dan bebatuan yang membeku, ketika dia mendekati matahari partikel itu akan menguap dan membentuk ekornya, orang-orang lebih menyukai gagasan untuk menyebutnya bintang jatuh, tapi sekarang kau tahu itu tidak sepenuhnya benar. Benda ini – komet, jumlahnya miliaran, mereka terletak di tepi tata surya, para ilmuan menyebutnya awan oort. Itu adalah tempat tergelap dan terdingin yang bisa kau bayangkan. Berani taruhan, kau tidak akan mau berada disana.” Evan tersenyum sebelum menegakkan tubuhnya. “Kau ingin melihatnya?”
“Ya.”
Evan bergerak ke samping dan memberi ruang pada Hannah untuk melihat melalui teleskopnya. Ia mengarahkan teleskop itu selagi menjelaskan, “yang ada di samping kirimu disebut rasi bintang Cygnus, letaknya di utara. Ada enam bintang yang menyusunnya, rasi itu akan membentuk pola yang terlihat seperti angsa.”
Evan meletakkan jari-jarinya pada teleskop, memutarnya perlahan kemudian berkata, “sekarang kau melihat rasi orion. Ini adalah rasi bintang paling terang dan ketika kau menghubungi titik-titiknya itu akan terlihat seperti seorang pemburu.”
“Ya aku bisa melihatnya.”
Mereka menghabiskan sisa waktunya untuk berdiri di dekat jendela dan memandang keluar. Keduanya menikmati keheningan yang menggantung disana, mereka mengambil kesempatan itu untuk sekadar memandangi langit atau merasakan embusan angin yang menerpa wajahnya sembari bersandar di birai jendela. Momen itu seakan-akan hadir untuk pertamakalinya. Alih-alih merasakan tegang karena keheningannya, Evan jusru merasakan kenyamanan yang akrab seolah-olah ia ditakdirkan untuk berdiri disana, bersama seorang wanita yang tiba-tiba muncul dengan pertanyaannya tentang alam semesta dan merasakan dorongan kesenangan yang alami ketika menjelaskannya.
“Bagaimana kau memutuskan untuk melibatkan diri dengan semua ini?” tanya Hannah di sampingnya.
Evan menanggapinya dengan menggindikkan kedua bahu dan berkata, “jawaban yang sama seperti pertanyaanku tentang bagaimana kau menggemari sejarah dan peradaban klasik.”
“Sejarah hanyalah sesuatu yang diulang untuk diingat, kau tidak memandang ke atas langit untuk melihat ke masa lalu.”
“Kau keliru,” kilah Evan. “Kita selalu melihat ke belakang, untuk mengetahui apa yang dapat kita lakukan di masa depan. Begitulah cara semuanya bekerja dan aku melibatkan diri dengan semua ini karena aku menginginkan jawabannya.”
“Tentang apa?”
“Mengapa semua ini terjadi?”
Hannah tertegun saat memikirkannya. Wanita itu melipat tangannya di atas birai jendela, kemudian bergerak menyamping untuk menatapnya. Kedua matanya yang berkilau dipenuhi oleh sejumlah pertanyaan, dan dari dekat wajahnya akan tampak bersemu-semu.
“Apa kau percaya pada surga?”
Butuh beberapa detik sebelum Evan menggelengkan kepalanya dan memberi jawaban. Pertanyaan yang sama terngiang di kepalanya selama belasan tahun dan sejauh itu ia berusaha menemukan jawaban atas pertanyaan itu dan setiap kali tatapannya menyapu langit, ia selalu berharap akan menemukan jawabannya disana.
“Aku tidak tahu,” sahut Evan akhirnya. “Aku bahkan tidak tahu apa tempat itu benar-benar ada. Bagaimana denganmu?”
Hannah sudah memiliki semua jawaban itu di kepalanya. Semua itu terbukti karena wanita itu tidak mengalami kesulitan untuk menjawab pertanyaannya.
“Ya, aku percaya. Aku memercayai bahwa ada sebuah tempat di sana – tempat yang lebih baik dari planet ini dan benar-benar abadi.”
“Ibuku akan mengatakan hal yang sama,” ujar Evan, kali ini pandangannya kembali jatuh ke ufuk langit di ujung sana. “Mereka begitu religius, mereka hidup dengan harapan bahwa suatu saat seseorang akan membayar kebaikan mereka dengan harga yang mahal dan mereka juga mengatakan kematian bukankah hal yang begitu buruk karena.. selalu ada tempat untuk kembali – sebuah tempat yang lebih baik dari planet ini.”
“Apa yang kau katakan?”
“Itu hal yang bagus. Itu memberi mereka keyakinan. Keyakinan adalah sebuah hal yang besar..”
“Tapi kau tidak memercayainya, kan?”
Evan menggeleng, berterus terang saat mengatakan, “memang tidak, tapi aku sama sekali tidak keberatan dengan itu. Seperti kataku, itu hal yang bagus.”
Sisa malam itu berlalu cepat dengan obrolan mereka. Kebanyakan dari pertanyaan Hannah bersifat personal, dan Evan menjawabnya sebisa mungkin. Ia menyadari kehausan wanita itu untuk mengenalnya lebih jauh, dan Evan memercayai Hannah untuk menjawab semua yang ingin diketahui wanita itu tentang kehidupannya. Ia sama sekali tidak merasa malu untuk menjelaskan pekerjaannya di lumbung atau rutinitas mingguannya untuk mengantar surat kabar ke rumah penduduk. Reaksi Hannah membuatnya mampu mengatakan semua itu tanpa ragu-ragu dan dalam hitungan menit keduanya telah hanyut dalam percakapan panjang yang menyenangkan.
Hannah memiliki banyak pengetahuan tentang observasi dan prosedur penelitian ilmiah. Evan segera mengetahui hal-hal menarik lain tentangnya seperti kebiasaan wanita itu mengoleksi beberapa jenis tanaman, atau kegemarannya pada musik. Jauh di luar dugaannya, Hannah memiliki selera humor yang bagus, wanita itu memiliki sejumlah ide brilian di kepalanya dan ia tidak akan kesulitan untuk mengungkapkan semua itu. Ketika merasa cukup dekat dengan seseorang, Hannah tidak akan berpikir duakali untuk menceritakan sejumlah pengalaman tentang perjalanannya di beberapa negara. Wanita itu tidak akan kesulitan untuk membuat seseorang merasa nyaman dengan semua obrolannya dan ketika mendengarnya berbicara, Evan merasakan suatu perasaan asing yang sama seperti ketika ia menghadapi kedua orangtuanya. Hannah adalah wanita yang usianya satu tahun terpaut lebih muda darinya, memutuskan untuk memulai pendidikannya lebih awal, dan memiliki puluhan atau mungkin ratusan pengalaman menarik untuk di bagi, dan siapa sangka Evan akan menemukan wanita semenakjubkan itu dan menghabiskan sisa malam untuk berbicara dengannya!
Pertanyaan itu menggantung di kepalanya sebelum malam benar-benar berakhir dan cahaya fajar muncul di balik jendela kamarnya.