Bab 6: Kesepakatan 1

1753 Kata
# Ruby melangkah memasuki rumah mewah keluarga Lee, tempat dia tumbuh dewasa selama ini sekaligus tempat yang paling dia benci. Semua masalah yang dia buat dan semua kekacauan yang ada dalam hidupnya, berasal dari tempat ini. Sayangnya, seberapa keras pun Ruby berusaha, dia selalu saja kembali ke tempat ini. Keluarga Lee yang ini, adalah penyalur petugas keamanan terlatih untuk para konglomerat yang mau membayar jasa mereka dengan mahal. Selain itu mereka juga bergerak dalam perjudian skala besar, simpan pinjam ilegal hingga beberapa ada yang menyebut kalau mereka juga terlibat dalam penyelundupan kayu dan peninggalan sejarah antar negara. Yang terakhir sampai saat ini menjadi semacam rumor yang berputar di antara para pengusaha lainnya karena tidak adanya bukti yang bisa benar-benar menjerat keluarga Lee. Sesungguhnya Ruby tidak benar-benar dianggap di dalam keluarga yang dikenal sebagai pengendali banyak bisnis hitam di beberapa negara itu. Marganya bukan Lee, andai saja dia tahu siapa ayah kandungnya. Ibunya, Nora Lee mengandung karena seorang pria yang tidak disetujui oleh sang Kakek dan kemudian membawanya masuk ke dalam keluarga itu. “Kau membuat masalah besar di luar sana,” ucap Nora Lee saat melihat putrinya kembali dalam keadaan yang jelas tidak baik-baik saja. “Ya dan orang-orang Mama hanya melihatku tanpa berniat membantuku. Apa menyenangkan bagi Mama melihat anak Mama sendiri di lecehkan oleh orang-orang tidak berguna seperti itu?” tanya Ruby sinis. Nora menatap putrinya datar. “Kau memilih kehidupan seperti itu sebagai bentuk pemberontakanmu, jadi kau harus siap dengan segala akibatnya,” ucap Nora dingin. “Sialan,” balas Ruby kasar. Memang benar, ini adalah pemberontakannya pada sikap otoriter keluarganya dan untuk menunjukkan pada ibunya kalau dia tidak ingin dikendalikan oleh ibunya. Namun kenyataannya dia malah hanya berakhir kembali terjerat dalam kendali ibunya yang dia tahu dengan jelas dikendalikan oleh Kakeknya. “Kau beruntung terlahir di keluarga ini. Kata-kata kasar dan makian adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keluarga kita. Jika kau berada di keluarga Tan atau bahkan keluarga normal lainnya, dirimu mungkin akan dipukul sampai mati karena sikap dan ucapanmu itu,” ucap Nora. Dia melirik putrinya saat ini. Ruby tertawa. “Jadi Mama akhirnya mengakui kalau keluarga kita ini sebenarnya tidak normal bukan? Ups, bukan keluarga kita, tapi keluarga Mama. Pantas saja Paman Jason tidak mau menjadi penerus keluarga ini dan memilih untuk hidup normal sambil menunggu kekasihnya yang narapidana itu keluar dari penjara,” sindir Ruby. Nora hanya mendesah pelan, tidak terpengaruh dengan cara putrinya menyindir adik tirinya, Jason. Bagaimanapun, di dalam keluarga ini semuanya adalah saingan untuk mendapatkan uang dan kekuasaan yang lebih besar dalam bisnis. Sedangkan Nora dan Jason sama sekali tidak berada di posisi sebagai dua orang yang akan saling mendukung meski mereka masih berbagi sebagian darah yang sama dari satu ayah. “Kau bebas memilih jalan yang sama dengan Pamanmu andai saja kau memiliki modal hidup yang cukup. Sayangnya kau tidak bisa Ruby. Kau hanya bisa melarikan diri sementara dari Mama dan kemudian kembali lagi pada Mama untuk mendapatkan belas kasihan. Anakku yang menyedihkan,” balas Nora. Ruby mengepalkan tangannya mendengar ucapan ibunya. “Apa sebenarnya yang Mama inginkan? Tidak mungkin bukan, Mama memaksaku pulang dan menyelamatkanku dari para b******n itu hanya untuk menyuruhku duduk diam di rumah dan belajar untuk bisa memperoleh S2 di bidang hukum agar bisa memberi kontribusi pada kejahatan keluarga ini? Aku lebih berbakat menjadi penjahat dibanding menjadi pengacara para penjahat di keluarga ini,” ucap Ruby. “Kau diminta pulang untuk menikah dan membantu Mamamu ini membangun nama serta reputasi yang baik di negara ini. Dengan cara itu, kita sama-sama bisa terlepas dari keluarga yang sangat kau benci ini,” ucap Nora sambil menatap Ruby tajam. Ruby tidak habis pikir dengan apa yang di pikirkan oleh ibunya itu. Bagaimana bisa ibunya seakan menggadaikan hidupnya untuk membantu bisnis pribadi sang Ibu? Memangnya dia dianggap apa? Jaminan hidup? “Mama bercanda kan?” tanya Ruby. Tapi raut wajah Nora sama sekali tidak berubah. Dia tetap terlihat tenang sekaligus serius meski melihat mata Ruby yang saat ini tampak berkaca-kaca. “Sayangnya Mamamu ini tidak suka bercanda Nak. Kalau kau ingin kebebasan, kau hanya akan bisa mendapatkannya jika kau bisa mengganti nama belakangmu dengan nama berbeda selain nama Lee. Bukankah itu yang kau inginkan? Dan itu tidak bisa kau dapatkan tanpa menikah,” ucap Nora. Ruby menatap ibunya tajam. “Kenapa bukan Mama saja yang menikah? Kenapa harus aku?!” tanya Ruby. Nora tertawa mendengar pertanyaan putrinya. “Kau pikir Mama tidak pernah mencobanya? Kau adalah hasilnya dan pada akhirnya orang itu sama tidak bergunanya dengan yang lainnya. Sekarang, denganmu semua akan berbeda karena Mama akan berada di belakangmu untuk mengalihkan perhatian Kakekmu,” ucap Nora. Ruby terdiam untuk beberapa saat sebelum akhirnya dia menarik napas panjang. “Siapa orang itu? Jangan bilang aku harus menggodanya terlebih dahulu untuk bisa menikah dengannya. Mama tidak pernah memberi tugas yang mudah untukku dan kurasa kali ini pun tidak,” balas Ruby. Nora tersenyum. Tebakan Ruby memang tidak salah. Dia menargetkan seorang pria yang memiliki latar belakang yang tepat untuk Ruby tapi sayangnya pria itu juga tidak mudah di dapatkan. “Mantan tunangan Karenina Jessica Tan, kau tahu kan? Namanya Arther Subagja. Dia adalah orang yang masih mendapat dukungan penuh dari William Tan dan juga dia berdiri sendiri tanpa keluarganya kini. Benar-benar sosok yang cocok dan tepat untuk bisa dimanfaatkan. Kalau kau bisa menikah dengannya, Mama akan bisa melebur beberapa bisnis yang Mama jalankan sendiri dan memanfaatkan perusahaan media yang dia jalankan untuk mengalihkan perhatian,” ucap Nora. Ruby tertawa. “Yang benar saja, semua bisnisnya berkaitan dengan clothing apparel dan fashion. Apa yang bisa dimanfaatkan dari pria yang menjalankan bisnis jauh berbeda dengan Mama?” tanya Ruby. Nora tersenyum. “Kau terlalu naif. Dia adalah pemilik bukan hanya perusahaan dan agency fashion di Paris, dia juga pemilik majalah mode terkenal. Tapi bukan itu yang membuatnya menarik perhatian banyak pebisnis Ruby. Dia sekarang adalah pemilik sebagian besar pabrik tekstil dengan skala internasional sekaligus pemilik perusahaan transportasi yang menangani pengiriman tekstilnya sendiri antar negara,” ucap Nora memberi penjelasan pada putrinya. “Mama ingin memanfaatkan perusahaan transportasi milik Arther?” tanya Ruby. Nora mengangguk. “Perusahaannya transportasi miliknya bernama TMC dan perusahaan itu menangani banyak macam kegiatan bisnis perusahaan Arther yang lain terkait maritim dan pelayaran, termasuk pengiriman, manajemen pelabuhan dan pembuatan peti kemas. Dari luar, itu hanya perusahaan biasa. Tapi semua orang tahu kalau selain perusahaan Arther sendiri, perusahaan lain yang ingin menyewa jasanya harus membayar sangat mahal dan itu setara dengan jaminan keamanan yang diberikan TMC,” ucap Nora. Dia tahu Ruby akan tertarik dengan ini. “Menakjubkan. Sementara dia membuat citranya hanya terlihat seperti seorang pria yang bergerak di bidang fashion dan bolak balik antara toko-toko penyuplai brand-brand mewah di Jakarta dan Perancis,” ucap Ruby. “Otakmu ternyata masih berguna setelah semua narkoba itu,” ucap Nora. “Aku hanya kurir bukan pengguna maupun pengedar. Aku tidak sebodoh itu,” ujar Ruby. Dia kemudian menarik napas panjang. “Aku menerima tawaran Mama,” lanjut Ruby akhirnya. # Jenny menarik napas panjang saat akhirnya memantapkan hatinya memasuki gedung kantor yang dua tahun terakhir ini menjadi tempat dirinya beraktivitas semenjak Arther memutuskan untuk lebih fokus pada perusahaan fashion yang menyuplai banyak pakaian jadi sekaligus menangani pabrik tekstil mereka setelah berhasil mencari seorang CEO baru untuk menangani perusahaan media dan majalah yang tadinya dipegang sendiri oleh Arther. Dia ingat saat pertama kali menjadi sekretaris Arther dan kemudian bebannya bertambah sebagai sekretaris Arther, semua terasa sangat berat. Terlebih dengan sikap Arther yang meski terlihat masa bodoh dari luar tapi sesungguhnya sangat tegas dan teliti ketika dihadapkan dengan pekerjaan yang benar-benar membutuhkan keterlibatannya. Dia berhasil menyesuaikan diri dengan pola kerja Arther, tapi dia juga di tuntut untuk terus meningkatkan kemampuannya seiring dengan tuntutan kerjanya yang semakin banyak. “Bu Jenny, syukurlah.” Sebuah panggilan yang menyebut namanya membuat Jenny menoleh dan melihat Rian yang datang dengan tergopoh-gopoh sambil menghampirinya. “Selamat pagi Bu,” ucap Rian saat akhirnya dirinya berdiri bersebelahan dengan Jenny. “Selamat pagi Rian,” ucap Jenny sambil tersenyum. “Aku senang Bu Jenny sudah kembali dari cuti liburan. Kantor akan terasa seperti neraka kalau Bu Jenny cuti lebih lama. Tidak ada yang bisa menangani Pak Arther sebaik Ibu,” ucap Rian. Jenny menarik napas panjang. Dia bukannya benar-benar bisa menangani Arther, tapi sejujurnya dulu dia dipaksa oleh keadaan untuk bisa memahami cara dan ritme kerja Arther. “Kalian hanya belum terbiasa,” ucap Jenny memberi semangat. Akan gawat kalau sampai Rian juga mengajukan surat pengunduran diri karena tidak tahan dengan tekanan kerja yang diberikan oleh Arther. Bahkan Jenny juga mengakui kalau Arther bersikap sedikit lebih keras pada semua bawahannya di kantor ini dibandingkan di tempat lain. “Ah, aku sudah mentransfer semua jadwal Pak Arther pada Ibu. Apa sudah di cek?” tanya Rian. Jenny mengangguk. “Sudah. Terima kasih ya,” balas Jenny. Beberapa orang berdiri di samping Jenny untuk menunggu lift dan meski mereka menyapa Jenny dengan sopan namun Jenny bisa merasakan tatapan tidak menusuk dari beberapa orang yang terarah kepadanya. Bagaimanapun, hubungannya dengan Arther seakan sudah menjadi rahasia umum di kantor meskipun dia tetap berusaha untuk menunjukkan sikap profesionalnya. Pintu lift terbuka dan Jenny baru saja akan masuk saat seseorang menarik tangannya mundur. “Apa yang kau lakukan? Asisten seharusnya selalu bersama dengan atasannya,” ucap Arther yang saat ini masih memegang pergelangan tangan Jenny. Jenny menatap Arther sejenak, kemudian dia menyadari kalau saat ini semua yang sudah berada di dalam lift menatap ke arahnya sementara Rian masih menahan pintu lift agar tetap terbuka. “Ibu tidak naik?” tanya Rian dengan wajah tanpa dosa. Mungkin dialah satu-satunya yang tidak benar-benar peka dengan hubungan antara Jenny dan atasan utama mereka, Arther. “Ah, silakan naik lebih dulu. Karena Pak Arther sudah datang, saya akan naik lift khusus,” ucap Jenny. Lift tertutup dan Jenny akhirnya mengikuti Arther untuk masuk ke lift khusus yang hanya bisa dinaiki oleh level manajer ke atas. “Bisakah lain kali Bapak membiarkanku naik lift karyawan? Aku butuh mampir ke beberapa divisi lain terlebih dahulu,” ucap Jenny. “Tidak. Mana bisa aku melihatmu berdesak-desakan dengan karyawan lain seperti itu,” ucap Arther. “Bapak tidak pernah keberatan sebelumnya,” balas Jenny. “Saat itu kau masih belum menjadi milikku,” ucap Arther. “Intinya, Bapak hanya cemburu. Itu terlalu kekanak-kanakan,” ucap Jenny. Arther tersenyum. “Bodo amat,” ucap Arther. Dia mengulurkan tangannya dan menyentuh pipi Jenny. Tepat sebelum pintu lift terbuka, Arther menarik tangannya dan mengedipkan sebelah matanya dengan cepat ke arah Jenny. Jenny hanya bisa menarik napas panjang sambil tersenyum tipis.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN