Bab 5: Kita Ini Apa? 2

1742 Kata
# Jenny terbangun dengan tubuh yang serasa remuk setelah semua aktivitas yang mereka lakukan sepanjang malam. Pintu kamar mandi terbuka dan Arther keluar dengan hanya mengenakan handuk. “Sudah bangun? Good morning sunshine,” ucap Arther sambil tersenyum cerah. Terkadang dia merasa heran kenapa Arther yang paling aktif setiap kali mereka berhubungan tapi pria itu juga yang paling segar dan bersemangat di keesokan harinya. Arther mendekat dan mengecup pipi Jenny. “Aku sudah mandi dan wangi. Mau olahraga lagi?” tanya Arther. Dia mengedipkan matanya genit ke arah Jenny sebelum akhirnya sebuah bantal melayang mengenai wajah tampannya. “Dasar sinting,” keluh Jenny. Dia bangkit berdiri dan sedikit meringis saat merasakan nyeri di pusat tubuhnya. Dia meraih kaos miliknya yang tergeletak di lantai dan memakainya lagi. Arther mengawasi aktivitas Jenny dengan matanya. “Padahal kau akan membukanya lagi di dalam kamar mandi,” keluh Arther. Jenny hanya melirik Arther selama beberapa saat sebelum akhirnya dia beranjak menuju kamar mandi dengan mengabaikan pria itu. Arther hanya tersenyum melihat tingkah Jenny. Dia selalu merasa sangat bahagia ketika ada bersama Jenny. Dan mungkin Jenny tidak pernah tahu betapa kacau hidupnya setiap kali wanita itu menjauh darinya. Ada sebuah ketakutan yang tidak pernah bisa di ungkapkan oleh Arther kepada Jenny. Dia sangat takut kehilangan dan itu menjadi sebuah trauma yang sangat mengerikan untuknya. Seiring dengan semakin sadarnya Arther dengan perasaannya pada Jenny, demikian juga dengan ketakutannya. Arther kemudian bangkit berdiri dan mencoba membuka pintu kamar mandi, tapi ternyata Jenny menguncinya. “Jen, buka pintunya,” ucap Arther. Pintu itu akhirnya terbuka sedikit dan kepala Jenny menyembul dari sana. “Apa?” tanyanya. “Masih ada daki di tubuhku,” ucap Arther. Jenny memutar matanya kesal dan langsung akan menutup pintu kamar mandi. Tapi Arther menahan pintu dengan tangannya. “Ayo mandi bersama,” ucap Arther lagi. “Tidak. Kau sudah mandi,” tolak Jenny tegas. Pintu kamar mandi kembali tertutup dan dikunci dari dalam. Kali ini Jenny tidak lagi membukakannya pintu meski Arther memohon. # Ruby bergerak dengan amat sangat perlahan. Takut kalau-kalau dia akan membuat para pria yang saat ini masih terkapar karena mabuk itu sampai terbangun. Ada bekas kebiruan di leher dan beberapa bagian tubuhnya. Tanda kalau dirinya mengalami kekerasan dari orang-orang yang saat ini bersamanya. Ruby menarik napas lega saat akhirnya dia berhasil sampai di depan pintu. Namun baru saja tangannya akan memutar kunci pintu tersebut, salah seorang pria sudah menarik rambutnya dan kemudian menyeretnya menjauh. “Mau ke mana kau? Apa kau pikir bisa pergi begitu saja setelah mengacaukan bisnisku? Bayar dulu hutangmu baru kau bisa pergi!” Pria itu membentak Ruby. Ruby berteriak kesakitan saat pria itu menarik rambutnya. “Lepaskan aku Donny! Lepaskan!” Teriak Ruby dengan menyebut nama pria itu. Dia memukul-mukul lengan Donny dengan segenap tenaga namun usahanya sia-sia. Donny melemparkan Ruby kembali ke atas tempat tidur. Lalu mengambil ponsel dan melemparkannya ke arah Ruby. “Telepon Mamamu yang kaya raya itu dan suruh dia membayar hutangmu kepadaku. Atau aku tidak akan pernah melepaskanmu,” ucap Donny. Ruby meraih ponsel yang diberikan oleh Donny dan kemudian berusaha menelepon Mamanya. Air mata membanjir di pipinya saat dia menekan nomor itu. Rasa sakit akibat Donny yang menjambak rambutnya masih sangat terasa. Beberapa saat kemudian panggilan itu tersambung dan suara seorang wanita terdengar di seberang. “Mama,” ucap Ruby sambil terisak. “Kali ini berapa banyak?” Nada suara wanita itu terdengar dingin dan datar. Orang yang mendengarnya tidak akan percaya kalau suara itu berasal dari wanita yang telah melahirkan Ruby. “Dua belas juta,” ucap Ruby masih dengan suara yang terbata-bata karena menangis. “Apa kali ini kau bersedia untuk menerima aturan Mama dan melakukan semua yang Mama katakan?” Ruby terdiam ragu saat mendengar ucapan ibunya kali ini. Selama ini dirinya selalu mencoba untuk berontak dari semua aturan ibunya dan lihatlah kini, karena kesalahannya sendiri, dia kembali harus masuk dalam kontrol dan aturan ibunya. Donny menatap Ruby dengan tatapan yang mengintimidasi. Seakan mengancam Ruby untuk melakukan apa pun yang dia inginkan demi sejumlah uang uang dijanjikan oleh Ibu gadis itu. “Baik Mama. Aku akan kembali pada Mama,” ucap Ruby sambil menahan isak tangisnya. Tepat setelah Ruby menyetujui permintaan ibunya itu, pintu rumah tempat Donny dan semua teman-teman kriminalnya bersarang didobrak oleh sekelompok orang berpakaian rapi namun dengan ukuran tubuh yang jelas-jelas jauh lebih besar dari mereka. “Apa-apaan ini!” teriak Donny kaget. Dia mendadak panik melihat sekumpulan orang yang mendobrak rumah kontrakannya itu. Namun tanpa banyak bicara, salah seorang dari para pria yang menerobos rumah itu langsung meringkus Donny dan melumpuhkannya sambil menekan kepala pria itu ke lantai. “Nona tidak apa-apa?” tanya salah seorang dari mereka. Ruby masih memegang ponsel Donny dengan air mata di pipinya. Dia hanya bisa mengangguk lemah. “Dia sudah menghilangkan barangku! Aku hanya menuntut ganti rugi dan akan melepaskannya!” ucap Donny membela diri. Dia sebenarnya tahu siapa Ruby tadi dia sama sekali tidak menyangka kalau Nyonya Nora Lee masih akan sepeduli ini pada anak bungsunya tersebut. Kabar yang dia dengar sebelumnya adalah kalau Ruby adalah anak yang dibuang oleh keluarganya. Dia juga sempat menyaksikan kalau Ruby berkeliaran dari satu klub malam ke klub malam yang lain untuk menari dan menjual penampilannya yang memang menarik. Jadi dia tidak menyangka sama sekali akan mengalami hal ini. Sebuah tas besar dilemparkan ke hadapan Donny. “Itu uang yang kau minta dan mulai sekarang kau tidak ada hubungannya lagi dengan Nona kami. Jika tidak, maka semua barang yang kau miliki ke depannya akan selalu menjadi incaran pihak yang berwajib.” Donny hanya bisa tertegun mendengar ancaman salah seorang dari para pria yang menerobos rumahnya itu. Ruby beranjak turun dari atas tempat tidur. Dia hendak melangkah melewati Donny tapi kemudian tatapannya berubah. Dia menghentikan langkahnya dan menatap Donny. Melihat itu Donny malah tersenyum. “Selamat tinggal gadis manis. Setidaknya semalam kau sudah cukup membuat kami puas,” ucap Donny. Ruby tersenyum. Dia lalu mengambil korek api yang ada di atas meja dan beralih menatap pria yang saat ini tengah menahan tubuh Donny di lantai. “Tahan kepalanya. Aku ingin membuat alis tebalnya jadi lebih bagus lagi,” ucap Ruby sambil menyeringai. Dia berubah dalam sekejap dari seorang gadis menyedihkan yang berlinang air mata menjadi seorang yang tampak kejam. Donny menjadi panik. “Mau apa kau?! Ruby! Kau sudah gila?!” protes Donny. Dia berusaha melepaskan diri, tapi percuma. Badan pria yang menahannya jauh lebih besar dari dirinya. Bahkan teman-temannya tidak bisa melakukan apa-apa saat ini. “Oh, ini bayaran dari apa yang sudah kalian lakukan padaku tadi malam. Kan sudah kubilang tadi malam. Itu sakit. Tapi kau tidak percaya. Biar tidak ada yang mengganjal di antara kita, aku juga ingin kau merasa sakit. Adil kan?” Kepala Donny semakin di tekan ke lantai dan beberapa saat kemudian, terdengar teriakan pilu pria itu yang memecah kesunyian. # Arther tidak percaya kalau Jenny akan membuatnya naik KRL dari Bogor ke Jakarta. Terlebih dengan begitu banyaknya orang yang memadati setiap gerbong. “Kau bilang ini kereta? Ini lebih mirip dengan kotak korek api jaman dulu yang di isi manusia,” ucap Arther. “Ini lebih baik dari pada naik motor dari Bogor ke Jakarta. Lagi pula ini juga lebih aman. Bapak kan tidak pernah naik kereta. Sesekali tidak ada salahnya mencoba transportasi rakyat jelata,” balas Jenny. Dia tersenyum tipis. Sudah dia duga sebelumnya kalau Arther pasti akan protes. Arther mendekat pada Jenny. “Jangan panggil Bapak kalau bukan di kantor. Kau kan sudah setuju untuk memanggil namaku di luar kantor. Kau anggap apa yang semmmpphh.” Jenny menutup mulut Arther dengan tangannya saat pria itu tengah berbicara sehingga Arther tidak bisa melanjutkan ucapannya. “Kalau begitu, jangan bicara sembarangan,” ucap Jenny sambil tersenyum penuh makna. Terkadang Arther memang suka berbuat dan berbicara sesuka hatinya tanpa memedulikan sekitar. Arther mengangguk menyetujui permintaan Jenny, barulah Jenny menurunkan tangannya dari mulut Arther. Arther kemudian mengalihkan pandangannya ke sekeliling. Dia mulai merasa kesal karena orang-orang terus saja masuk ke dalam gerbong tempat dirinya berada padahal menurutnya tempat itu sudah penuh. “Kapan orang-orang ini akan berhenti masuk? Kita sudah seperti ikan teri yang siap dijala di sini,” keluh Arther yang mengundang pandangan sinis dari beberapa penumpang kereta. Sejujurnya Arther kesal karena Jenny melarang mereka untuk duduk. Jadi dia dan Jenny harus berdiri berhadapan di tengah gerbong. “Ini kereta yang digunakan untuk bepergian oleh orang biasa. Cobalah menikmati dan jangan mengeluh. Bisa jadi saat ini adalah pengalaman sekali seumur hidup untukmu. Kapan lagi kau bisa naik kereta,” ucap Jenny separuh mengejek. Dia bisa melihat kalau Arther sama sekali tidak nyaman. Keringat mulai menetes dari keningnya dan juga setelan yang saat ini melekat di tubuh pria itu pasti terasa sangat panas di tengah kumpulan manusia yang berdesak-desakkan seperti sekarang. Jenny memang sengaja melakukannya. Hitung-hitung ini pelajaran untuk pria itu. “Jangan meremehkanku. Aku sudah berkali-kali naik kereta, jadi ini bukan yang pertama kalinya,” balas Arther. “Cruise Train Seven Stars itu kereta pesiar, bukan kereta biasa seperti ini. Jadi tidak masuk hitungan,” ucap Jenny. “Setidaknya di dalamnya ada tempat tidur. Kereta yang ini, tempat duduk saja tidak cukup untuk semua orang,” keluh Arther. Guncangan kereta menyebabkan tubuh sebagian besar penumpang terdorong dan membuat Jenny yang ada di posisi tengah ikut terdorong. Berbeda dengan Arther yang masih bergeming karena dia menahan tubuhnya dengan menggunakan segenap otot yang ada di tangannya. Melihat Jenny yang terdorong, Arther dengan cepat meraih Jenny dan mengubah posisi mereka. Dia membuat Jenny bersandar di dekat tiang sementara dia melindungi Jenny dengan tubuhnya. “Aku tidak akan pernah mau naik KRL lagi,” ucap Arther. “Kau belum mencoba MRT,” ucap Jenny. Dia merasa sedikit canggung sebenarnya karena sekarang Arther seperti tengah memeluknya dengan posisi ini, meskipun kenyataannya tangan pria itu berpegangan di tiang sekaligus pegangan yang disediakan di dalam kereta. “Tidak terima kasih. Aku tidak suka melihat tubuhmu bersentuhan dengan orang lain. Itu menyebalkan,” ucap Arther. Jenny tersenyum dalam diam saat mendengar ucapan Arther. Bahkan semenjak dia hanya seorang sekretaris dan asisten biasa, dirinya sudah tahu kalau Arther itu adalah seorang yang sangat perhatian. Dia pernah melihat bagaimana Arther begitu memperhatikan Kinan dulu meski Kinan sendiri bilang kalau Arther tidak pernah mencintainya. Namun ketika merasakan sendiri perhatian dan sikap posesif Arther pada dirinya, dia tidak bisa menahan diri untuk merasa istimewa bagi pria itu. Walau jauh di lubuk hatinya Jenny tahu kalau bukan dirinya yang ada di tempat yang paling istimewa di dalam hati Arther.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN