Bab 8: Kesepakatan 3

1383 Kata
# Ruby membuka matanya dan menatap pantulan wajahnya di cermin saat ini sebelum akhirnya tersenyum miris. Dia bahkan tidak mengenal sosok yang sekarang dipantulkan oleh cermin di depannya. “Mama ingin aku tampil seperti ini?” tanya Ruby sambil mengusap air mata di sudut matanya. Dia tertawa sampai mengeluarkan air mata setelah melihat penampilannya sendiri. “Memangnya kau ingin pria seperti Arther akan tertarik dengan gadis muda dengan gaya gothic seperti yang selalu kau tunjukkan?” balas Nyonya Nora. Ruby menarik napas panjang. “Baiklah. Tidak masalah. Kurasa memang sudah saatnya aku kembali menjadi gadis kaya lemah lembut demi bisa menjadi alat yang sempurna untuk Mamaku sendiri. Ini adalah caranya di keluarga kita, bukan begitu Mama? Apa setelah ini aku akan di akui sebagai anggota keluarga ini juga?” Ruby melirik ke arah ibunya. Nyonya Nora mengangguk pelan. “Setidaknya kalau kita memperoleh dukungan yang dibutuhkan dari Arther lewat dirimu, artinya kau sudah cukup layak untuk di akui oleh keluarga ini. Dan saat aku berhasil menguasai setidaknya 25% dari seluruh usaha yang di jalankan oleh keluarga kita, maka saat itu tidak akan ada yang bisa menganggap remeh dirimu lagi meski ayahmu adalah pria lemah yang tidak berguna itu,” ucap Nyonya Nora. Raut wajah Ruby terlihat sedikit berubah saat mendengar ucapan ibunya itu. “Setidaknya jangan Mama juga ikut mengatakan hal menyakitkan seperti itu tentang Papa,” ucap Ruby. Nyonya Nora mendekati Ruby dan menatap sosok putrinya itu lewat pantulan bayangan yang ada di cermin. “Sakit hati? Tersinggung? Kau tahu kalau kita tidak akan pernah terpengaruh dengan hal-hal seperti itu.” Ruby mengetatkan rahangnya untuk sejenak sebelum kemudian mengubah raut wajahnya. “Terpengaruh? Tidak sama sekali. Aku hanya mencoba menjiwai peranku mulai dari sekarang. Tidak masalah meski Arther tahu aku dari keluarga mana tapi yang penting dia harus suka dan jatuh cinta kepadaku agar semua rencana Mama terwujud. Aku cukup paham,” ucap Ruby akhirnya. Nyonya Nora Lee hanya menatap putrinya sekilas. “Bagus. Kau memang putriku,” ucapnya. Dia kemudian melangkah pergi dari tempat itu dan meninggalkan Ruby sendiri bersama dengan pelayan. Ruby menarik napas panjang dan melangkah menuju jendela. Dia berdiri di sana dalam diam untuk beberapa waktu hingga akhirnya melihat sosok ibunya yang melangkah keluar menuju mobil yang sudah terparkir menunggunya. “Apa aku masih tidak boleh bertemu dengan Kung Kung?” tanya Ruby. Tidak ada jawaban. Para pembantu hanya saling menatap satu sama lain tanpa berani menjawab pertanyaan Ruby. Ruby tersenyum tipis. Untuk sekilas matanya memancarkan kerinduan ketika melihat mobil ibunya bergerak menjauh meninggalkan halaman rumah besar itu. “Tidak masalah. Tidak perlu di jawab juga. Aku sudah tahu jawabannya,” ucap Ruby akhirnya. # Untuk beberapa alasan, Jenny terlihat gelisah dan bahkan bersikap kaku di hadapan Arther semenjak rapat selesai. Arther ingin bertanya tapi dia mengurungkan niatnya karena kesibukan hari itu. Sesungguhnya Arther mencurigai Kenny tapi pria kemayu itu sudah lebih dulu pergi begitu urusannya selesai bahkan sebelum Arther sempat bertanya. Dan kini, Jenny bahkan meminta orang lain untuk membawa laporan ke ruangannya. Bukankah biasanya Jenny sendiri yang akan datang untuk membawa laporan sepenting ini untuknya? “Hem, aku merasa ini kurang tepat. Perbaiki lagi,” ucap Arther. Rian menyeka keringat di dahinya. “Di bagian mana yang harus di perbaiki Pak?” tanya Rian gugup. Dia sudah menduga kalau ini yang akan terjadi kalau dirinya yang masuk untuk meminta tanda tangan. Semua orang juga tahu kalau atasan mereka itu sangat bertingkah kalau bukan Jenny yang meminta tanda tangannya. Arther melirik Rian sekilas. “Kalau aku yang harus menjelaskan di mana salahnya lalu apa gunanya kau di rekrut sebagai bawahanku?” Arther malah balas bertanya. “Ba─baik Pak!” Dengan segera Rian berlari keluar dari ruangan Arther. Di luar Jenny hanya menarik napas panjang melihat Rian yang muncul dengan wajah pucat pasi. “Ada yang salah?” tanya Jenny. Rian mengangguk pelan. “Harus diperbaiki lagi tapi Bapak tidak menjelaskan di bagian mananya yang harus di perbaiki,” balas Rian lemas. Jenny mengalihkan tatapannya ke arah ruangan Arther untuk sesaat dan dia tahu kalau saat ini pria itu pasti sedang menyeringai puas karena berhasil membuatnya tidak memiliki pilihan selain mengantarkan dokumen itu sendiri ke dalam. “Agnes, coba buat perubahan di bagian ini dan juga rubah formatnya,” perintah Jenny pada Agnes yang memang bertugas menyusun isi laporan beberapa berkas yang harus di tanda tangani oleh Arther. “Baik Bu,” ucap Agnes. Dia adalah yang termuda dari antara mereka bertiga dan melihat bagaimana Jenny bisa menangani semua pekerjaan sekretaris serta bagaimana atasan mereka lebih memilih untuk berhubungan langsung dengan Jenny, sebenarnya dia sendiri merasa kalau dirinya dan Rian hampir tidak ada gunanya. Dia sempat menatap kasihan kepada Rian namun dia juga merasa bersyukur bukan dirinya yang harus masuk ke dalam ruangan Arther. Agnes kemudian meraih kertas yang keluar dari mesin printer dan memberikannya pada Jenny. Jenny mengangguk pelan dan kemudian memasukkan kertas itu ke dalam map. Dia melangkah masuk ke dalam ruangan Arther dengan di iringi tarikan napas lega dari Agnes dan Rian. Di dalam ruangan, Arther tampak fokus memeriksa beberapa berkas yang menggunung di hadapannya dan meski dia menyadari kalau kali ini Jenny yang masuk ke dalam ruangannya tapi dia tidak mengangkat wajahnya sama sekali. Hanya sebuah senyuman tipis yang terukir di bibirnya kali ini. Jenny meletakkan berkas itu di hadapan Arther. “Kami sudah memperbaiki formatnya. Berkas ini butuh tanda tangan Bapak segera,” ucap Jenny. Arther akhirnya mengangkat wajahnya. “Kenapa?” tanya Arther. “Agar bisa segera di teruskan ke divisi ....” “Aku bertanya kenapa kau menghindariku hari ini sejak mulai dari rapat tadi hingga sekarang. Apa aku melakukan kesalahan?” Arther memotong kalimat Jenny. Jenny menggigit bibirnya pelan menahan kesal. “Untuk apa kau memberikan Rian dan juga Agnes kepadaku kalau kau selalu mempersulit mereka demi tanda tangan? Harusnya biarkan saja aku mengerjakan semuanya sendiri. Hanya karena kau atasan, bukan berarti kau bisa bersikap sewenang-wenang pada bawahanmu sendiri. Itu terlalu kekanak-kanakan,” ucap Jenny. Meski kesal dan kini dia menggunakan panggilan langsung yang jauh dari kata formal pada Arther namun nada suaranya tetap terjaga. “Maaf. Itu karena aku ingin melihatmu,” balas Arther. Wajah Jenny memerah mendengar ucapan Arther namun dia bersikeras untuk tidak terpengaruh. Bagaimanapun Arther akan tetap bersikap sama jika dia tidak menetapkan batasannya hari ini. Dia tidak ingin lagi melihat Rian dan Agnes diperlakukan buruk bahkan sekalipun itu oleh Arther. Mereka berdua adalah orang-orang yang dia latih sendiri untuk melakukan sebagian pekerjaan yang dulunya dia tangani “Kau melihatku setiap hari. Tidak masuk akal untuk bersikap kasar pada bawahanmu yang lain hanya karena kau ingin aku yang mengantarkan dokumennya langsung. Melakukan apa yang selalu kau lakukan sekarang, sama saja kau tidak mengakui kemampuanku yang telah melatih mereka,” ucap Jenny. Arther tersenyum. “Jangan marah, aku kan sudah minta maaf,” ucap Arther tenang. Mendengarkan omelan Jenny sama saja seperti mendengarkan musik baginya. Dia menyukai cara Jenny mengoreksi sikapnya. Jenny menatap Arther. “Jadi bisakah Bapak menandatangani berkasnya?” Dia kembali pada mode formalnya. “Tentu saja, tapi berjanjilah untuk tidak menghindariku lagi. Aku tidak tahan,” ucap Arther. Dia menandatangani berkas di depannya dan memberikannya kembali pada Jenny. Jenny menatap berkas di tangannya untuk sesaat dan kemudian kembali kepada Arther yang kini tampak tersenyum senang menatapnya. “Aku hanya ingin bersikap profesional, jadi tolong bantu aku. Jangan membuat posisiku semakin berat kalau memang kau ingin aku tetap bekerja di sini. Aku mohon,” ucap Jenny sendu. Raut wajah Arther kini berubah serius. “Baiklah. Aku mengerti. Hanya saja aku tidak ingin kau menghindariku tanpa alasan di kantor. Apa Kenny mengatakan hal-hal yang tidak masuk akal sebelum rapat tadi? Kau bisa bertanya langsung padaku daripada mendengarkan si tukang gosip itu,” ucap Arther. Jenny menepis tangan Arther yang terulur ke arahnya. Membuat Arther kini mengerutkan dahi menatapnya. “Aturan pertama dari bersikap profesional di kantor, tidak ada sentuhan fisik yang tidak berarti,” ucap Jenny. Arther masih menatap Jenny. “Baiklah,” Meski begitu dia dengan segera menyetujui permintaan wanita itu. Jenny tersenyum tipis. “Terima kasih,” ucapnya. Dia kemudian melangkah keluar dari ruangan Arther. Arther hanya menatap punggung Jenny hingga menghilang di balik pintu dengan dahi berkerut dalam. Bertanya-tanya, apakah selama ini dia sudah tanpa sengaja menempatkan kekasihnya itu pada posisi yang benar-benar sulit hanya karena dia tidak masalah kalau hubungan mereka terekspos?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN