Alroy pernah membayangkan tentang menikah. Memiliki seorang istri, yah satu. Lebih dari satu tak pernah muncul dalam benaknya. Tapi, ia tak pernah membayangkan entah dengan siapa ia ingin menikah.
Namun mimpi-mimpi anehnya selama kurang lebih 7 tahun belakangan ini, membuat isi kepalanya dipenuhi oleh wanita bernama Tiara itu. Tak bisa ia pungkiri jika Tiara yang ia lihat dalam mimpinya memang cantik. Tapi, apakah cantik menjadi satu-satunya alasan baginya untuk menikah?
Lantas, bagaimana dengan cinta?
Alroy beberapa kali dekat dengan wanita, mungkin hanya sekedar dekat. Saling tertarik, lalu berakhir saat mereka tak saling cocok lagi atau karena Alroy yang ditugaskan ke kota lain sehingga hubungannya kandas.
“Arghh…” Alroy menjambak rambutnya dengan kasar. Frustasi dengan jalan hidupnya yang terlalu aneh dan tak bisa dijelaskan dengan nalar.
Sampai jam 3 dini hari, Alroy tak tertidur. Ia malas dengan yang namanya tidur, malas jika harus bermimpi lagi. Diraihnya ponsel yang tergeletak di tempat tidur. Ia menerka-nerka jam di Indonesia saat ini. Jam 3 dini hari di Las Vegas, artinya di Jakarta sekitar jam 5 sore.
Ia teringat pesan yang dokter Wulan kirimkan padanya untuk melanjutkan terapi online bersama Almeera. Terapi yang tak perlu melibatkan keberadaan dokter Wulan, cukup antara Alroy dan Almeera. Terapi di mana keduanya harus lebih saling mengenal. Demi kesembuhan masing-masing, yah anggap sajalah begitu tujuannya.
“Sepertinya dia bisa kuhubungi” Alroy berasumsi. “Ah… ini demi kesembuhanku dan demi tidak diberhentikan secara tidak hormat dari militer.”
Alroy menggulir layar ponselnya, mencari pemilik kontak Si Tukang Muntah. Untuk beberapa saat ia justru tersenyum simpul mengingat kehebohan Almeera saat mengendus durian.
“Sebenarnya dia cantik, hanya saja… ah…” Alroy malas melanjutkan ucapannya.
****
“AKKHHHH…” Almeera menjerit histeris melihat siapa yang meneleponnya. Bukan panggilan biasa, tapi lagi-lagi melalui video call.
“Kenapa? Ada apa?” Bintang yang mendengar jeritan Almeera ikut panik.
“Nona, kenapa?” Kejora ikut muncul setelah berlari dari teras hingga ruang makan.
Tak ketinggalan beberapa pelayan yang saat itu sedang berada tak jauh dari ruang makan ikut menoleh ke sumber suara. Beberapa bahkan mendekati Almeera untuk memastikan apa yang telah terjadi hingga sang Nona berteriak ketakutan seperti orang yang didatangi penagih hutang.
“Kenapa???” Bintang dan Kejora bertanya serempak. Sangat kompak, bahkan panjang pendek suara, nada, intonasi, artikulasi, dan cengkoknya sama. (Eh otornya berasa jadi komentator di acara kontes dangdutan).
Almeera menunjukkan ponselnya yang langsung membuat Bintang dan Kejora saling senggol plus sambil tersenyum malu-malu.
“Senggol-senggolan? Mau dangdutan huh?” sindir Almeera.
Bintang dan Kejora hanya menyengir sambil menggeleng. Namun, melihat Almeera yang tak kunjung menjawab panggilan Alroy, dua orang itu jadi gemas sendiri.
“Dijawab, Nona. Nanti Mas Al kecewa kalo gak dijawab” saran Kejora, lebih tepatnya mulai tak sabaran ingin melihat bagaimana interaksi penuh kehebohan antara dua orang itu.
Almeera menarik nafas terlebih dahulu lalu ia menghembuskannya pelan-pelan. Disampirkannya rambutnya ke belakang telinga lalu memasang wajah tersenyum sebelum akhirnya memberanikan diri untuk menjawab panggilan video call itu.
Panggilan tersambung dan kening Almeera mengerut karena bingung melihat keadaan yang setengah gelap, hanya ada pencahayaan remang-remang di sekitar Alroy. Tempat yang menurut Almeera begitu asing, hanya ruang sempit dan gelap yang dilihatnya, tak banyak furniture, bahkan dindingnya tercat dengan warna polos.
Apa dia tinggal di tempat yang se… se- apa yah namanya itu. Almeera bertanya sendiri dalam benaknya.
“Apa aku mengganggumu?” terdengar suara pria itu, sontak Almeera menggeleng dengan cepat.
“Ini udah malem? Kamu lagi di mana sih?” Almeera akhirnya memilih bertanya dibandingkan terus menerka-nerka di mana keberadaan pria itu.
“Oh ini, aku di Las Vegas. Lagi ada kerjaan di sini.”
Almeera mengangguk perlahan, sementara dalam kepalanya penuh asumsi dan terkaan apa kira-kira jenis pekerjaan yang dilakukan Alroy. Ingin menanyakannya tapi sisi terwaras di otaknya melarang.
“Oh ya, tentang Tiara dan Mike itu. Kamu ketemu di mana sih? Aku udah nanyain Mamiku, tapi katanya aku gak punya kembaran.”
Butuh beberapa detik bagi Alroy untuk terdiam sebelum ia angkat suara, “Bisakah kita berbicara berdua saja?”
“Hah? Bukankah kita hanya berdua, memangnya siapa lagi yang berada di panggilan ini selain kita?” tanya Almeera.
“Lihatlah orang-orang di belakangmu” balas Alroy dengan malas.
Almeera segera berbalik, bibirnya langsung mencebik setelah menyadari keberadaan Bintang, Kejora, Bi Yati, dan bahkan beberapa pelayan kepo lainnya yang ternyata mengintipnya.
“Awas bintitan tuh mata” sindir Almeera lalu meraih ponselnya dan meninggalkan ruang makan menuju kamarnya.
Butuh waktu sekitaran dua menit hingga Almeera benar-benar dalam posisi siap mendengar pembicaraan yang sepertinya begitu serius dari Alroy. Ia tak lupa mengunci pintu kamarnya lalu duduk di sofa sambil bersandar. Ponselnya ia letakkan di atas meja dalam posisi bersandar pada tumpukan buku.
“Lanjutin, mau ngomong apa?”
“Aku melihat Mike dan Tiara dalam mimpi” ucap Alroy.
“Mimpi?” Almeera membeo.
Dalam benaknya, Almeera mengulang kata-kata itu beberapa kali. Tapi, entah berapa kali pun ia mengulangnya, ia tak mengerti maksud Alroy.
“Sebenarnya aku mengalami kejadian aneh, aku memimpikan Mike dan Tiara dan hal itu sudah berlangsung selama 7 tahunan.”
“7 TAHUN???” Suara Almeera meninggi, penuh penekanan dan ketidakpercayaan.
Alroy terlihat mengangguk. Sementara Almeera menggaruk kepalanya yang tak gatal. Butuh ketidakwarasan untuk memahami hal itu. Dan meskipun Almeera bisa dibilang agak kurang waras, setidaknya sisi terwaras otaknya masih berfungsi untuk tidak mempercayai omongan Alroy begitu saja.
“Hey…” Almeera berseru. “Aku mungkin keliatannya bego, gila, dan yah aku aneh. Tapi, kalo mau ngibul yah yang masuk akal dikit.”
Dan Alroy juga tak berharap banyak jika Almeera akan langsung mempercayainya. Bahkan ia sendiri yang mengalami hal ini pun masih terus menolak untuk percaya. Jutaan kali ia menyangkal bahwa ia mengalami keanehan, jutaan kali pula ia ingin melarikan diri sebelum makin tenggelam dalam kegilaannya.
“Kau pikir aku terlalu waras atau normal untuk mendatangi dokter Wulan?” tanya Alroy.
Mendengar hal itu, Almeera jadi bungkam. Dalam hati ia justru tertohok akan hal itu. Ia sama saja, ia tak akan mendatangi dokter Wulan atau puluhan klinik kejiwaan lain jika ia normal.
Hening, detik berlalu dengan lambat. Setiap waktu yang terputar kian mencekam, hingga hanya terdengar helaan nafas panjang keduanya.
“Aku sakit, eh bukan sakit di tubuh sih. Tapi, sakit jiwa” ucap Almeera lirih.
“Dan aku pun sama saja denganmu.”
Almeera yang tadi menunduk sontak mendongak. Merasa menemukan seseorang yang sama anehnya dengan dirinya, dan entah kenapa hal itu menghiburnya. Dan ia tersenyum, memperlihatkan deretan giginya pada Alroy. Bukan lagi senyum canggung, tapi senyum itu tulus. Anggaplah senyum persahabatan, pada seseorang yang memiliki nasib yang tak kalah buruknya dengan yang ia alami.
“Jadi, apa yang sebenarnya kau mimpikan tentang Mike dan Tiara?”
“Tentang kehidupan mereka, kehidupan sehari-hari mereka sebagai…” Alroy berhenti. Ia berpikir sejenak, pantaskah baginya untuk menceritakan semuanya pada Almeera.
Dia mungkin akan shock.
Bagaimana jika ia sampai pingsan jika kuceritakan semua.
Dan kuyakin butuh waktu yang tidak sedikit untuk menceritakan semua itu.
Terlalu lama menunggu Alroy yang menggantung ucapannya, membuat Almeera tak sabaran. “Sebagai apa?”
“Hah? Oh itu, mereka berpacaran” jawab Alroy. Ia memilih jawaban paling aman.
“Oohh…” Almeera mengangguk-angguk sebelum kembali melanjutkan, “Terus bagaimana kau bisa memimpikan mereka?”
“Itulah yang tidak kuketahui. Aku mencari jawabannya selama 7 tahun ini, aku bahkan sudah menemui puluhan dokter tapi tak ada jawaban yang kutemui.”
Dari sore hingga menjelang malam, Alroy dan Almeera mulai menceritakan diri mereka masing-masing. Alroy yang sebenarnya terbiasa tertutup mendadak welcome pada Almeera. Harapannya hanya satu, mencari jawaban atas segala ketidaknormalan yang ia alami melalui Almeera.
Sementara Almeera yang merasa menemukan teman senasib dan sepenanggungan dengannya ikut larut dalam perkenalan panjang itu. Tak banyak yang mereka ceritakan tentang kehidupan pribadi masing-masing, mereka lebih banyak saling bercerita dan saling mendengarkan tentang keanehan masing-masing.
“Oh ya, apa kuota internetmu tak akan habis jika melakukan video call terlalu lama?” tanya Almeera tiba-tiba.
Dalam benaknya, Almeera tetap mengira jika Alroy adalah pria yang tidak berpenghasilan tinggi.
“Apa menurutmu aku semiskin itu?” tanya Alroy dengan nada suara yang sarkas, tak terima Almeera meremehkannya.
Almeera menggeleng beberapa kali. “Eh bukan begitu maksudku, tapi kita sudah berbicara hampir satu jam.”
“Kau tak perlu khawatir, tempat kerjaku di sini memberikan wifi gratis.”
Mendengar Alroy menyebutkan tentang tempat kerjanya Almeera jadi makin penasaran sebenarnya apa jenis pekerjaan pria itu.
Nanyain kerjaannya sopan gak yah?
Kalau dia tersinggung, gimana?
Tapi, penasaran juga.
Gak masalah kali yah, cuma nanya aja.
Almeera meyakinkan dirinya sendiri, ia sedikit menggaruk tengkuknya. Ia mengumpulkan keberanian untuk menanyakan pekerjaan Alroy.
“Kamu emangnya kerja apa di Las Vegas?” Pertanyaan itu meluncur dengan ragu-ragu dari mulut Almeera, takut-takut juga jika Alroy tersinggung.
“Pekerjaan? Oh itu, hanya pekerjaan biasa. Seperti kuli bangunan, saat atasan menyuruh melakukan sesuatu, aku harus melakukannya tanpa banyak bertanya” jawab Alroy, menyembunyikan kebenaran dari pekerjaannya yang sebenarnya.
“OH…” Almeera mendadak canggung. Ia merutuki diri telah bertanya. Karena itu, ia lanjut berujar, “Apapun kerjaannya kan yang penting halal. Bukan makan dari uang rakyat, nyolong, atau dari hasil ngerampok.”
Alroy mengangguk setuju. Seulas senyum terbit di sudut bibirnya. Mendengar seseorang menghiburnya, ternyata lucu juga.
Panggilan video call itu telah berakhir, tapi ada dua orang yang tak bisa berhenti tersenyum seperti orang gila. Di Indonesia, Almeera berguling-guling di tempat tidurnya dengan perasaan aneh yang menyelimutinya. Ia senang berbicara dengan pria itu hingga hitungan jam. Senang bahkan setelah mengetahui jika pria itu hanyalah kuli bangunan. Dan yang paling membuatnya senang adalah mendengar pria itu mengatakan akan menghubunginya lagi esok malam.
Sementara di Las Vegas, seorang pria menunggu datangnya pagi dengan penuh semangat. Bahkan setelah tak tertidur sepanjang malam, ia tetap merasa baik-baik saja. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa tak begitu was-was untuk menghadapi hari esok.
Karena itu, ia bangkit meninggalkan tempat tidurnya. Ia memilih berkeliling lapangan dengan berlari di subuh-subuh. Yang semakin ia berlari, semakin ia bersemangat. Bahkan setelah dua kali memutari lapangan luas itu, ia masih tak kehilangan staminanya.
“Pagi sekali kau berlari?”
Tama ikut berlari, ia terpaksa menambah kecepatannya untuk menjangkau Alroy yang terlihat begitu bersemangat.
“Hei…” Tama berteriak. “Apa sesuatu terjadi? Kau terlihat sedikit…”
“Sedikit apa?” Alroy berbalik sekilas lalu berlari kecil dengan posisi berbalik.
“Kau terlihat bersemangat sekali” ujar Tama.
“Benarkah? Kuli bangunan seperti kita memang harus selalu bersemangat” ucapnya sambil mengulas senyum aneh. Alroy kembali membalik tubuhnya dan melanjutkan berlari mengelilingi lapangan.
Tama berhenti sejenak, ia memandangi Alroy yang telah mendahuluinya beberapa meter. Bisa ia pastikan jika sesuatu telah terjadi pada Alroy, dan instingnya mengatakan hal itu bukanlah sesuatu yang buruk.
“Hei…” teriak Tama lagi. “Hei, kau kuli bangunan… tunggu aku!”
****