Seperti biasanya, sekali sepekan Almeera mendatangi dokter Wulan untuk terapi. Ia berjalan menelusuri koridor di klinik dokter Wulan bersama Bintang dan Kejora. Setiap kali ia melangkah, ujung matanya selalu melirik ke berbagai arah, mencari keberadaan pria itu. Pria yang pertama kali ia temui seminggu yang lalu.
Sayangnya, sampai Almeera duduk di hadapan dokter Wulan, tak ia temui pria itu. Memangnya apa yang ia harapkan, jelas-jelas Alroy sedang berada di Las Vegas. Bahkan sore hingga malam sebelumnya, pria itu berbicara dengannya melalui sambungan video call.
“Ada kemajuan dengan Alroy?” tanya dokter Wulan setelah ia menyapa Almeera.
Bintang dan Kejora yang berada di ruangan yang sama sontak saling senggol dan tersenyum malu-malu.
“Sepertinya, banyak kemajuan dengan Alroy” dokter Wulan menyimpulkan setelah melihat wajah Bintang dan Kejora.
“Kemajuan apa? Tidak ada” bantah Almeera. “Aku tetap muntah-muntah saat dia datang beberapa hari yang lalu” lanjutnya dengan wajah malas ditambah raut wajahnya yang berubah kesal.
“Benarkah?” tanya dokter Wulan dengan nada menggoda. “Lantas, bagaimana dengan terapi onlinemu? Alroy menghubungimu, bukan?”
Sebelum Almeera sempat menjawab, wajah Bintang dan Kejora yang mesem-mesem layaknya kepiting rebus menjawab semuanya.
“Sepertinya aku mencium virus-virus cinta” tebak dokter Wulan sambil mengulum senyum.
“Adanya virus corona” ketus Almeera. “Tiap ketemu harus pake masker berlapis-lapis, pake masker aja masih pengen muntah. Kok bisa ada orang sebau itu sih” protesnya.
“Oh ya?” goda dokter Wulan lagi. “Tapi, kenapa wajahmu justru menyangkal apa yang dikatakan mulutmu.”
“TIDAK!!!” bantah Almeera dengan tegas.
Mendadak dituduh jatuh cinta membuat Almeera agak emosi, wajahnya memerah. Tapi, bukan hanya karena emosi, tapi juga karena malu. Dalam hati ia bertanya-tanya.
Kenapa aku harus terkena virus-virus cinta kepada cowo bau itu, ih.
Adanya virus corona, dia harus dijauhi.
Dia harus divaksin biar gak bau lagi.
Pokoknya aku gak suka dia.
GAK…
POKOKNYA GAK
“GAK!!! POKOKNYA AKU GAK SUKA!!” teriak Almeera tanpa sadar.
“Oh wow!!” dokter Wulan tersenyum miring. Tak ia sangka segitu kuatnya pesona Alroy sampai Almeera seperti ini.
Suara Bintang dan Kejora yang duduk tak jauh di belakang Almeera terdengar berbisik-bisik, saling mengatakan penyangkalan atas pernyataan Almeera. Karena bahkan tanpa Almeera mengakuinya, mereka sudah tau bahwa sebenarnya sejak Almeera muntah-muntah di pertemuan pertamanya dengan Alroy, telah terjadi sesuatu di antara dua makhluk aneh itu.
“Diam kalian!” Almeera berbalik sambil membentak Bintang dan Kejora.
Dengan memasang wajah tak berdosa, Bintang dan Kejora mengangguk pelan sambil masing-masing menarik garis di depan bibirnya pertanda kebungkamannya.
Sebelum terjadi perdebatan tak ada habisnya, dokter Wulan berujar, “Baiklah, aku tidak akan menggodamu lagi. Seperti yang kukatakan padamu sebelumnya, jika kau bisa membiasakan diri dekat dengan Alroy, kemungkinan kau bisa sembuh dari kebiasaan mengendusmu itu.”
Penjelasan dokter Wulan membuat wajah Almeera yang sempat diliputi emosi menjadi bersemangat, ia menatap dokter Wulan dengan penuh pengharapan.
“Tapi, ini masih kemungkinan. Seperti yang sudah berkali-kali kukatakan padamu, kondisi yang kau alami ini tidak memiliki penjelasan ilmiah dalam bidang keilmuan medis manapun.”
Satu-satunya yang bisa menjadi jawaban mengenai keanehan yang dialami oleh Almeera ataupun Alroy hanyalah takdir. Karena berapa banyak pun dokter dan klinik kejiwaan yang mereka datangi, tetap saja tak pernah ada penjelasan ilmiah mengenai kondisi mereka. Yah, mungkin hanya takdir satu-satunya jawaban yang paling benar.
“Seperti kau tidak tertarik untuk mengendus keluargamu, karena ikatan darah atau karena terbiasa bersama mereka, hal itu bisa juga berlaku untuk Alroy. Jadi, cobalah untuk membiasakan diri dengan Alroy, saat kau terbiasa aku harap Alroy tidak lagi berbau aneh bagimu.”
Almeera hanya mengangguk pelan sambil menggaruk kepalanya.
“Dan yah, asal kau tau Alroy aslinya sangat wangi. Ini penilaianku sebagi wanita” ujar dokter Wulan sambil mengedipkan satu matanya.
“Benar, Mas Al memang wangi” Kejora turut menimpali, tak tahan untuk terus bungkam. “Waktu itu, parfumnya sempet kecium dan emang Mas Al wangi” lanjutnya.
“Berarti kita sepaket” balas dokter Wulan. “Eh, sepaham maksudnya.”
“Ih dokter Wulan mau paket-paketan aja. Emangnya belanja onlen?” ejek Almeera dengan bibir mencebik.
“Ehm…” Bintang berdehem. “Sepertinya Mas Al yang ini punya banyak penggemar juga, kayak Mas Al yang diperebutin sama si Bibi di rumah.”
Selesai dengan terapi dengan dokter Wulan, Almeera dan dua pengawal setianya bergegas pulang. Alasannya hanya satu, mereka harus menjauh dari keramaian sebelum Almeera kembali melakukan kegilaan seperti menerjang pria-pria asing di jalanan.
Sepanjang perjalanan pulang, satu-satunya yang ditatap oleh Almeera adalah layar ponselnya. Seolah-olah ada yang begitu penting dan tak ingin ia lewatkan dari benda pipih itu. Menunggu panggilan Alroy misalnya. Padahal pria itu mengatakan baru akan menghubunginya saat malam, sementara ini bahkan belum tengah hari.
Bintang yang saat itu mengemudikan mobil menyenggol lengan Kejora dan dengan sedikit kode di ujung matanya, Kejora mampu memahami apa maksud saudara sepupunya itu.
“Nona pasti menunggu telponnya Mas Al, kan?” tanya Kejora sambil tersipu.
“TIDAK!!” bantah Almeera dengan tegas.
Ia buru-buru memasukkan ponselnya ke dalam tas untuk menegaskan bahwa ia tak menunggu panggilan siapapun, termasuk Alroy.
“Masa sih?” goda Bintang. “Seandainya itu HP bisa ngomong, HP nya yang bakalan ngaku” ejek Bintang lagi.
“SUDAH KUBILANG TIDAK!! AKU TIDAK MENUNGGU TELPONNYA. TIDAK!!!” teriak Almeera dengan lantang hingga terpaksa dua saudara sepupu itu mengusap-usap telinganya agar selamat dari ketulian mendadak.
“Baiklah… baiklah” ujar Bintang dan Kejora dengan kompak.
“Sudah kubilang tid…” ucapannya Almeera terhenti saat terdengar notifikasi chat dari ponselnya.
Hanya butuh sepersekian detik untuk Almeera membuka tasnya, merogoh isinya, dan mengeluarkan benda itu.
“SIAL!!” Almeera meremas ponselnya untuk beberapa detik sebelum melempar benda itu ke dalam tasnya.
Jauh dari ekspektasinya karena chat yang masuk hanyalah chat dari operator. Bukan chat dari pria yang mengaku bekerja sebagai kuli bangunan di Las Vegas itu.
****
Jika Almeera menghabiskan harinya dengan menemui dokter Wulan, maka berbeda dengan Alroy yang harus melewati hari yang melelahkan di kamp militer Angkatan Udara di Las Vegas. Beragam alat-alat kemiliteran khas Angkatan Udara ditunjukkan oleh pihak AU Amerika, termasuk jet keluaran terbaru mereka.
Hari ini ia mendapatkan kesempatan emas untuk mencoba salah satu jet tempur kebanggaan Amerika. Tentunya mencoba dengan tangannya sendiri, karena Alroy menjadi pilotnya. Dalam hati ia berujar pelan sebelum menerbangkan jet itu.
Semoga tak ada kekacauan lagi.
Kumohon fokuslah, Alroy.
Terlalu menyedihkan jika Kak Ros harus datang dan menyeretku pulang sambil ia mengomel.
Setelah meyakinkan dirinya sendiri, dengan mengikuti prosedur penerbangan dari pusat control, perlahan jet tempur itu bergerak maju sebelum terangkat sedikit demi sedikit dan membelah langit Amerika.
Tangannya bergerak lincah mengatur kestabilan jet tempur tersebut. Alroy bertekad dalam hati, ia masih ingin bertahan di militer.
Terdengar sebuah bisikan lembut di telinga Alroy, bisikan yang mengantarkan sebuah senyum di bibir pria itu.
‘Semangat Al, apapun pekerjaanmu kamu harus semangat’ suara Almeera terdengar mengalun dengan indah dalam benak Alroy. Teringat bagaimana wanita itu menyemangatinya dalam panggilan video call semalam.
Usai pelatihannya berakhir di sore hari, saat malam tiba adalah saat yang paling dinanti-nantikan oleh Alroy. Sejak kembali ke barak tentara, Alroy sudah berulang kali mengecek ponselnya.
“Ah…” Alroy berdiri, meninggalkan tempat tidurnya. “Bodo amat” ucapnya dengan tak sabaran, ia memilih menghubungi Almeera sesegera mungkin.
Butuh waktu beberapa saat sebelum panggilan video call Alroy dijawab oleh Almeera. Suara heboh Almeera langsung terdengar begitu ia muncul di sambungan video call. Yang entah kenapa, suara Almeera pun tak ingin Alroy bagi, bahkan kepada angin ataupun kepada tembok bisu sekalipun.
“Tunggu dulu” ucap Alroy, ia berlari masuk lalu meletakkan ponselnya di atas meja.
Sementara itu, ia langsung mengubek-ubek isi lemarinya mencari earphone yang sayangnya tak ada. Alroy menggerutu dalam hati hingga ujung matanya melihat headset pilot yang ia pakai saat di penerbangan dengan jet tempur tadi siang.
Mungkin ini bisa membantu.
Alroy meraih headset tersebut lalu menyambungkannya ke ponselnya. Selanjutnya, ia melompat ke tempat tidur dalam posisi berbaring menyamping dengan satu tangan yang ia gunakan sebagai penyangga kepalanya.
“Kamu abis kerja yah?” tanya Almeera yang disambut anggukan kecil oleh Alroy. “Pasti capek yah” sambung Almeera lagi.
“Ya gitulah, kan kerja berat. Tiap hari harus pake tenaga, makanya capek” balas Alroy sambil tersenyum.
“Oh ya, itu lucu” tunjuk Almeera melalui sambungan video call, seolah-olah ia menunjuk langsung headset yang dipakai oleh Alroy. “Jadi pengen punya juga, biar kayak pilot di pelem-pelem, kayaknya keren” ucap Almeera dengan bersemangat.
“Kamu mau punya headset begini?” Alroy bertanya sambil tangannya yang tadi menyangga kepala ia gunakan untuk menunjuk benda yang terpasang di kedua telinganya.
“Hmm…” Almeera mengangguk cepat.
“Aku punya banyak, nanti saat pulang aku akan memberimu satu.”
“Benarkah?” tanya Almeera lagi, suaranya makin nyaring karena saking bersemangatnya. “Kapan kamu pulang?”
Alroy mengangkat tangannya ke arah layar ponselnya, menunjukkan 5 jarinya pada Almeera.
“5 bulan?” tanya Almeera dengan suara lirih, agak kecewa kedengarannya.
“5 hari lag…” bahkan sebelum Alroy benar-benar selesai dengan ucapannya, wajah Almeera sudah berbinar-binar senang. “Kamu seneng aku bakalan pulang?”
Almeera menyengir, “Iya, kan nunggu oleh-oleh headset dari Las Vegas” kilahnya.
Percakapan mengalir dengan lancar, sesekali mereka saling tertawa. Kali ini percakapannya tak seserius kemarin saat mereka saling menceritakan keanehan masing-masing. Tapi, kali ini hanya percakapan biasa, sesuatu yang sederhana tapi entah kenapa jadi begitu berkesan. Seperti ketika Alroy tiba-tiba mengingatkan Almeera untuk makan siang atau Almeera yang bertanya balik apa menu makan malam Alroy hari ini.
Dan ini mungkin hari ketika keduanya mulai mengakui dalam diri masing-masing bahwa sesuatu mengikat mereka. Ah tidak, jauh sebelum itu. Karena mereka telah terikat bahkan sejak di kehidupan sebelumnya. Bahkan saat mereka lahir dengan nama dan latar belakang yang berbeda di kehidupan yang lalu, takdir telah menyatukan mereka.
“Al…” panggil Almeera.
“Hmm…” balas Alroy sambil ia memandangi wajah itu dengan lekat.
“Bukankah kau harus beristirahat? Besok kau harus bekerja lagi, kan?”
“Hmm…” jawab Alroy. Sesuatu terpikir dalam benaknya. Tapi, ia sedikit enggan untuk mengutarakannya.
“Selamat tidur, semoga mimpi in…” Almeera memotong ucapannya. “Tidak, semoga malam ini kau tidak bermimpi, kuharap kau tidur dengan nyenyak.”
Alroy mengangguk kecil, “Bolehkah aku meminta sesuatu?” tanyanya dengan ragu.
“Apa?”
“Bisakah kau tidak mematikan sambungan video call-nya hingga aku tertidur?”
“Baiklah, tidurlah yang nyenyak.”
Setelah itu, tak ada yang bersuara. Mereka hanya saling berpandangan, saling tersenyum sesekali. Saling menelisik wajah masing-masing dan saling menyampaikan rindu melalui diamnya. Hingga suara hembusan nafas Alroy terdengar teratur di saat kedua kelopak matanya terpejam.
“Good night” bisik Almeera dengan lembut.
Bahkan saat Alroy sudah tak merespon ucapannya lagi, Almeera masih betah memandangi wajah pria itu. Tangannya bahkan terulur menyentuh layar ponselnya, seolah-olah yang ia sentuh adalah wajah Alroy.
“Ih, kalo headset-nya gak dilepasin tar kepalanya sakit” Almeera mengomel sendiri dengan suara pelan. “Nanti bisa pegel kepalanya, mana gak pake bantal lagi. Nanti tangannya yang jadi bantal juga pegel. Kalo pegel kan kasian, padahal besok dia harus kerja. Mana dia kerjanya berat lagi, harus pake tenaga.”
Tangan Almeera berkali-kali terulur untuk menjangkau headset yang masih melekat di kepala Alroy, hendak melepas benda itu agar Alroy bisa tertidur dengan nyaman. Namun, apalah daya jika mereka dipisahkan jarak antar negara. Hanya sambungan benda canggih itu yang mempertemukan.
“Ih, jadi pengen ke Las Vegas buat lepasin headset-nya” gerutu Almeera.
“Ih susah banget sih.”
“Al, bangun dulu. Lepasin dulu headset-nya. Terus lanjut bobok lagi” ujar Almeera dengan suara pelan.
“Ini kalo aku teriakin dia bangun gak sih?” tanya Almeera pada diri sendiri.
Sementara itu, di barak kamp militer Angkatan Udara di Las Vegas, Alroy yang meski matanya terpejam mendengar semua omelan Almeera. Mendengar bagaimana wanita itu begitu memperhatikannya, dan yah harus ia akui jika perhatian kecil seperti itu cukup untuk membuatnya merasa berharga.
Alroy membuka matanya perlahan, dua bola matanya langsung bertatapan dengan mata Almeera. Dan di detik itu hanya jeritan yang ia dengar.
“AAAKKHHH!!!”
Mengetahui Alroy yang ternyata belum tertidur membuat Almeera terlonjak dari duduknya, ponselnya bahkan sampai terjatuh.
“Aku sudah melepasnya” ujar Alroy sambil meletakkan headset penerbangan yang ia pakai sebelumnya. “Apakah aku bisa tidur sekarang?” tanyanya dengan senyum menggoda Almeera.
Tapi jangankan untuk menjawab, memungut ponselnya saja Almeera tak berani. Terlalu malu untuk menunjukkan wajahnya yang memerah pada Alroy. Karena itu, ia bahkan jauh-jauh dari ponselnya, seolah ia sedang menjaga jarak dari Alroy.
“Bisakah kau mengucapkan selamat malam lagi untukku?” pinta Alroy, ia hanya melihat langit-langit kamar Almeera sementara sang pemilik ponsel entah kabur kemana. “Kau masih di sana?” tanya Alroy lagi.
“Iya, selamat malam dan tidurlah” balas Almeera dengan cepat lalu mematikan sambungan video call dengan terburu-buru.
Almeera menatap nanar ponselnya sambil merutuki diri, ia bakan sampai menjambak rambut panjangnya beberapa kali. Jantungnya memburu dengan cepat seperti maling yang dikejar gara-gara ketahuan mencuri. (Iya, mencuri hati si Alroy).
.
.
.
Note:
Btw, kalau ada yang penasaran apa aviation headset atau headset penerbangan bisa disambungkan di HP. Berdasarkan olah TKP yang dilakukan otornya di Youtube sih bisa. Beberapa tipe aviation headset punya sambungan ke HP. Jadi, kalau ada yang baca ini dan merasa apa yang otornya tulis di chapter ini keliru, silahkan berikan kritik dan sarannya di kolom komentar. Santuyy aja yah, otornya menerima kritikan dan saran dengan welcome.
Cintahh aja diterima masa kritikan dan saran gak, hahhahhahahha otornya lari kemana lagi ini.