Note:
Chapter ini kuwarning lebih dulu yah. Bukan warning mengenai adegan panas atau hal-hal aneh. Tapi, chapter ini narasinya akan lumayan padat yang membahas tentang militer. Chapter ini juga akan membahas bagaimana kondisi dan krisis yang dialami Alroy. Jadi, sebaiknya tetap dibaca biar paham dengan alur n****+ ini. Semoga yang baca dan kalau ada yang baca tidak tidur atau kabur di chapter ini.
.
.
.
Dengan seragam biru loreng, ditambah lambang pangkat yang melekat di kedua pundaknya, serta atribut-atribut kemiliteran di seragamnya, pria itu melangkah dengan tergesa-gesa menuju ruangan atasannya. Bunyi ketukan boots yang dipakainya membuat beberapa anggota militer lain menoleh kepadanya. Beberapa pria memberikan penghormatan pada Alroy yang dibalas penghormatan terburu-buru olehnya.
Sampai juga akhirnya Alroy di depan ruangan atasannya, salah satu petinggi di TNI Angkatan Udara. Ia mengetuk pintu kokoh itu hingga terdengar sang pemilik ruangan mempersilahkannya masuk.
Alroy mengangkat tangan kanannya membentuk posisi penghormatan kepada atasannya itu. Pria berusia sekitaran 45 tahun itu menatap geram pada Alroy. Ia sudah memanggilnya sejak tadi pagi, dan baru jam setengah 10 Alroy menghadap padanya.
“Benar-benar ingin berhenti dari militer?” sembur pria itu.
Pria yang di masing-masing pundaknya telah tersemat dua bintang itu berdiri, mendekati Alroy yang dalam posisi tegap.
“Duduklah!” perintahnya sambil ia duduk di sofa.
Alroy menunduk sesaat lalu ikut duduk di sofa.
“Bagaimana terapimu?” tanya Marsekal Muda Priyoga pada Alroy.
Marsekal Muda Priyoga mungkin memang menganakemaskan Alroy dibandingkan bawahannya yang lain. Meski Alroy kerap kali melakukan kesalahan dan beberapa pekerjaannya berantakan, Marsekal Muda Priyoga berulang kali menutup-nutupinya sehingga Alroy sampai saat ini belum diberhentikan secara tidak hormat dari militer.
Sebenarnya bukan tanpa alasan Alroy melakukan kesalahan, tapi karena mimpi-mimpi anehnya selama 7 tahun belakangan ini sangat mengganggu kehidupan pribadi dan juga tanggung jawabnya sebagai anggota militer. Sebelum mengalami mimpi-mimpi aneh itu, Alroy adalah tentara yang sangat kompeten dan terbilang menjadi panutan di angkatannya.
Karena itulah, Marsekal Muda Priyoga menganakemaskannya. Karena ia bisa melihat bagaimana potensi yang dimiliki Alroy. Tapi sayangnya beberapa tahun terakhir ini, Alroy makin sering melakukan kesalahan.
“Dengarkan aku baik-baik” pria itu bersuara yang membuat Alroy menatap matanya. “Saat rapat dengan atasan, mereka bahkan sudah membahas tentang pemberhentianmu.”
Alroy menelan ludahnya. Ia sudah berkali-kali diperingati oleh Marsekal Muda Priyoga tentang hal ini. Tapi, sampai detik ini ia tak mendapatkan jawaban bagaimana cara menyembuhkan diri.
“Apa karirku di militer benar-benar akan berakhir?” tanya Alroy dengan gusar.
Perjuangannya masuk di militer bukan sehari dua hari. Sudah hampir 12 tahun ia berkecimpung di dunia militer. Memulai dari pangkat biasa hingga ia berpangkat kapten saat ini. Dan tentunya perjuangan panjang itu akan menjadi pukulan berat baginya jika ia sampai diberhentikan dari militer, apalagi jika sampai diberhentikan secara tidak hormat.
“Mereka sepakat memberikanmu kesempatan terakhir” ucap Marsekal Muda Priyoga. “Bersiaplah, ini benar-benar kesempatan terakhirmu. Jika kau mengacaukannya, aku sendiri yang akan menyeretmu pulang.”
Alroy menghela nafas lega. Namun, ia terbebani juga. Ia tak mau membayangkan jika sampai ia diberhentikan dari militer.
“Mereka menyetujui kau berangkat ke Nellis Air Force Base di Amerika untuk pelatihan. Jika semuanya berjalan lancar, bukan hanya pemecatanmu yang ditangguhkan. Kau bisa mendapatkan promosi di tahun berikutnya.”
Alroy berdiri dari sofa, satu tangannya naik membentuk tanda penghormatan. Marsekal Muda Priyoga juga ikut berdiri, membalas penghormatan Alroy.
“Terima kasih” ucap Alroy dengan lantang.
“Berterima kasihlah jika kau bisa naik pangkat tahun depan. Aku benar-benar ingin melihatmu lebih lama di militer.”
“SIAP!” jawab Alroy dengan mantap.
****
Persiapan keberangkatan telah selesai, pakaian dan kebutuhan pribadinya telah masuk ke dalam tas ransel besar bermotif loreng itu.
“Kupikir kau dipecat” seru seorang pria sambil menepuk pundak Alroy.
“Apa kau kecewa karena aku tidak dipecat?” tanya Alroy dengan sarkas.
“Yah, kurang lebih seperti itulah. Artinya aku masih harus bersaing denganmu untuk naik pangkat.”
“Sayang sekali, aku selalu menjadi batu sandunganmu” ucap Alroy sambil menaikkan tas ransel itu ke punggungnya.
Dua orang itu adalah Upin dan Ipin di TNI AU. Bukan karena mereka kembar, tapi karena tak bisa dipisahkan. Dua-duanya masuk di TNI AU di angkatan yang sama. Memulai karir dari nol bersama-sama.
Terkadang mereka berbicara dengan cara yang terlalu sarkas bagi orang lain, tapi begitulah cara mereka. Mereka selalu punya cara untuk berkomunikasi dengan cara mereka sendiri. Yang terkadang tak dimengerti oleh anggota militer lain.
Jika Alroy adalah Ipin di TNI AU, maka Tama adalah Upin. Bukan karena siapa yang lahir lebih dulu, tapi Tama bersikeras jika dirinya adalah Upin. Seolah ingin menegaskan bahwa ia lebih senior dari Alroy, bukan soal pangkat tapi soal wanita.
“Oh ya, kau sudah bertemu dengan gadis itu?” Tama bertanya sesaat sebelum mereka melakukan upcara pelepasan sebelum keberangkatan ke kamp militer Amerika.
Alroy menghela nafas panjang. “Bertemu sih, tapi tidak menghasilkan apa-apa.”
“Lantas bagaimana dengan Kak Ros huh?” Tama menyikut Alroy.
“Kak Ros mengatakan padaku bahwa pelatihan di kamp militer Amerika adalah kesempatan terakhirku” ujarnya dengan gusar. “Ah… Kuharap aku tidak melakukan kekacauan lagi kali ini.”
Kak Ros adalah julukan yang Alroy dan Tama berikan untuk Marsekal Muda Priyoga. Pria berusia 45 tahun itu dijuluki Kak Ros karena terlalu sering mengomeli Upin dan Ipin di TNI AU. Tapi, seperti Kak Ros di serial kartun itu, Kak Ros kebanggaan TNI AU menyayangi dua bawahannya itu.
Kemarahan dan omelan Kak Ros kepada Upin dan Ipin persis seperti cara Marsekal Muda Priyoga memperlakukan Alroy. Tapi, di balik kemarahannya ia selalu melindungi Alroy dengan caranya sendiri. Seperti memastikan jika Alroy tidak dipecat dari militer setelah rangkaian kekacauan yang dilakukan Alroy selama beberapa tahun terakhir.
Usai pelaksanaan upacara pelepasan, belasan anggota militer yang ditugaskan untuk mengikuti pelatihan di kamp militer Angkatan Udara Amerika Serikat berangkat dengan pesawat milik TNI AU.
Alroy duduk bersebelahan dengan Tama, ia sedikit gusar mengingat kesempatan terakhirnya di militer. Entah kekacauan apa lagi yang akan ia buat di Amerika. Masih terekam jelas dalam ingatannya saat ia membuat kekacauan saat bertugas untuk melatih para taruna baru TNI AU dua bulan yang lalu. Ia justru memberikan instruksi yang salah dan membuat puluhan taruna baru itu hampir mati.
“Sebenarnya aku sedikit menunggu sesuatu yang spesial di Amerika” suara Tama memecah keheningan. Membuat beberapa pasang mata menatap penasaran padanya, kecuali Alroy yang terpekur dalam diamnya.
“Sesuatu yang spesial?” seorang anggota militer bertanya.
“Ya, seperti melihat seseorang membuat kekacauan besar” ucapnya sambil tertawa lalu melirik Alroy yang menunduk dalam keadaan gelisah.
“Ah jangan membuat kekacauan di Amerika sana, Kapten Alroy.” Pria itu tersenyum mengejek. “Kita mungkin akan ditembak mati oleh bule loreng itu.” Salah satu anggota militer yang kerap kali bersiteru dengan Alroy, Chandra nama pria itu, berada setingkat di bawah pangkat Alroy.
Alroy mengangkat wajahnya, ia menatap pria itu. “Kau pikir aku sedang melucu?” tanyanya dengan geram. “Perhatikan kesopananmu, aku masih atasanmu.”
Hening, suasananya mendadak canggung.
Tama merutuki mulutnya yang kadang tak bisa diajak bekerja sama. Gara-gara niatnya untuk bercanda malah jadi secanggung ini. Padahal ia aslinya hanya ingin menghibur Alroy yang terlalu gelisah.
****
Satu hari berlalu sejak Alroy dan anggota militer lainnya tiba di kamp militer Angkatan Udara Amerika Serikat. Serangkaian pelatihan mereka jalani dari pagi hingga sore. Dan saat malam tiba, Alroy dan Tama memilih untuk mencari penghiburan di salah satu sudut kota Las Vegas, Amerika.
Bangunan megah Nellis Air Force Base, yang merupakan kamp militer Angkatan Udara Amerika itu telah mereka tinggalkan. Tujuan mereka malam ini adalah menghibur diri atau sekedar melepas penat di salah satu bar yang tak jauh dari tempat itu.
“Bagaimana jika sebenarnya yang kau butuhkan adalah…” Tama menjeda ucapannya, ia sedikit menggosok bagian dagunya yang baru saja ia cukur rapi.
“Apa?” Alroy menimpali.
Tama menatap Alroy dengan seksama, mulai dari ujung kepala turun hingga ke ujung kaki, lalu arah pandangannya naik lagi dan berhenti di bagian s*langkangan pria itu.
Alroy yang melihat tatapan Tama merasa terintimidasi, karena itu ia mendorong tubuh Tama lalu masuk ke dalam bar.
“Bagaimana jika sebenarnya yang kau butuhkan adalah menikah?” tanya Tama, ia melangkah dengan lebar untuk mendahului Alroy, lalu kembali menatap area terlarang sahabatnya itu. “Kali aja abis nikah, kau tidak memimpikan gadis itu lagi. Yah, karena sudah ada yang menjinakkan liarnya fantasi dan mimpi-mimpimu.”
Tama sedikit tertawa lalu mengambil tempat duduk, ia memesan dua gelas Moscow Mule.
“Sepertinya kau kurang pelampiasan?” Tama menyenggol lengan alroy. “Kemana pacar Korea-mu itu? Sepertinya kau jarang menemuinya lagi.”
“Ck…” Alroy mendecak kesal. “Lupakan saja.”
“Perlu kucarikan calon istri?” Tama menawarkan bantuan. “Yang semok huh? Atau yang polos? Atau yang liar dan berpengalaman?” tanyanya dengan antusias.
Lama-lama Alroy kesal juga, ia menatap Tama dengan tajam. Berusaha mengatakan melalui tatapan matanya bahwa ia tak ingin direcoki pertanyaan tentang pernikahan. Namun, entah bagaimanapun tajamnya tatapan mata Alroy, Tama tetap tak peduli.
“Hei, aku benar-benar serius. Kau sudah cukup tua untuk terus melajang” Tama berhenti sejenak. Ia meneguk minuman yang baru saja diletakkan di hadapannya. “Ah, rasanya menakjubkan.”
“Apanya? Menikah atau minumannya?” Alroy membalas, sedikit penasaran dengan kata menakjubkan yang dimaksud oleh Tama.
Tama tertawa pelan, “Dua-duanya.”
Berbeda dengan Alroy yang betah melajang hingga di usianya yang sudah 30 tahun, Tama justru menikah muda. Anak pertamanya bahkan sudah masuk Sekolah Dasar, sementara anak keduanya sudah berusia 3 tahun. Ah, belum lagi Zeline, istrinya yang saat ini sedang hamil 3 bulan.
“Makanya menikahlah, penyakit anehmu itu sepertinya butuh disembuhkan wanita.” Mata Tama memicing, kembali ia melirik bagian s*langkangan Alroy lalu tertawa mengejek. “Penyakitmu itu jangan-jangan karena kurang elusan” ia tertawa dengan keras, sementara Alroy meneguk Moscow Mule itu hingga setengah gelas.
****