Bu Elisa datang sejak pagi, untuk mengantarkan sarapan dan menemani Troy bermain. Daya menyadari kekhawatiran bu Elisa mengenai status dan permasalahan yang mengikuti dirinya. Tentu saja, siapa pula yang mau menjadikan seseorang yang sedang dalam perlindungan saksi untuk menjadi pengasuh cucunya? Resiko dikejar oleh para kriminal, sudah jelas membayangi malam – malam bu Elisa. Namun beliau tetap percaya akan keputusan putranya yang memperkerjakan Daya.
"Sebenarnya saya ingin menginap, tapi bapak di rumah sendirian nanti. Adiknya Ezra sedang pergi." Bu Elisa memandangi wajah Troy yang sedang asyik menonton film kartun di televisi.
"Enggak apa – apa Bu. Saya janji tidak akan kemana – mana. Lagipula di depan sana, ada dua orang petugas yang akan melindungi saya dan Troy." Daya mencoba menghapus kekhawatiran wanita paruh baya itu.
"Ponsel saya sedia dua puluh empat jam. Kalau ada apa – apa, telepon ya Daya."
Daya mengangguk dan mengusap lengan kanan bu Elisa. Meyakinkannya.
"Bu Desi, saya pulang ya Bu!" Pamit bu Elisa pada asisten rumah tangga Ezra.
"Iya Eyang. Hati – hati di jalan. Pelan – pelan saja nyetirnya." Bu Desi tergopoh – gopoh menghampiri bu Elisa.
Setelah mencium Troy dan berjanji akan main lagi bersamanya lain hari. Elisa pamit pada Daya yang mengantarkan hingga ibu majikannya itu naik ke dalam mobil.
"Troy, mandi dulu yuk!" Ajak Daya, melihat Troy yang sekarang berbaring di depan tv.
Anak itu bergeming, tidak menanggapi panggilan pengasuhnya. Matanya fokus melihat tayangan di layar kaca.
"Trooyy," panggil Daya lagi.
"Nanti Kak!" Jawabnya, tanpa mengalihkan pandangan dari sana.
"Kalau gitu, Kak Daya mandi duluan ya. Nanti habis itu Troy ya." Tawar Daya, Troy mengangguk cepat. "Bu, belum mau pulang kan?"
Daya bertanya pada bu Desi yang tengah mencuci peralatan memasak.
"Belum. Kenapa?"
"Titip Troy sebentar. Aku mau mandi."
"Oh iya mandi lah, Troy sih anteng kalau udah nonton."
Daya tersenyum dan berlalu ke dalam kamarnya untuk membersihkan diri.
***
Daya menyadari dirinya tertidur saat sedang membacakan cerita untuk Troy. Anak asuhannya itu kini telah terlelap dalam pelukan Daya. Tekanan dalam kantung kemihnya, membuat Daya perlahan beranjak dari sisi Troy untuk menuntaskan hajatnya buang air kecil.
Begitu keluar dari kamar mandi, Daya menyadari suara musik yang mengalun pelan dari luar kamar Troy.
Apakah pak Ezra sudah kembali? Pikir Daya.
Dibukanya perlahan pintu kamar Troy dan menghampiri sumber dari suara musik yang berputar. Di ruangan olahraga, Daya melihat Ezra tengah berlari di atas treadmil miliknya. Pria itu bahkan hanya mengenakan celana pendek saja, tanpa baju yang membuat otot – otot punggungnya terlihat bergerak mengiringi gerakannya.
Tanpa disadari, Daya menelan liurnya sendiri.
Ia berbalik dengan canggung untuk kembali ke dalam kamarnya, namun menabrak guci besar yang berisi payung dan beberapa mainan Troy. Dengan cepat, tangannya menangkap guci mahal itu sebelum jatuh dan menghancurkannya. Namun, beberapa benda jatuh berantakan karena senggolan tadi.
Di atas treadmil, Ezra menurunkan speed dan menoleh ke tempat di mana dia mendengar suara ribut.
"Hai Daya! Suara musik saya enggak bikin kamu bangun kan?" Sapa Ezra dengan ramah.
Daya urung masuk ke dalam kamarnya dan menggeleng gugup.
"Enggak Pak. Saya memang terbangun karena ingin ke kamar kecil."
Ezra turun dari alat olahraganya, mengambil handuk kecil yang ia sampirkan di alat lain dan mengelap wajahnya yang banjir oleh keringat. Menghampiri Daya, Ezra minta dibuatkan segelas teh.
"Gimana Troy hari ini?" Adalah kalimat tanya pembuka Ezra ketika dirinya menempelkan b****g di salah satu kursi ruang makan miliknya.
Daya menceritakan mengenai aktifitas Troy sejak bangun pagi hingga tidur. Sesekali memuji kebaikan Troy yang membuang bungkus eskrimnya ke tempat sampah ketika melihat bapak tua penyapu jalan kelelahan. Juga celoteh polos dari bibir kecilnya yang berempati terhadap bapak tersebut.
"Bapaknya capek, Kak. Kita belikan minum enggak ya? Eh dia sudah punya minum Kak."
Ezra tersenyum mendengar cerita Daya. Ya memang Troy sepeka itu dengan keadaan orang lain di sekitarnya. Troy bahkan pernah memecahkan celengannya sendiri saat bu Desi bercerita sambil menangis pada Ezra tentang anaknya yang harus dioperasi dan tidak memiliki biaya. Dengan wajah polosnya, Troy mengatakan bahwa bu Desi boleh membawa semua tabungannya.
Ezra bangga pada Troy dan selalu mengucap syukur karena telah mengambil pilihan terbaik dengan membawa Troy bersamanya. Daya selalu ingin tahu, tentang alasan Ezra mau membesarkan Troy. Hingga diberanikan dirinya untuk bertanya pada Ezra. Alasannya ingin tetap Troy dilahirkan dan bahkan meminta pada ibu kandungnya untuk mengurus Troy sendirian, alih – alih memaksa menikahi kekasihnya itu. Dan jawaban Ezra membuat hati Daya bergetar hangat,
"bagi saya Ya, meski dengan cara yang salah, Troy tetap anugrah dari Tuhan. Bahwa saya diberikan keturunan, seseorang yang akan meneruskan nama saya dan keluarga. Troy juga hadiah pengganti, dari hancurnya hubungan saya dengan ibu kandungnya. Saya sangat mencintai perempuan itu hingga keputusannya yang benar – benar membuat hati saya remuk, ketika dia berniat untuk menggugurkan kandungannya. Lucu memang, di beberapa kasus, laki – laki lah yang pergi untuk menghindari tanggung jawab. Tapi dalam kasus saya, saya lah yang memohon padanya untuk menikah dan mempertahankan Troy. Tujuh bulan sejak kami tahu bahwa dia mengandung dan berniat menggugurkannya, selama tujuh bulan itu saya menahan benci dan bersabar mendampingi dia hingga Troy lahir. Bahkan ketika dia merasakan sakitnya melahirkan, naluri keibuan tidak juga hadir di hatinya. Saat itu pula saya yakin, bahwa hubungan kami benar – benar sulit dipertahankan. Bagaimana bisa saya membangun keluarga dengan wanita yang tak memiliki jiwa ibu di hatinya? Bagi dia, karirnya lah yang terpenting. Suami dan anak hanya akan merusak karir cemerlangnya. Saya kembali ke tanah air dan membawa Troy ke rumah. Dan sedikitpun, saya tidak pernah menyesal telah mempertahankannya."
Daya ingin menggenggam lengan Ezra, namun ditahannya. Di satu sisi Daya iri pada Troy, seandainya dia memiliki ayah seperti Ezra yang akan mempertahankan dan membesarkannya seorang diri. Mungkin Daya tidak perlu terlibat dengan Boy dan semua ide jahatnya.
Ezra kembali menceritakan tentang kebaikan – kebaikan Troy yang lain. Sekuat tenaga, Daya berusaha fokus pada wajah tampan Ezra. Bukan d**a bidangnya yang kini terpampang jelas di seberang meja. Titik keringat yang membasahi tubuh pria itu, membuat Daya semakin ingin masuk ke dalam kamarnya dan menjauh dari pesona Ezra yang sulit ditolak.
Wajah tampan, tubuh bagus, hati yang baik juga aura kebapakan yang menguar begitu sulit untuk diabaikan oleh Daya. Dia sadar, pesona Ezra berbahaya. Setidaknya, bagi jantung Daya yang kini bertalu – bertalu kencang hanya karena senyum Ezra melebar ketika menceritakan tentang putranya.
"Mm-mmaaf Pak, jika tidak keberatan. Saya ingin istirahat duluan." Daya memberanikan diri berdiri dan pamit pada Ezra yang masih bersandar pada kursi.
"Oh iya, ya ampun maaf ya Daya. Saya terlalu excited kalau bahas tentang Troy."
Ezra ikut berdiri, membuat Daya menahan napas beberapa jenak, ketika matanya tanpa sengaja memandangi tubuh Ezra yang shirtless dengan kurang ajar. Ezra yang menyadari hal itu, spontan melipat lengan di depan d**a dan mempersilakan Daya untuk kembali ke dalam kamarnya.
Di balik pintu kamar, Daya menghembuskan napas yang sedari tadi ditahannya. Dan menenangkan detak jantung yang masih berdetak keras.
Sepasang anak manusia itu sama – sama tahu, atmosfer canggung terasa di antara mereka berdua sejak pandangan Daya tanpa sengaja jatuh pada d**a telanjang Ezra.
•••