Aura canggung itu berlangsung hingga ke pagi hari. Daya yang sedang membantu Troy mempersiapkan diri untuk berangkat sekolah, sedikit gugup ketika mendapati Ezra duduk di sofa ruang tamu sambil meminum segelas kopi. Troy yang baru melihat ayahnya, serta merta berlari menghampiri. Membuat Daya yang sedang membantu menyisir rambut anak itu, ikut mengejar Troy.
"Ayaaahhh." Troy menghambur ke pangkuan Ezra yang tampak rindu dengan anak semata wayangnya.
"Ehh kamu lari – larian, disisir dulu rambutnya dengan kak Daya."
Meski bicara begitu, Ezra tetap mengangkat Troy duduk di pangkuannya.
"Ayah pulang kapan? Aku kok enggak lihat." Troy mengabaikan kata – kata Ezra.
"Semalam. Ayah pulang, Troy sudah tidur."
"Aku tidur sama kak Daya tahu!" Pamer Troy, seolah itu adalah hal yang membanggakan.
"Iya. Ayah tahu." Jawab Ezra dan meminta sisir pada Daya untuk melanjutkan yang sedang Daya lakukan sebelum Troy berlari menghampiri ayahnya.
Malam tadi, memang Ezra sempat masuk ke dalam kamar anaknya untuk melepas kangen setelah pergi selama beberapa hari. Namun diurungkannya ketika melihat Daya turut terlelap sambil memeluk Troy.
"Emang Ayah lihat?"
Ezra tersenyum menanggapi dan mencium puncak kepala Troy dengan gemas.
"Sudah rapi. Sarapan dulu yuk!"
Daya yang berdiri gugup, dengan cepat berbalik dan menuju meja makan. Sementara di belakangnya, Ezra menggendong Troy mengikuti langkahnya. Troy sedang bercerita tentang kegiatan di sekolah dan teman – temannya, juga menceritakan apa pun yang dia lihat selama pergi dan pulang sekolah dengan Daya.
"Kalau sama kak Daya aku naik motor di depan. Kalau sama mbak Devi, aku mah naik ojek sama angkot. Aku enggak suka naik angkot tahu Yah. Bau asap sampah."
Ezra terkekeh menanggapi cerita Troy. Tahu yang dimaksud Troy adalah asap rokok penumpang lain. Ezra memang tidak pernah merokok di depan Troy, untuk menghindari pertanyaan – pertanyaan penasaran dari bibir kecil putra kesayangannya.
"Kemarin Farrel ulang tahun Yah, aku enggak bawa kado. Terus dibelikan sama kak Daya ya Kak?" Daya mengangguk sambil tersenyum, dan kembali gugup ketika matanya bersirobok dengan sepasang netra Ezra yang entah mengapa bagi Daya, terasa tajam dan dalam sekarang.
"Beli kado apa?"
Satu hal yang membuat Ezra semakin menarik di mata Daya, respon ayah satu anak itu setiap mendengar cerita Troy adalah, serius dan menanggapi dengan baik. Tidak seperti kebanyakan laki – laki yang enggan menanggapi cerita anak kecil berumur lima tahun. Ezra menganggap semua celoteh Troy sama pentingnya dengan berita Nasional. Bahkan ketika berbicara dengan Troy, dia mampu menghentikan apapun kegiatannya dan benar – benar menatap mata Troy saat bicara. Hal kecil yang disadari Daya berpengaruh besar terhadap penilaiannya untuk Ezra.
"Tadinya—aku mau beli bola, tapi—bolanya habis. Terus, aku beli itu deh, hot wheel dua. Satu buat Farrel, satu buat aku." Ujar Troy dengan gaya khas anak – anak se-usianya.
"Wah, berapa harganya?" Kali ini pertanyaan Ezra ditujukan untuk Daya.
"Tidak sampai tiga ratus ribu kok Pak." Jawab Daya dengan senyum simpul.
"Jangan bilang kamu nombok Ya?" Tanya Ezra lagi, Daya menggaruk belakang telinga.
"Enggak apa – apa kok Pak."
Ezra menegurnya dengan tatapan kemudian beralih ke Troy dan memberi pesan,
"jangan beli jajanan mahal – mahal kalau Ayah lagi enggak di rumah ya! Uang kak Daya nanti habis buat jajanin kamu, Nak."
Troy mengerucutkan bibirnya.
"Aku jajannya sedikit ya Kak. Aku cuma suka beli kinder joy aja yang banyak sama hot wheel yang bagus." Ezra menghela napas pasrah mendengar jawaban Troy dan tersenyum meminta maaf pada Daya.
"Nanti saya tambahkan uang jajan Troy deh kalau begini." Ujar Ezra seraya menunjuk meja makan, mempersilakan Daya untuk sarapan bersama mereka.
***
Daya tahu, sehari – hari berinteraksi dengan Ezra yang perhatian, baik dan memiliki daddy vibes yang sangat terasa sungguh tidak baik bagi hatinya yang telah hancur. Di satu sisi, Daya sadar bahwa Ezra adalah bos yang memberikannya gaji. Namun di sisi lain, kebaikan pria itu membuatnya sulit menolak perasaan yang membuatnya merasa diperhatikan, disayangi bahkan dilindungi. Ezra rutin memeriksa kelayakan cctv di setiap sudut rumah miliknya, memastikan bahwa tidak ada sosok mencurigakan yang hendak mendatangi Daya. Meski Daya tahu, yang dilakukan Ezra semata – mata karena dirinya tengah bekerja sebagai pengasuh anak semata wayang pria itu.
Ditambah lagi, dulu Daya yang hanya mengenal Boy sebagai pria yang dicintai, kini memiliki pandangan lain terhadap pria. Bahwa masih ada sosok seperti Ezra yang memang tulus dan berhati mulia.
"Troy, kak Daya biar istirahat Nak. Troy belajar sama Ayah saja ya." Ezra menghampiri putranya yang tengah menunduk di atas sebuah buku mewarnai dan konsentrasi menggores pensil warnanya pada wajah spiderman yang tertera.
Troy mengangkat wajah menatap Daya.
"Kak Daya ngantuk?"
Daya yang sesungguhnya belum ingin tidur, tersenyum canggung.
"Kak Daya kan sudah seharian jagain Troy. "
Troy menatap ayahnya beberapa saat.
"Kak Daya tidur di kamar aku saja." Ujar Troy.
"Lho kenapa?" Tanya Ezra bingung.
Troy meletakkan pensil warnanya dan bicara serius menatap sang ayah.
"Ac di kamar kak Daya ma—ti. Nanti kak Daya kepanasan." Jawab Troy dengan gaya menasehati.
"Enggak apa – apa kok Troy, Pak. Enggak terlalu panas juga." Daya menolak, merasa sungkan.
"Dari kapan rusaknya?" Tanya Ezra.
Daya menggeleng bingung, "enggak tahu sih Pak. Tahu – tahu enggak terasa apa – apa gitu."
"Hmmm, yasudah Daya tidur di kamar Troy. Biar dia tidur dengan saya." Putus Ezra, tidak ingin dibantah.
Daya mengangguk berterima kasih dan pamit untuk tidur.
Di belakangnya, Daya mendengar celoteh Troy yang polos.
"Aku suka tidur sama kak Daya. Kak Daya wangi, enak dipeluk."
"Memang ayah enggak wangi?"
"Ayah bau asap sampah kadang – kadang. Tapi wangi juga kadang – kadang."
"Kok asap sampah sih?"
"Iyah. Bau asap om – om yang merokok."
"Lho, kamu lihat siapa?"
"Ih banyak om – om merokok. Mulutnya berasap – asap kayak kereta diesel."
"Hahaha."
Daya menutup pintu kamar Troy yang ditempatinya dan tersenyum untuk beberapa alasan yang ia tidak mengerti. Sementara ritme detak jantungnya tak lagi normal setiap Ezra berada di dekatnya. Daya memukul – mukul dadanya ringan, tidak ingin terbang atas sikap baik Ezra selama ini.
Pria itu hanya bosnya. Bos baik yang memperhatikan karyawannya. Itu saja. Daya meyakinkan diri sendiri.
Dan tiba – tiba, ingatan tentang cctv yang menayangkan adegan bosnya dengan seorang wanita, terlintas lagi dalam ingatan Daya. Digelengkan kepalanya dengan cepat demi menghapus ingatan kurang ajar yang menyelinap memasuki benaknya. Namun, suara tawa Ezra yang terdengar di luar sana, membuat hatinya memohon untuk mengagumi pria itu diam – diam.
Ya, diam – diam. Sebab Daya sadar diri, bahwa dirinya tidak akan pernah pantas bersanding dengan Ezra. Bahkan sekedar menyentuh kemungkinan itu, Daya merasa tidak berhak berkhayal apapun tentang bosnya. Pria penyayang yang penuh pesona.
•••