Sekarang kami sudah tinggal di rumah baru tidak begitu jauh dari kontrakan lama kami, hanya saja lebih dekat ke jalan raya tidak perlu memasuki gang sempit seperti dulu.
Rumah ini juga lebih besar dan bagus, ada dua kamar lengkap dengan kasur yang empuk. satu kamar milik Mbak Wida dan Om Alex.
Satu kamar lainnya untuk aku dan Mama.
Di sini juga perabotannya lengkap ada TV besar dan kulkas, dua barang yang sudah lama aku inginkan.
Mama tetap berjualan setiap malam seperti biasanya, hanya Mbak Wida yang sudah jarang membantu Mama di warung.
Apalagi kalau Om Alex pulang, Mbak Wida jarang keluar kamar.
Om Alex memang jarang pulang, hanya dua atau tiga kali seminggu.
Kadang siang hari hanya pulang sebentar, tidur siang terus pergi lagi.
Aku sendiri juga sekarang jarang ke warung Mama sejak Bu Guru menasehatiku, terlebih lagi sekarang aku lebih betah berada di rumah ini, lebih nyaman.
Hari-hariku berlalu seperti biasa, hingga dua tahun sudah berlalu sekarang aku sudah kelas enam sekolah dasar.
Aku masih tetap jadi bahan bully-an teman-teman, hanya saja sekarang aku sudah faham kenapa mereka mengejekku.
Karena pilihan hidup Mama, ya aku tidak bisa menyalahkan Mama atas semua ini, Mama hanya seorang wanita yang harus menghidupi kedua anaknya, walaupun kata orang-orang pekerjaan Mama adalah perkerjaan kotor.
Aku tidak mengerti apa maksud mereka yang aku tahu Mama adalah wanita yang hebat.
Aku masih sering ngobrol sama Bu Indah walau kini beliau bukan lagi wali kelasku tapi beliau selalu memberi nasihatnya yang bijaksana sepulang sekolah atau pada waktu istirahat.
Beliau selalu baik padaku memberi tahuku apa yang baik dan apa yang salah, tapi sepertinya Bu Indah terlalu berlebihan.
Kerena apa yang beliau bilang salah adalah hal yang biasa bagi kami, orang-orang di sekitarku hidup dengan cara yang Bu Indah bilang salah tapi mereka bahkan keluargaku baik-baik saja dan bahagia.
Salah atau benar aku tidak tahu apa bedanya, yang aku tau inilah kehidupan kami.
+++
Hari ini adalah hari Minggu, sejak Sabtu pagi Om Alex sudah pulang.
Tapi keluar kamar hanya untuk makan.
"Dina, Mama sama Mbak Wida mau ke pasar. Om Alex minta dimasakin soto. kamu mau ikut nggak?"
Tanya Mama padaku yang sedang asik menikmati film kartun yang selalu diputar setiap Minggu pagi.
"Enggak, Mah. aku mau nonton TV aja."
"Kamu mau minta dibeliin apa?"
Mbak Wida menimpali.
"Kue pancong aja ya, Mbak."
Jawabku menyebut nama kue kesukaanku.
Lalu berangkatlah Mama dan Mbak Wida kepasar yang jaraknya lumayan jauh dari sini, harus naik angkot atau bajaj baru bisa sampai.
Aku fokus memandang layar televisi saat Om Alex memasuki kamar mandi yang berada di samping dapur.
Beberapa menit kemudian Om Alex keluar hanya dengan handuk melilit bagian bawah tubuhnya.
Aku tetap bergeming tidak memalingkan pandangan dari layar televisi sampai Om Alex memanggilku.
"Dina."
"Iya, Om."
Aku hanya menoleh.
"Kamu bisa bikin kopi? tolong bikinin ya."
"Iya."
Aku melangkah ke dapur dan menyalakan kompor, merebus air untuk menyeduh kopi.
Aku sangat terkejut, bahkan nyaris berteriak saat merasa Om Alex memelukku dari belakang dan meraba pahaku yang sedikit terbuka karena aku memakai rok pendek.
"Aahhkkhh ... Om Alex apa-apaan! jangan kurang ajar sama Dina ya!"
Bentakku memberanikan diri.
"He...he...he... masih kecil udah pinter kamu! cepet gede ya."
Om Alex tertawa lalu masuk ke kamarnya.
Dengan tangan gemetar aku mematikan kompor yang airnya belum mendidih, lalu berlari memasuki kamar dan menguncinya dari dalam.
Aku sangat takut, aku menangis dalam kamar membekap mulutku dengan bantal agar tangisku tidak terdengar keluar, aku malu.
Entah sudah berapa lama, entah sudah sebanyak apa airmata yang tertumpah saat kudengar ketukan di daun pintu.
Tok...tok...tok...
Aku terlalu takut menbukanya, aku takut itu Om Alex.
"Dina buka pintunya."
Suara Mama setengah berteriak.
Aku langsung turun dari tempat tidur, membuka pintu dan berhambur memeluk Mama.
"Eh, Dina. kamu nangis kenapa?"
Aku menarik Mama masuk dan mengunci lagi pintunya.
Lalu dengan sesegukan menceritakan apa yang baru aku alami, tapi respon Mama sungguh di luar dugaanku.
"Alah, begitu aja nangis. nggak usah cengeng Om Alex cuma bercanda."
Dengan ringan Mama menjawab.
"Tapi, Mah ..."
Aku tidak bisa melanjutkan kata-kata kerena Mama menyela.
"Udah, kamu lupain aja! dan inget jangan bilang sama Mbak kamu, Mama nggak mau nanti mereka berantem. Bisa-bisa si Wida nggak dikasih duit!"
Kesal Mama sebelum keluar kamar.
Aku menangis lagi, sedih.
Kenapa Mama tidak membelaku, apakah benar hal ini adalah hal yang biasa.
Tapi aku takut.
+++
Sejak kejadian tadi pagi aku tidak keluar kamar, aku takut ketemu Om Alex.
Untuk makan siang aku meminta Mama mengambilkannya, ya Mama menuruti walau dengan menggerutu, Mama bilang aku harus lupain kejadian itu.
Aku mengintip dari pintu kamar yang sedikit terbuka, saat Om Alex pamit pulang pada Mbak Wida.
Pulang? pulang ke mana 'kan ini rumahnya, entahlah aku tidak ingin memikirkannya yang penting dia pergi dari rumah ini.
Aku sudah menahan ingin buang air kecil sejak tadi.
"Din, kamu di rumah aja ya. Mbak mau keluar."
Mbak Wida berpamitan setelah aku keluar dari kamar mandi.
"Mbak mau ke warung Mama?"
Tanyaku, mengingat ini sudah jam tujuh malam.
"Nggak, Mbak mau ke rumah temen. Kamu kalo ngantuk tidur aja, Mbak bawa kunci rumah sendiri."
Titah Mbak Wida.
"Iya, Mbak."
Setelah belajar, aku menonton TV sambil menunggu Mbak Wida pulang.
"Udah jam sepuluh, Mbak Wida belum pulang. aku tidur aja ah."
Gumamku lalu masuk ke kamar.
.
Mungkin aku sudah tidur lama, sampai aku terbangun merasakan ingin buang air kecil, entah jam berapa sekarang.
Seluruh ruangan sudah gelap padahal tadi aku tidak memadamkan lampunya, berarti Mbak Wida sudah pulang.
Tidak terlalu kufikirkan, bergegas ke kamar mandi menunaikan hajatku.
Tapi di kamar mandi telingaku mendengar suara orang berbincang dari kamar Mbak Wida, hal itu menarik perhatianku bukankah Om Alex sudah pergi tadi sore.
Aku berjalan mengendap, rasa penasaranku semakin kuat melihat pintu kamarnya sedikit terbuka dengan lampu yang menyala.
Agak ragu, tapi kuberanikan mengintip.
Aku menutup mulut menahan refleks berteriak karena apa yang kulihat di dalam.
Mbak Wida, dengan lelaki yang dulu sering kulihat pergi bersamanya sebelum Mbak Wida menikah.
Mereka sedang ... Aku malu sendiri melihat yang mereka lakukan.
Aku hendak memutar langkah untuk kembali ke kamar, tapi ... ah sial! lelaki itu melihatku dan langsung memberitahu Mbak Wida.
"Dina!"
Panggil Mbak Wida.
Aku berhenti melangkah. Jantungku berdebar, Mbak Wida pasti marah.
"Dina."
Kali ini aku memutar badanku menghadap wanita yang hanya menutup tubuh bagian depannya dengan sehelai kain.
"Jangan bilang tentang apa yang kamu lihat sama Om Alex."
"Iya, Mbak."
"Ya udah, kamu tidur lagi sana."
Perintahnya lalu kembali ke dalam kamar lalu menutup pintu rapat.
Aku segera masuk kamar dan berusaha tidur, tapi apa yang kulihat tadi kini berputar-putar diingatanku.