POV Wida.
"Sayang liat deh adek kamu ngintip," bisiknya di sela desahan.
"Hah ...."
Aku terkejut mendengar bisikan lelaki yang tengah berbalut peluh dalam pelukanku. Posisiku membelakangi pintu hingga tidak melihat keberadaan Dina.
"Dina!" pekikku. Memastikan dia akan mendengar panggilanku.
Aku turun dari peraduan sesaat meninggalkan Rian yang masih terengah, nafasnya memburu seiring hasrat yang masih memuncak.
"Dina!" panggilku lagi.
Kini dia memutar tubuhnya menghadap padaku yang telah berdiri di ambang pintu. Hanya menggunakan sehelai kain bali untuk menutup tubuh polosku.
"Jangan bilang sama Om Alex apa yang tadi kamu liat!"
Kataku penuh penekanan, memastikan dia akan menuruti perintahku.
Aku tidak mau si tua bangka itu marah dan meninggalkanku dalam kemiskinan seperti dulu.
Ada raut ketakutan di wajah lugunya saat menjawab.
"Iya, Mbak."
Aku menutup rapat pintu kamar setelah menyuruh adik semata wayangku itu untuk tidur, lalu melanjutkan apa yang tadi sempat tertunda.
"Gimana kalau dia ngadu?" tanya Rian saat menyambut kedatanganku beringsut menaiki ranjang di mana dia menunggu.
"Dia ... enggak ... akan berani," jawabku terbata, nafasku tersengal seiring gejolak rasa yang kembali mengaliri setiap arteriku.
"Gimana kalau Mama kamu tau?" tanyanya lagi, rupanya dia sengaja menggodaku dengan terus mengajakku bicara tanpa menghentikan aktifitas panas kami.
"Mama emang tau," jawabku sekuat tenaga menahan desissan yang dengan sendirinya keluar dari mulutku.
"Terus?" tanyanya memastikan semuanya baik-baik saja.
"Enggak apa-apa yang penting aku masih dapet uang dari Alex. Dan aku pastiin Alex enggak akan tau!"
+++
Aku Wida Dahlia, seorang gadis dari tanah prostitusi.
Masa kecilku sedikit berbeda dengan Dina adikku, dulu aku tumbuh dalam pengasuhan Nenek di sebuah kampung di Indramayu Jawa Barat.
Hingga Nenek meninggal dunia, tidak ada seorangpun kerabat yang mau mengasuhku.
Usiaku baru sepuluh tahun saat Mama memboyongku ke kota besar ini, saat itu aku harus putus sekolah.
Saat Dina lahir beberapa bulan setelah kepindahanku dari kampung.
Lalu berubahlah cerita hidupku menjadi pengasuh Dina di malam hari karena Mama harus berkerja, dulu Mama belum memiliki warung, hanya berkerja sebagai pelayan di warung temannya.
Begitulah cerita Mama.
Hingga beberapa tahun kemudian saat Dina balita, Mama membuka usaha warungnya sendiri, sejak saat itulah aku dan Dina sering dibawa ke warung.
Aku yang sudah beranjak remaja, lambat laun mulai mengerti apa sebenarnya pekerjaan Mama.
Ibarat sebuah spon seorang anak akan menyerap apapun yang ada di sekitarnya, begitu pula denganku. Tidak ada hal lain yang aku teladani dalam hidup ini selain Mama dan teman-temannya.
Mungkin usiaku belum genap tujuh belas tahun saat bunga-bunga cinta mulai bermekaran dalam hati, dialah Rian teman sepermainanku sejak kecil, Ibu dan Bapaknya adalah pemilik warung tempat Mamaku berkerja dulu.
Usianya terpaut lima tahun dariku, sudah beberapa bulan kami menjalin asmara secara diam-diam.
Rian pemuda yang tampan walaupun dia hanya bisa menamatkan pendidikan di sekolah menengah pertama, tapi dia pemuda yang baik.
Setiap sore ia menjadi juru parkir bersama sang Ayah di komplek warung esek-esek yang kami huni, dari sanalah dia mendapatkan uang untuk sekedar mengajakku jalan-jalan atau makan mie ayam.
Menjalin asmara di lingkungan kami adalah hal yang biasa, tua atau muda menganggapnya hal yang lumrah, hari berganti hari orang tua kami mengetahui hubungan kami lebih dari teman dan mereka menbiarkan.
Kami selalu saling mengunjungi, kadang aku kerumahnya atau dia kerumahku tidak jarang kami pergi keluar hanya berdua.
.
Sore itu ...
Dina sudah berangkat ke warung bersama Mama, aku berencana menyusul setelah menemui Rian di rumahnya lalu berangkat bersama ke sana.
"Eh neng Wida, masuk aja Rian di dalem noh. Bapak ke parkiran dulu ya."
Sapa Bapaknya Rian begitu melihatku di depan rumahnya, aku hanya mengangguk di sertai sebuah senyuman.
Aku memang sudah biasa berdua dengannya di rumah petak yang Rian huni bersama orang tuanya ini sebelum Rian berangkat keparkiran dan orang tuanya sudah lebih dulu berangkat.
Tanpa rasa canggung lagi aku melangkah masuk.
"Rian, kamu dimana?"
Tanyaku melihat ia tidak berada di manapun.
"Dor ...."
Pekiknya mengejutkanku seraya keluar dari balik pintu tempatnya bersembunyi lalu menguncinya.
"Ih, Kamu apa-apaan sih?" sungutku.
Aku memukul dadanya pelan, lalu ia menarikku dalam pelukannya. Aku pasrah dalam dekapan saat perlahan ia mulai menciumi pipiku, lalu beralih kebagian tubuhku yang lain.
Suasana selepas maghrib yang sunyi menjadi saksi, permainan demi permainan kami yang berujung berakhirnya kesucianku.
Ya, kesucian yang bagi kebanyakan wanita adalah sebuah tahta yang sangat berharga, tetapi bagi sebagian wanita bukanlah hal yang istimewa termasuk bagiku.
Tapi setidaknya aku melepasnya untuk lelaki yang aku cintai, bukan menjualnya seperti kebanyakan temanku.
Sejak saat itu kami semakin intens bertemu dan hubungan kamipun semakin dekat.
Entah kenapa, rasanya seorang Rian saja tidak cukup bagiku.
Aku nyaman sama dia, aku cinta dan sayang tapi aku juga ingin merasakan belaian dari laki-laki lain.
Terlebih, mendengar omelan Mama setiap hari.
"Wida, kamu pacaran mulu ama Rian! dapet apa? rugi dong kamu ML terus ama dia tapi nggak di bayar. mendingan kamu ngelayanin tamu aja, enak dan dapet duit!"
Benar juga apa yang Mama bilang.
Sejak saat itu aku mulai menjual jasaku sebagai pemuas nafsu p****************g.
Memang tidak semua tamu aku layani, hanya yang aku suka saja yang masih muda dan tampan, itulah kenapa aku di juluki kupu-kupu emas yang tidak bisa ditangkap sembarangan orang.
Aku masih terus berpacaran dengan Rian, awalnya dia cemburu mengetahui aku terjun ke lembah hitam, tapi lama-lama akhirnya dia terbiasa karena memang beginilah kehidupan disini.
Bukan hal yang mudah menjalani kehidupan malam, menjadi seorang penjaja seks komersial. Sempat terjadi pergulatan batin dalam diriku pertimbangan antara hati nurani dan logika. Namun aku bisa apa saat kebutuhan ekonomi semakin mendesak. Dan akhirnya, akupun bisa menikmatinya. Malah bagaikan candu bagiku saat mendapatkan kepuasan secara hasrat dan ekonomi.
Awalnya aku sempat menolak saat Mama memintaku menikah dengan Alex si bandot tua, rasanya aku muak saat kulitku harus bersentuhan dengan kulitnya yang sudah mulai mengeriput, tapi Mama benar jika dia adalah tambang emas bagiku, dengan sekali goyangan saja seluruh hartanya bisa jatuh ketanganku, akhirnya lagi-lagi aku hanya bisa menuruti kemauan Mama untuk menjadi istri siri lelaki yang pebih pantas menjadi ayahku. Kehidupan kami memang berubah secara finansial sejak menikah dengannya tapi perasaanku? Selalu hampa, bagai ada yang kurang dalam hidupku. Maka dari itu aku selalu mengajak Rian ke rumah saat Alex pulang ke rumah istri tuanya. Menuntaskan segala hasratku yang selalu tidak terpenuhi oleh suamiku, ya ... mungkin karena memang usianya yang sudah tua hingga sentuhannya perbeda dari Rian, atau mungkin karena sebuah rasa cinta yang tidak pernah aku miliki untuknya.