Bu Indah

840 Kata
Sudah beberapa hari sejak kejadian malam itu berlalu tapi perlakuan Bang Eko terus menghantuiku, membuat perasaanku cemas tapi aku terlalu takut menceritakan kejadian itu pada Mama. Apalagi Mama dan Mbak Wida sedang sibuk mengurus kepindahan kami, sepulang bulan madu Mbak Wida begitu terlihat bahagia, begitu juga dengan Mama karena kata Mama kami akan pindah kerumah baru. Rumah yang lebih layak disebut rumah, berada di jajaran paling depan dari rumah petak yang kami huni sekarang. dulu setiap pergi dan pulang sekolah aku selalu melewati rumah bagus yang berjajar rapi tersebut, dan berangan suatu saat bisa menghuninya, sekarang angan itu bisa jadi nyata. Benar saja kenapa Mama mau menikahkan Mbak Wida sama Om Alex yang sudah tua, ternyata demi merubah hidup kami. aku tidak tahu itu salah atau benar, tapi kelihatannya mereka bahagia. Yang aku tahu, aku senang pindah kerumah baru agar aku tidak lagi bertemu dengan Bang Eko. "Dina, kamu kenapa?" Pertanyaan Bu Indah mengagetkan aku, kulihat kesekeliling ternyata teman-temanku sudah pulang, tinggal aku sendiri di kelas ini. "Aku nggak apa-apa, Bu," jawabku. "Kalo nggak apa-apa, masa kamu bengong sampe nggak tau temen-temen kamu udah pada pulang?" tanya Bu Indah sambil duduk di sebelahku. "Eehh ... itu ... aku nggak apa-apa, Bu." Bingung bagaimana aku menjawab pertanyaannya. "Dina 'kan udah janji mau jadi temen Bu guru, masa nggak mau cerita?" rayunya dengan suara lembut yang selalu bisa menenangkan aku. "Ibu janji kalo aku cerita, Ibu nggak akan ngeledekin aku?" "Iya, Ibu janji." jawab Bu Indah sambil mengacungkan jari kelingkingnya, lalu kusambut dengan kelingkingku hingga saling bertautan. "Kemarin malem ada temennya Mbak Wida kerumah, terus dia pegang ini aku." Aku menjelaskan sambil menunjuk dadaku, seketika mata Bu Indah membulat. "Terus?" tanyanya lagi. "Terus aku masuk, ngunci pintu dari dalem." beberku dengan polos. "Mama kamu tau?" Selidik Bu Indah. Aku menggeleng, "Aku takut cerita sama Mama, aku takut Mama marah." Bu Indah memelukku, lalu menangis aku tidak tahu kenapa. "Sayang, kamu harus lebih jaga diri ya. teriak aja kalo ada yang berbuat begitu lagi sama kamu." "Kenapa aku harus teriak, Bu? aku biasa liat Mbak-Mbak di warung Mama dipegang sama tamu." Ceritaku pada Bu Guru, tapi Bu guru malah tambah menangis. "Astagfirullah ... sayang apa yang mereka lakuin itu salah. nggak sepantasnya anak sekecil kamu ngeliat hal seperti itu. kamu nggak usah ikut Mama kamu ke warung ya." Kata Bu Indah sambil mengusap airmatanya. "Tapi 'kan aku bantuin Mama, Bu. aku suka bantuin ngelapin gelas, nyapu, atau beres-beres. kalo udah malem juga aku pulang kok." "Dina, kamu masih kecil. tugas kamu cuma belajar, bukan bantuin Mama di warung." "Tapi aku seneng, Bu. aku sekalian maen kalo di rumah terus aku bosen." "Kalo sore kamu ngaji?" tanya Bu Indah. "Enggak ... temen-temen aku juga nggak ada yang ngaji." jawabku. "Gimana kalau nanti, setiap sore kamu ngaji." "Tapi aku ngaji di mana, Bu?" "Iya, ya ... Ibu juga mau ngajar kamu ngaji. tapi rumah Ibu jauh." Kami berdua bersamaan melihat ke arah pintu melihat ada seseorang yang mengetuknya, Mbak Wida menjemputku. "Maaf, Bu guru. saya terlambat jemput Dina." ucap mbak Wida, sopan. "Iya Mbak, nggak apa-apa." jawab Bu Indah. "Dina pulang dulu ya, Bu." pamitku sambil mencium tangannya. +++ POV Bu Indah. Aku tidak bisa menahan airmata, hati terasa teriris mendengar kata demi kata yang terlantun dari bibir mungilnya. Dia Andina Amilli, muridku. Usianya belum genap sepuluh tahun. dia murid istimewa, setidaknya begitulah bagiku di saat khalayak ramai mencibir karena status orang tuanya, aku menganggapnya seperti mutiara yang harus dijaga kesuciannya. Dia berasal dari lembah yang dianggap sebagian orang hina tetapi sebagian orang lainnya menganggapnya surga, sebagian orang lainnya terjebak di dalamnya untuk sekedar bertahan hidup, seperti itulah keluarga Dina. Terlepas dari baik dan buruknya, yang Mamanya Dina tahu hanya bekerja demi sesuap nasi, untung-untung bisa untuk mempernyaman hidup. Tanpa mereka sadar banyak hal yang harus terkorbankan, tapi entah kenapa rasanya tidak tega kalau aku harus membiarkan gadis suci seperti Dina yang menjadi korban. Dina adalah anak yang cerdas, nilainya selalu di atas rata-rata. dia juga anak yang ceria walau di sekolah tidak banyak yang mau berteman dengannya, atau lebih tepatnya dilarang berteman dengannya, inilah salah satu bukti nyata kalau Dina telah menjadi korban. Dia juga anak yang cantik, tubuhnya bongsor terlihat lebih besar dari teman sebayanya, dia anak yang mandiri dan bisa lebih bersikap dewasa dari usianya mungkin karena sejak kecil Dina sudah banyak tertempa kerasnya dunia mereka. Aku prihatin mendengar segala ceritanya tentang sesuatu yang belum sepantasnya dia lihat dan dengar, juga perlakuan yang tidak sepantasnya dia terima. Namun, aku tidak bisa berbuat banyak selepas jam sekolah dirinya bukan lagi tanggung jawabku. Aku tidak bisa terus menjaganya, walaupun aku ingin sekali. Rasanya tidak rela melihat bunga yang belum mekar harus tumbuh di tanah gersang yang mampu membuatnya layu kapan saja. hati dan fikirannya masih bersih hanya sayang, tidak ada hal baik yang bisa jadi teladan di sekitarnya, dirinya bagai kertas putih yang tertiup angin di atas genangan tinta hitam. kapanpun kertas itu bisa jatuh dan ternodai oleh sesuatu yang sudah dianggap lazim. Dia Andina Amilli gadis yang dibesarkan di lembah hitam, hidup dengan berbagai contoh buruk. ke mana nasib akan membawanya? 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN