Pelecehan pertama Dina

1012 Kata
Rasanya mataku masih terasa berat untuk terbuka. entah jam berapa sekarang tapi belum ada sinar matahari yang menerobos masuk lewat lubang-lubang kecil di atap rumahku. Tapi suara Mama dan Mbak Wida yang sedang berdebat mengusik mimpi indahku, hingga sulit untuk menyelaminya lagi. "Tapi Mah, Om Alex itu udah tua! dia lebih cocok sama Mama." Mbak Wida terdengar mendengkus kesal. "Ya Mama juga mau kalo Om Alex suka sama Mama, tapi 'kan Om Alex sukanya sama kamu." Dengan suara tertahan Mama menjawab. "Tapi aku nggak suka Mah," rengek Mbak Wida pada Mama. Walau aku tahu, rengakan seperti apapun tidak akan berpengaruh jika Mama sudah mengambil keputusan. "Mama nggak mau tau yah, kamu suka atau nggak suka! daripada kamu ngelayanin tamu terus mendingan kamu jadi bini mudanya Om Alex. jelas dia banyak duit, kamu bisa hidup enak Wida!" suara Mama terdengar penuh penekanan. "Terserah Mama aja lah! Wida mau tidur, ngantuk!"  Pasrah. Hanya itu yang bisa Mbak Wida lakukan, seperti biasanya. Lalu aku bisa merasakan Mbak Wida yang beringsut naik ke ranjang dan tidur di sebelahku. Tidak lama kemudian Mama keluar rumah dan terdengar berbincang dengan seseorang di telepon. "Iya, Om. tenang aja, Wida udah setuju kok. Om atur aja semuanya." terdengar suara Mama begitu sumpringah. "Iya, beres. saya setuju aja ... ya udah sampe ketemu ya Om." lanjutnya. Lalu terdengar suara Mama mengunci rumah dari dalam. +++ Siang itu sepulang sekolah, aku berjalan sendiri sepanjang trotoar. sedikit kesal karena Mama atau Mbak Wida tidak menjemputku, sebenarnya banyak teman sekelas yang rumahnya searah denganku tapi menghindar saat aku menyamai langkah agar berjalan bersama menuju rumah, bisa dibilang di sekolah aku tidak punya teman. Aku hanya punya banyak teman di sekitaran rumah, rata-rata anak dari orang yang memiliki warung seperti punya Mama jadi orang tua mereka pasti tidak melarang kalau kami berteman karena orang tua kami juga berteman. Sampai di rumah aku melihat sedang ada tamu, pantas saja tidak ada yang menjemputku. aku tidak bisa masuk karena rumahku yang hanya dua petak dipenuhi para tamu dan tetangga sekitar rumahku. Aku melihat Mbak Wida sangat cantik tidak seperti biasanya dia memakai kebaya dan bunga melati menghiasi rambutnya yang disanggul, seperti pengantin. tapi memang iya Mbak Wida memang sedang menjadi pengantin. Aku melihat adegan yang sering aku lihat di TV seorang lelaki menjabat tangan penghulu untuk menikahi kekasihnya, Aku senang melihat Mbak Wida menjadi pengantin. Setelah acara selesai dua orang yang berpakaian rapi pulang dengan mengendarai sepeda motornya, tidak lama kemudian para tetanggaku pulang ke rumah masing-masing. Aku bisa mendengar tetanggaku saling berbisik. "Pasti seneng banget tuh si Suli, anaknya dapet suami kaya, yah walaupun udah tua dan cuma nikah siri." "Ya iya pinter banget ya si Suli ngempanin anaknya ke kambing bandot." "Biarin kambing bandot yang penting duitnya banyak, bisa kaya mendadak mereka. daripada si Wida ngelayanin tamu di warung. kagak bakalan kaya!" Dan masih banyak ocehan lainnya yang tidak sedikit demi sedikit mulai ku mengerti maksudnya. Tapi tidak kuperdulikan karena aku sudah terbiasa mendengar omongan semacam itu, aku masuk ke rumah. "Eh, anak Mama udah pulang sekolah. sini sayang ... kenalin ini Om Alex, suami kakak kamu." Ucapan Mama terdengar begitu lembut, tapi terasa penuh sandiwara karena biasanya Mama cuek bahkan cenderung kasar padaku. mungkin karena ada suami Mbak Wida. Aku segera mencium punggung tangan lelaki yang tersenyum lebar melihatku. "Anak cantik, siapa namanya?" tanya Om Alex. "Andina Amilli, Om. biasa dipanggil Dina." jawabku datar. "Hahaha ... selain cantik, anak kamu yang ini juga pinter Suli." Om Alex tertawa lebar hingga terlihat langit-langit mulutnya. Entah kenapa aku merasa risih dengan keberadaannya, Aku tidak suka kenapa Mbak Wida harus menikah dengan lelaki tua seperti dia, padahal rambutnya yang hampir botak saja sudah bercampur dengan uban. perutnya buncit, kulitnya juga banyak keriput. Kehidupan orang dewasa memang membingungkan, padahal aku sering melihat Mbak Wida pergi dengan beberapa lelaki yang lebih muda dan lebih ganteng. Mungkin bener yang orang bilang Om Alex lebih kaya. Ah sudahlah, lebih baik aku main saja buat apa mikirin hal begini. +++ Beberapa hari ini Mbak Wida nggak di rumah, katanya bulan madu. nggak tahu deh bulan madu itu apa. aku sudah biasa tinggal di rumah sendirian kalau malam karena Mama dan Mbak Wida 'kan di warung. Setelah belajar dan nonton TV seperti biasa aku langsung tidur, kata Mama aku nggak boleh lupa mengunci pintu. Aku bersiap tidur saat mendengar pintu yang baru beberapa saat lalu terkunci diketuk dari luar, dengan malas karena mata yang sudah mulai mengantuk aku melangkah membukakan pintu. "Eh Bang Eko, Mbak Wida-nya nggak ada," kataku begitu melihat Bang Eko di depan pintu, Bang Eko adalah orang yang biasa mengajak Mbak Wida pergi entah kemana, setiap aku minta ikut Mama selalu memarahiku. "Ke mana?" tanyanya dengan dahi yang mengkerut. "Katanya bulan madu ama suaminya." jawabku ringan. "Kamu tau bulan madu itu apa?" tanya Bang Eko sambil tersenyum lebar.  Aku hanya menggeleng membuatnya tertawa kecil. Lalu terdengar decisan dari mulutnya.  "Wida udah punya suami, ya? Masih bisa dipake enggak, ya? Gumamnya, cukup jalas kudengar walau aku tidak tahu  apa maksudnya. "Kapan dia pulang?" tanyanya penuh semangat setelah menggerutu.  "Aku enggak tau," jawabku singkat. "Yah, padahal lagi pengen." ucap Bang Eko lirih tapi masih bisa kudengar. "Pengen apa, Bang?" tanyaku penasaran. "Eehhmm ... Pengen ini." jawab Bang Eko dengan tatapan aneh, lalu tangannya meraba bagian dadaku. Aku terkejut, takut. Secepat kilat kututup pintu dan menguncinya dari dalam. Aku duduk dengan memeluk lutut yang tertekuk. mengingat apa yang baru saja Bang Eko lakukan padaku membuatku marah, sedih, takut. tapi ... aku juga biasa ngeliat orang-orang ngelakuin hal itu di warung Mama, dan nggak apa-apa. Apa bener itu nggak apa-apa?  Entah bagaimana tapi rasanya aku tidak suka diperlakukan seperti itu, walaupun itu hal yang biasa aku lihat, atau mungkin karena aku belum dewasa, seperti yang Mama bilang. Kerena apa yang kulihat orang dewasa begitu menikmati saat melakukannya. Mbak Wida juga biasa diperlakukan seperti itu. Aku jadi teringat saat siang itu sepulang dari pasar bersama Mama, Mbak Wida dan Bang Rian sedang melakulan hal seperti iu di rumah ini, walaupun setelah itu Mama memarahi Mbak Wida. Jadi ... Kalau saat itu Mama memarahi Mbak Wida, berarti itu hal yang salah? Tapi kenapa itu menjadi hal yang biasa di sini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN