PART. 2 PERTEMUAN PERTAMA
Tiara meraba dahi, dan leher Emira dengan meletakkan punggung tangannya di sana.
"Kamu tidak demam Em, tapi kenapa omongan kamu melantur ya?" Dahi Tiara berkerut, karena bingung.
Emira menarik nafas berat, lalu dikeluarkannya dengan hembusan kuat.
"Waktumu kurang dari dua minggu untuk berpikir, Ra. Kedua Oma, dan Opa ku sudah setuju, untuk membayar semua hutang keluargamu. Juga untuk membiayai pendidikanmu, dan kedua adikmu, asal kamu mau jadi Mamah aku" Emira mencoba meyakinkan Tiara.
"Jadi, maksud kamu, ini beneran Em?" Tiara masih belum percaya dengan apa yang diucapkan Emira.
Emira menganggukan kepala, lalu menggenggam jemari tangan Tiara erat.
"Please, Ra. Aku mohon, bantu aku, jadilah Mamahku," mohon Emira, dengan pandangan mata yang berkaca-kaca.
"Bantu kamu? Aku tidak mengerti, Em. Dalam hal ini, aku yang ingin kamu bantu. Kenapa sekarang kamu yang minta bantuan sama aku?" tanya Tiara semakin bingung.
Matanya menatap wajah Emira yang memelas, dengan tidak berkedip.
Menurut Tiara dirinya yang seharusnya minta bantuan pada Emira, bukan Emira yang butuh bantuannya.
Kembali terdengar Emira menarik nafas berat.
"Ayahku, dia punya pacar namanya, Tante Donna. Aku, dan kedua Oma Opaku tidak suka dengan Tante Donna. Makanya kita berusa memisahkan mereka, dengan memaksa Ayah untuk menikah denganmu, Ra. Aku tidak ingin Mamah yang lain. Aku maunya kamu yang jadi Mamahku."
"Tapi kenapa harus aku, Em. Masa Ibu tiri, seumuran denganmu?"
"Cuma kamu yang bisa menbuat aku nyaman, dan tenang, Ra. Lagipula Oma, Opa juga sudah setuju dengan hal ini."
"Tapi Ayahmu belum tentu setuju."
Emira tersenyum, kata-kata Tiara tadi menyiratkan kalau Tiara mulai memikirkan tawarannya.
"Aku akan buat Ayah setuju, bagaimanapun caranya" jawab Emira, kembali bersemangat.
"Aku belum bilang mau Em" goda Tiara.
"Dari pada kamu menikah sama Pak Bowo, sudah tua, jelek, lintah darat, jadi bini kesekian pula. Hiiy, serem." Emira bergidik, kemudian melanjutkan.
"Lebih baik sama Ayahku, ganteng, gagah, masih muda mirip Tom cruise pula" Emira mulai lagi mempromosikan Ayahnya.
Tiara tertawa, mendengar Emira berusah mempromosikan Ayahnya.
Tiara belum pernah bertemu, ataupun melihat foto Ayah Emira sekalipun.
"Kalau Ayah kamu secakep Tom Cruise, bisa makan hati aku nanti, Em." Tiara tertawa seakan lupa dengan masalahnya.
"Lihat saja nanti besok, kamu pasti akan jatuh cinta pada pandang pertama, sama Ayahku, Ra" Emira menggoda Tiara.
"Memangnya Ayahmu yang akan mengambil nilai kelulusanmu besok Em?"tanya Tiara.
"Ya, akan kita lihat besok, berapa cewek yang akan terpesona, begitu melihat ketampanan, seorang Steven Adams" kikik Emira, Tiara ikut tertawa bersamanya.
"Eeh, kamu belum jawab tawaranku, Ra." Emira menggamit tangan Tiara.
"Beri Aku waktu berpikir, Em. Aku juga harus bicara dengan Bapak, dan Ibu," jawab Tiara.
Emira mengangguk setuju.
"Aku berharap dapat jawaban secepatnya, dan kabar baik yang akan aku terima, Ra"harap Emira.
"Aamiin" jawab Tiara singkat.
*****
Waktu pengumuman kelulusan tiba
Benar apa yang dibayangkan Emira sebelumnya, terjadi juga akhirnya.
Begitu Ayahnya, Steven Adams, ke luar dari dalam mobil, semua mata memandang takjub akan ketampanan Ayahnya.
Ayahnya tinggi, putih, rambutnya coklat, matanya biru gelap, lengannya kokoh, dadanya bidang, bahunya tegap. Emira merangkul manja lengan Ayahnya, dengan senyum bangga menghias bibirnya. Mereka melangkah mendekati Tiara yang datang bersama Bapaknya.
Tiara merasa pipinya panas, saat ingat kata-kata Emira tempo hari, yang mengatakan, kalau Tiara akan jatuh cinta pada pandang pertama dengan Ayahnya.
'Benar kata Emira, Ayahnya ganteng bahkan lebih ganteng dari Tom cruise,' batin Tiara.
"Hay, Tiara, Bapak, apa kabar?" Emira menjabat tangan Bapak Tiara.
"Baik, Nak Emira." Bapak Tiara menyambut uluran tangan Emira.
"Ayah kenalkan, ini sahabat Emira, Tiara, dan ini Bapaknya" Emira memperkenalkan sahabatnya pada Ayahnya. Steven mengangguk, sambil menyalami Bapak Tiara.
"Steven," katanya singkat, seraya tersenyum. Kemudian menyalami Tiara.
"Terimakasih sudah jadi sahabat terbaik Emira."
Tiara hanya mengangguk tak bersuara, menyambut uluran tangan Steven.
***
Emira, dan Tiara bernafas lega, mereka berdua lulus.
Tiara diperingkat 2.
Emira diperingkat 5.
Pelukan bahagia mereka berdua, disertai dengan air mata bahagia.
Emira melepas pelukannya pada Tiara. Ia berbisik di telinga Tiara.
"Aku tunggu jawabanmu segera, Ra" bisiknya lirih.
Tiara tersenyum
"Aku kira kamu sudah lupa, Em."
"Lupa? Tidak akan, Ra. Karena itu impianku, untuk selalu bisa dekat denganmu, bagaimana? Betulkan Ayahku ganteng?" Emira melirik Ayahnya yang tengah bicara dengan Bapak Tiara. Tiara mencubit pinggang Emira gemas, membuat Emira terpekik.
"Seandainya aku sutuju, belum tentu Ayahmu setuju, Em" Tiara menatap ke arah steven, dan Bapaknya.
Emira manggut-manggut.
"Hmmm ... sepertinya benar, ada yang sudah jatuh cinta
pada pandangan pertama," goda Emira, sambil mengedip-ngedipkan mata ke arah Tiara.
Tiara memukul lengan Emira lembut.
"Iissshh, sepertinya kamu akan jadi anak tiri paling menyebalkan. Aku harus berpikir jutaan kali lagi untuk jadi Mamahmu, Em," sengit Tiara.
Emira terkekeh sambil memeluk bahu Tiara.
Steven, dan Bapak Tiara mendekati ke duanya.
"Ayah, ingat ya dengan janji Ayah." Emira melepaskan pelukan di bahu Tiara, lalu memeluk lengan Steven dengan manja.
Steven mengangguk
"Iya, kamu mau minta apa?" tanya Steven.
"Ada deh, tapi nanti saja," jawab Emira, masih belum mau mengatakan permintaan pada Ayahnya.
"Maaf Pak steven, Nak Emira. Bapak pulang duluan." Bapak Tiara mengulurkan tangan menyalami steven, dan Emira.
"Oh ya,Pak. Saya juga harus kembali ke kantor." Steven menyambut uluran tangan Bapak Tiara.
"Tiara, Bapak pulang duluan ya, kasihan Ibumu sendirian menyiapkan jualan." Tiara mencium tangan Bapaknya.
"Ya Pak, Tiara juga sebentar lagi pulang. Hati-hati ya, Pak."
Bapak Tiara mengangguk, kemudian berlalu menuju parkiran mengambil motor bututnya.
"Ayah, anterkan aku ke rumah Tiara ya. Nanti sore, baru jemput aku." Emira menatap ayahnya manja.
"Kita jalan saja, Em. Seperti biasanya," kata Tiara.
Steven menatap Tiara, sahabat anaknya. Steven tidak tahu, bagaimana bisa Emira memiliki sahabat seperti Tiara, yang dari penampilannya bagaikan langit, dengan bumi dengan putrinya.
Putrinya hampir bule seutuhnya, dengan rambut coklat, kulit putih bersih mulus, tinggi semampai.
Dan bola matanya biru.
Sedang Tiara, tingginya hanya sebahu Emira, kulitnya sawo matang, rambut panjangnya hitam legam, dan kulit tangannya terasa kasar, saat tadi mereka berjabatan.
"Ayah!" Emira menyadarkan steven dari lamunan.
Tiara yang sadar steven tengah menilainya, merasakan pipinya memerah. Pandangan mata steven yang seakan meremehkan dirinya, membuatnya jadi tidak enak hati.
"Oke, Ayah antar kalian," jawab Steven. Emira bersorak kegirangan.
Rumah Tiara memang tidak begitu jauh dari sekolah mereka.
Steven ikut ke luar dari mobil, saat mereka tiba di halaman rumah Tiara.
Ia tak menyangka, putri manjanya bisa betah berlama-lama di rumah yang tidak layak huni, menurut pandangan Steven.
Di teras rumah, pak Bowo sedang memaki maki kedua orang tua Tiara.
Tiara lari ke teras diiringi Emira, dan Steven.
"Nah, ini dia calon istriku, sebentar lagi kamu akan jadi milikku, manis," pak Bowo terkekeh, tangannya berusaha menjangkau wajah Tiara.
Tiara berusaha menepiskan tangan Pak Bowo yang ingin menyentunya.
"Anda sudah berjanji dua minggu lagi baru kembali, bukan? Kenapa anda datang hari ini?" Tanya Tiara dengan nada marah.
"Aku hanya ingin melihatmu, Manis," jawab Pak Bowo, sambil kembali ingin meraih wajah Tiara.
Tiba-tiba, Steven menarik tangan Pak Bowo yang ingin menyentuh wajah Tiara.
"Sebaiknya anda pergi!" Pandangan mata Steven sangat tajam, menatap mata Pak Bowo. Pak Bowo menepiskan tangan Steven dengan kasar, dibalas tatapan Steven sama tajamnya.
"Anda jangan ikut campur, ini urusan saya! Hmmm ... baiklah, hari ini saya akan pergi. Tapi ingat, beberapa hari lagi, saya akan kembali." Pak Bowo melangkah ke luar dari teras diiringi dua anak buahnya.
Steven menatap Tiara, dan keluarganya, ia ingin meminta penjelasan atas apa yang barusan terjadi tadi.
"Em, sebaiknya kamu ajak Ayahmu pulang ya." Tiara mendekati Emira.
Emira menatap mata Tiara, ada kesedihan yang dalam di sana.
Emira mengangguk
"Telpon aku kalau ada apa-apa ya, Ra" mohon Emira. Tiara mengangguk.
Emira mengajak ayahnya pamitan, lalu pergi meninggalkan rumah Tiara
Menyisakan pertanyaan di dalam hati Steven, tentang apa yang baru saja terjadi di depannya tadi
'Ada apa dengan keluarga Tiara?
Kenapa pria itu menginginkan Tiara menjadi istrinya?
Sungguh tidak pantas orang setua itu ingin menikahi bocah ingusan seperti Tiara.'
Steven mencengkram setir mobilnya dengan kuat. Ada kemarahan di dalam hatinya. Ia merasa marah, karena sahabat putrinya diperlakukan tidak senonoh seperti tadi. Steven yakin, jika Tiara terluka, maka Emira juga pasti merasakan sakit yang sama.
Emira yang duduk di sebelah Ayahnya terus memperhatikan gerak gerik, dan mimik wajah Ayahnya.
Emira berusaha menyembunyikan senyuman, ia yakin Ayahnya pasti sedang memikirkan kejadian di rumah Tiara tadi.
'Hmmm ... baguslah, kalau nama Tiara mulai masuk ke dalam pikiran Ayahnya,' batin Emira senang.
***BERSAMBUNG***