Drrtt ... drrrttt
Ponsel Emira bergetar.
Emira cepat meraih ponselnya.
"Tiara," gumamnya saat menatap layar ponselnya.
"Assalamualkaikum, Tiara," sapa Emira.
"Walaikumsalam Em. Aku sudah bicara dengan kedua orang tuaku," jawab suara di seberang sana.
"Ya, lalu, apa jawabanmu, Ra?" tanya Emira dengan hati berdebar, dan tidak sabar.
Terdengar Tiara menarik nafas panjang di seberang sana.
"Ra ...." Emira semakin tidak sabar.
"Iya Em, jawabannya ... ya," suara Tiara terdengar sangat berat saat mengucapkannya.
Emira bersorak kegirangan setelah mendengar jawaban Tiara.
"Terima kasih, Ra. Terima kasih. Sekarang aku mau langsung ke kantor Ayah. Terima kasih ya, Ra, muacchh!" tanpa menunggu jawaban Tiara. Emira mematikan ponselnya.
Dengan langkah bergegas Emira meminta supirnya mengantarkan ke kantor Ayahnya.
Dalam perjalanan ke kantor Ayahnya, Emira menyempatkan menelpon Oma, dan Opanya untuk menyampaikan kabar gembira dari jawaban Tiara barusan.
--
Beberapa hari ini steven sangat sibuk sampai lupa menanyakan tentang kejadian dirumah Tiara pada Emira.
Bahkan makan siangpun Donna teman dekatnya yang membawakan ke kantornya.
Seperti hari ini usai makan siang, Donna sudah mulai merayunya dengan menciuminya.
Donna duduk di atas lengan kursi kerja Steven, tangannya ketat memeluk leher steven.
Tiba-tiba pintu terbuka, dan Emira muncul di ambang pintu ruangan kantor Ayahnya.
"Ayah!" Emira mematung di ambang pintu, wajahnya memerah, karena rasa marah melihat apa yang dilakukan Donna, dan Ayahnya.
Cepat Donna berdiri dari duduknya, lalu ia mengambil tasnya dari atas meja.
Donna lalu berdiri di hadapan Emira.
"Tidak perlu marah, Sayang, aku tidak akan merebut Ayahmu, untukku sendiri," katanya sambil berlalu dari hadapan Emira.
Emira mengepalkan tangan di kedua sisi tubuhnya. Serasa ada asap yang ingin ke luar dari kepalanya.
Steven mendekati putrinya
"Lupakan kejadian tadi ya, Sayang ....," dielusnya rambut putrinya penuh Sayang.
"Duduklah, kamu ingin minum apa? Ada apa siang-siang begini datang ke kantor Ayah? Ada yang penting?" tanya Steven selembut mungkin.
Emira menggelengkan kepala, Ia tengah berusaha meredam kemarahannya.
"Aku mau menagih janji Ayah!" Emira lekat memandang tepat ke bola mata biru milik Ayahnya.
"Janji? Ooh ... janji akan meluluskan permintaanmu kemarin? Baiklah, minta apa yang kamu mau, Sayang. Ayah akan mengabulkannya."
Steven mengelus lembut jemari putrinya.
"Menikahlah dengan Tiara!" Permintaan Emira, bagai ledakan bom yang sangat mengejutkan bagi telinga Steven.
"Tiara? Maksudmu, Tiara sahabatmu yang dekil itu? Ya ampun, Em ... apapun yang kamu minta akan Ayah kabulkan, tapi permintaanmu kali ini sangat kelewatan!" Steven berdiri, ia memandang marah pada putrinya, dengan tangan bertolak pinggang.
"Tapi Ayah sudah berjanji!" Emira juga ikut berdiri, matanya yang berkaca-kaca, menatap Ayahnya dengan pandangan gusar.
"Ayah memang sudah berjanji, tapi tidak kalau permintaanmu seperti ini!" Steven semakin marah.
Emira menghapus air matanya.
"Kalau Ayah tidak mau meluluskan permintaanku, maka Ayah jangan harap bisa bertemu aku lagi!" sengit Emira, dan sebelum steven sempat berkata-kata, Emira sudah berlari ke luar dari kantor Ayahnya.
Steven mengacak rambutnya, baru kali ini Ia bertengkar dengan putrinya.
'Apa yang sudah merasuki pikiran Emira hingga punya ide segila itu' batin Steven.
Steven tahu kalau Emira sangat tidak suka dengan Donna, tapi bukan berarti Dia bisa seenaknya menentukan siapa wanita yang harus dinikahi Ayahnya.
***
Steven yang kehilangan gairah untuk meneruskan pekerjaannya, hanya duduk termangu di kursi kerjanya.
Steven teringat ancaman Emira tadi, sesaat sebelum Emira ke luar dari kantornya.
Steven segera meraih ponselnya untuk menghubungi Emira.
Tapi ponsel Emira tidak aktif.
Ditelponnya orang rumah, dan jawaban asisten rumah tangganya adalah.
Emira tidak ada dirumah.
Dicobanya menelpon orang
tuanya, menanyakan apakah Emira ada di sana. Jawaban mereka Emira tidak ada juga di sana.
Ditelponnya mertuanya, atau Orang tua dari Ibu Emira.
Jawaban mereka sama, Emira tidak berada di sana juga.
Steven semakin merasa kacau pikiran, dan perasaanya.
Tiba-tiba steven teringat sesuatu, cepat diraih kunci mobil, dompet, dan ponselnya. Lalu bergegas Steven ke luar dari ruangan kantornya.
Emira masih menangis sesunggukan dibahu Tiara.
"Aku benci Ayah ... Ayah sudah ingkar janji, Ra," isaknya pelan dengan air mata berderai membasahi pipinya.
"Jangan begitu Em, bagaimanapun, Om Steven itukan Ayahmu, tidak boleh membenci orang tua sendiri Em," Tiara berusaha menenangkan Emira.
"Aku menginap di sini ya, Ra, bolehkan?" tanya Emira, Tiara hanya mengangguk saja.
Tiara tidak tahu, kenapa Emira sangat senang berada di rumahnya yang sangat sederhana ini.
Padahal Tiara sangat yakin, kalau Rumah Emira pasti beribu kali lipat lebih bagus dari rumahnya.
"Tapi besok kamu harus pulang ya Em," bujuk Tiara.
"Besok aku pulang ke rumah Oma saja. Aku tidak mau bertemu Ayah!" Emira menyusut air matanya.
"Iya ...." Tiara mengangguk.
Tiba-tiba, suara Pak Bowo terdengar dari luar rumah Tiara.
Tiara, dan Emira saling pandang, ada perasaan takut menyergap mereka, karena saat ini mereka hanya berdua saja di dalam rumah Tiara.
Bapak Tiara sedang berkeliling berjualan bakso. Sedang Ibunya tengah mengantar cucian tetangga dibantu dua orang adik Tiara.
Emira, dan Tiara ke luar menemui pak Bowo. Wajah Pak Bowo menyeringai ke arah mereka berdua.
"Hay, manis, hari ini adalah hari terakhirmu berstatus sebagai gadis. Besok kamu sudah akan resmi menjadi istri Bowo Utomo!" tawa Pak Bowo menggema, terdengar sangat memuakkan bagi telinga Emira, dan Tiara.
Pak Bowo, dan anak buahnya melangkah maju untuk mendekati Tiara, dan Emira. Emira, dan Tiara mundur untuk kembali masuk ke dalam rumah.
Pak Bowo kembali menyeringai, memperlihatkan giginya yang berwarna coklat akibat terlalu banyak merokok.
Tangannya berusaha menggapai tubuh Tiara, tangan Tiara sekarang ada di dalam genggaman tangannya.
Tiara berusaha berontak dari cengkeraman tangan Pak Bowo. Ia berteriak meminta pertolongan dengan sekuat tenaga, dan suara sekerasnya.
Anak buah pak Bowo menutup pintu, dan menguncinya. Emira berusaha menolong Tiara, tapi dua orang anak buah pak Bowo menahannya dengan memegangi kedua tangannya.
Tawa mereka membuat Emira ingin muntah rasanya. Airmata sudah membasahi pipi Tiara, dan Emira.
Suara teriakan mereka masih terdengar.
Tiba-tiba pintu depan yang tertutup rapat, dan terkunci ada yang mendobrak, pintu itu jatuh berdebam ke atas lantai. Emira melihat Ayahnya menjebol pintu, dibantu beberapa warga. Pak Bowo, dan kedua orang anak buahnya segera melarikan diri dari pintu belakang rumah Tiara.
Steven memeluk Emira dengan erat, Ia bersyukur karena datang tepat waktu. Warga yang ada di situ mengerubungi Tiara yang jatuh pingsan.
Tekanan batin yang beberapa waktu ini menghimpit pikiran, dan perasaannya membuat kondisi tubuh Tiara jadi lemah.
Cepat Steven mengangkat tubuh Tiara ke mobilnya, diikuti oleh Emira.
Steven meminta supir mobil Emira agar menunggu keluarga Tiara, dan membawa mereka ke rumah sakit nantinya.
Melihat Emira terus menangisi Tiara, yang kepalanya berbantalkan paha Emira, Steven bisa melihat, dan merasakan, betapa dekatnya mereka berdua, betapa sayangnya Emira kepada Tiara.
Steven sekarang mulai memahami, kenapa Emira menginginkan Tiara sebagai Ibunya.
Emira butuh seorang Ibu yang bisa jadi teman, jadi sahabat, untuk tempat berbagai rasa. Dan Tiara yang paling diinginkan menjadi Ibu tirinya.
Steven harus mengakui, selama ini Donna memang gagal mendekati Emira, juga kedua orang tua, dan mertuanya. Donna terlalu sibuk mengambil hati, dan perhatiannya.
***
Tiara mengerjapkan mata, yang pertama dilihatnya adalah wajah Emira berurai air mata.
"Em ... aku di mana? Jangan menangis Em," suara Tiara membuat Steven juga kedua orang tua Tiara mendekatinya.
"Syukurlah, kamu sudah sadar, Nak?" tanya ibunya, dan dijawab Tiara dengan anganggukan kepala.
"Maaf sudah merepotkan semua," kata Tiara dengan suara lemah.
"Jangan bicara seperti itu, Ra," kata Emira sambil menyusut air matanya.
Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu ruang perawatan tempat Tiara dirawat.
"Masuk," kata Bapak Tiara.
Pintu terbuka seorang juru rawat pria berdiri di ambang pintu.
"Keluarga pasien, diminta mengurus biaya administrasi," kata orang yang datang itu.
Steven mendekati Orang itu.
"Saya yang akan mengurusnya," jawab Steven, dan jawaban itu membuat Emira menatap Ayahnya dengan pandangan lekat.
Orang yang di depan pintu menatap Steven ragu.
"Saya calon suami pasien ... keluarga juga kan," kata Steven seakan ingin menghapus keraguan orang itu.
Semua mata memandang Steven tidak percaya, setelah mendengar kata-kata yang barusan diucapkannya.
Bukankah Steven sudah menolak permintaan Emira, itu yang diceritakan Emira pada mereka saat Emira baru datang ke rumah mereka tadi.
Tapi kenapa sekarang Steven bisa berubah pikiran.
Emira mendekati Ayahnya.
"Ayah?" Emira memandang wajah Ayahnya dengan raut penasaran juga kebingungan.
Steven memeluk bahu Emira lembut.
"Apapun akan Ayah lakukan agar bisa terus bersamamu My Princess," kata Steven. Emira menangis bahagia dalam pelukan Ayahnya.
"Terimakasih, Ayah sudah mau mengabulkan permintaanku," katanya. Melihat sikap lembut Steven pada Emira, orang tua Tiara semakin yakin kalau keputusan mereka menerima tawaran Emira tidaklah salah.
Tiara menundukan wajahnya, dia tidak tahu harus sedih, ataukah gembira.
Tapi, melihat kembali senyum diwajah kedua orang tuanya, itu sudah cukup membuatnya bahagia.
Steven melepas pelukannya ditubuh Emira.
"Ayah urus administrasi dulu ya," kata Steven, kemudian Steven mengangguk kepada kedua orang tua Tiara.
Tapi sedikitpun Steven tidak memandang ke arah Tiara.
Tiara cukup tahu diri, baginya apa yang dilakukannya memang bukan sesuatu yang bisa dibanggakan, karena hal ini sama saja seperti ia tengah menjual dirinya.
Tapi Tiara merasa tidak lagi mempunyai pilihan lain, baginya kebahagiaan orang tua, dan kedua adiknya adalah yang paling utama sekarang ini.
Ditatapnya punggung Steven yang menghilang dibalik pintu.
'Siapa menyangka, seorang Om bule akan menjadi suamiku, meskipun mungkin pernikahan ini tidak akan seperti pernikahan orang lain yang menikah karena cinta,' batin Tiara.
BERSAMBUNG