PART. 1 JADILAH MAMAHKU
Happy reading.
Beberapa part hanya bisa dibaca dengan memakai koin.
cara beli koin.
*klik part yang ingin dibaca, akan diarahkan pada pembelian, beli koin sekalian, kurang lebih 500 koin sampai akhir. klik G pay untuk bayar dengan shoppepay, bisa dengan gopay dan cara lainnya (bayar di Alfa, atau Indo), bisa juga dengan DANA, dan OVO..
****
Emira memandang Tiara yang duduk di depannya.
"Jadi habis SMA, kamu mau lanjut kuliah apa kerja, Ra?" tanya Emira pada sahabat kentalnya sejak tiga tahun lalu itu.
"Kuliah rasanya tidak mungkin, Em. Kamu tahu sendiri, bagimana kehidupan keluargaku. Mungkin aku akan mencari pekerjaan dengan ijasah SMA ku," jawab Tiara dengan suara lirih, dan tatapan sedih.
"Pekerjaan apa yang bisa kamu dapat dengan ijasah SMA, Tiara?" tanya Emira.
Tiara mengangkat bahunya.
"Apa sajalah Em asal halal, mungkin pramuniaga, atau pelayan cafe, atau mungkin juga asisten rumah tangga." Tiara terkesan sangat pasrah akan keadaannya.
Emira menggenggam jemari Tiara, seakan ingin memberi kekuatan pada sahabatnya itu.
"Aku ingin sekali membantumu, Ra," katanya pelan. Tiara balas menggenggam telapak tangan Emira.
"Kamu sudah terlalu banyak membantuku, Em. Kamu adalah sahabat terbaikku." Tiara menatap wajah Indo sahabatnya.
Emira Adinda Adams.
Ayahnya bule Amerika.
Ibunya asli Jawa. Sahabat yang selalu ada dalam susah Tiara, sahabat yang selalu membela Tiara dari bullyan teman-teman di sekolah mereka.
Nur Mutiara Rahmasari, masuk ke sekolah elite ini lewat jalur bea siswa.
Ayahnya berjualan bakso keliling, sementara Ibunya seorang buruh cuci. Mutiara tak berharap bisa melanjutkan pendidikannya, ada dua orang adiknya, Satrio dan Permata yang harus dipikirkannya juga.
Penghuni sekolah seakan tak rela orang miskin seperti Tiara ada di sini, mereka bilang keberadaan Tiara mengotori ke elite-an sekolah mereka.
Tapi Tiara bisa bertahan hingga sekarang, karena inilah satu-satunya kesempatan baginya mengenyam pendidikan SMA. Dan keberadaan Emira yang bersedia menjadi sahabatnya, membuat Tiara merasa tidak sendirian.
Emira sahabat dalam suka, maupun duka bagi Tiara. Padahal perbedaan mereka sangat mencolok.
Dari segi fisik.
Emira tinggi, berkulit putih, dan bermata biru.
Tiara kecil, berkulit sawo matang, dan bermata hitam.
Dari status.
Emira anak orang kaya, apapun yang ia inginkan selalu bisa ia dapatkan.
Sementara Tiara, harus bekerja keras membantu orang tuanya, demi memenuhi apa yang dibutuhkannya.
Hanya yang dibutuhkan, bukan yang diinginkan.
Tapi, mereka bisa menjadi sahabat dekat, Emira selalu jadi orang pertama yang membela Tiara saat ia dibully siswi lain di sekolah mereka.
Rasa sayang diantara mereka berdua, tumbuh dengan sendirinya. Hingga tahun ketiga persahabatan mereka, mereka tetap solid karena rasa percaya diantara mereka berdua.
***
Emira berjalan di sisi Tiara untuk menuju ke rumah Tiara. Baru saja mereka menginjak teras rumah sederhana berukuran 5X6 meter itu, terdengar suara tangisan, dan makian dari dalam rumah Tiara. Cepat Tiara, dan Emira masuk ke dalam rumah lewat pintu depan yang terbuka lebar.
Tiara, dan Emira melihat Ibu Tiara menangis, karena makian tiga orang yang berdiri di hadapan beliau.
Mereka adalah Pak Bowo si lintah darat, dan dua orang pengawalnya. Mata Pak Bowo menatap Tiara, dan Emira. Tatapannya, seperti ingin memakan mereka berdua. Bibirnya menyeringaikan senyuman yang sangat menakutkan, dalam pandangan Tiara, dan Emira.
"Ingat ya, waktu kalian tinggal dua minggu lagi. Jika dalam waktu itu, kalian tidak bisa membayar sisa hutang kalian yang 20 juta, maka Tiara akan jadi istriku, atau rumah beserta tanah ini aku sita!" suara Pak Bowo menggelegar memenuhi ruang tamu sempit itu. Dan ucapan Pak Bowo itu membuat wajah Tiara, dan Ibunya pias seketika. Terdengar suara ibu Tiara menghiba memohon agar Pak Bowo memberikan mereka waktu lagi untuk melunasi hutang mereka.
Tiara cepat memeluk ibunya, digenggam tangan Ibunya erat.
Air mata keduanya mengaliri pipi mereka. Mata Emira ikut berkaca-kaca jadinya.
Pak Bowo menatap Tiara dari ujung kepala, sampai ujung kaki.
Seringai kembali hadir di wajahnya.
"Manis, ingat ya, dua minggu lagi kamu akan resmi menjadi istriku," katanya sambil terkekeh, dan berlalu keluar dari pintu depan, bersama dua orang anak buahnya.
Ibu Tiara menangis histeris setelah Pak Bowo keluar dari rumah mereka.
Tiara, dan Emira berusaha menenangkan ibu Tiara.
***
Emira membuka pintu ruangan kantor ayahnya, tanpa peduli peringatan sekertaris ayahnya, yang mengatakan, kalau ayahnya tengah sibuk, karena sedang ada tamu.
Mata Emira terpaku, pada sosok seorang wanita cantik, yang duduk di lengan kursi yang diduduki ayahnya.
Lengan wanita itu melingkari leher ayahnya, seakan ayahnya hanya milik wanita itu seorang.
Saat melihat Emira masuk, wanita itu berdiri dari duduknya, kemudian ia melangkah ke arah Emira.
"Hallo Emira, apa kabar? Tante ke sini cuma untuk membawakan Ayahmu makan siang. Ayahmu katanya tidak sempat makan ke luar, karena sedang banyak pekerjaan. Oke Em, Tante kembali ke kantor Tante dulu ya, bye Sayang," wanita itu melambaikan tangan pada Emira, setelah mengambil tasnya yang tergeletak di atas meja.
Wanita itu, Tante Donna teman dekat ayah Emira yang tidak pernah disukainya. Wajah Emira cemberut, bibirnya dimanyunkan ke arah Ayahnya, Steven Adams.
Steven berdiri dari duduknya, lalu menghampiri Putri semata wayangnya. Steven mengecup kedua pipi putrinya.
"Ada apa?" tanya Steven.
"Ayah ingat janji Ayah?" tanya Emira.
"Janji yang mana?" tanya Steven bingung, ditarik lengan Putrinya agar duduk di sofa bersamanya.
"Ayah janji akan meluluskan apapun permintaanku, kalau aku masuk sebagai lima besar lulusan terbaik di sekolahku kan?" tanya Emira.
Steven menganggukkan kepala, lalu mengangkat bahunya.
"Hmm ... lelaki yang dipegang omongannya kan, pasti Ayah luluskan apapun yang kamu mau," ujar Steven enteng. Emira mengulurkan tangan kanan ke arah Ayahnya.
"Janji!" Tuntutnya.
Steven menjabat tangan putrinya.
"Janji" katanya sembari tertawa.
Emira mengangkat dua jarinya.
"Sumpah!" tuntutnya lagi.
"Sumpah!" jawab Steven, juga mengangkat dua jarinya, sembari tersenyum, dan kemudian mengacak rambut putrinya itu.
"Apa yang kamu inginkan, Sayang? Mobil? Apartemen? Atau ingin liburan keliling dunia?" Tanya steven.
Emira menggelengkan kepalanya cepat.
"Dua hari lagi pengumuman kelulusan, dan aku akan menagih janjiku pada Ayah hari itu," jawabnya penuh rahasia.
Steven terkekeh, dicubitnya pipi putrinya gemas.
"Oke, Sayangku. Ayah pasti akan meluluskan apapun permintaanmu," kata Steven meyakinkan Emira, kalau ia akan memenuhi janjinya.
***
Emira, dan Tiara duduk di kursi taman sekolah seperti biasa.
"Bagaimana keadaan Ibumu, Ra?" tanya Emira pada Tiara.
"Ibu menangis terus dari semalam Em. Ibu menyalahkan dirinya sendiri, karena hutang itu untuk membiayai operasi kanker mulut rahim Ibu. Aku kasihan tapi apa yang bisa aku lakukan," jawab Tiara lirih.
"Bapakmu ... bagaimana?" tanya Emira lagi.
"Bapak bilang ... Bapak lebih rela menyerahkan tanah, dan rumah kami dari pada menyerahkan aku pada pak Bowo, Em."
"Lalu kalian akan tinggal di mana?" tanya Emira lagi.
Tiara menggelengkan kepalanya pelan.
"Entahlah," jawabnya dengan suara yang sangat lirih.
"Kamu jadi mau kerja, setelah lulus Ra?" tanya Emira.
Tiara menganggukkan kepalanya lagi.
"Kamu mau tidak, kalau bekerja di rumahku?" Mata Emira menatap Tiara penuh harapan.
Tiara membalas tatapan Emira dengan tatapan bingung.
"Kerja di rumahmu?" tanya Tiara dengan suara seakan ia tidak percaya dengan pendengarannya.
Mereka memang sahabat kental, tapi sampai saat ini Emira yang selalu berkunjung ke rumah Tiara, sedang Tiara tidak pernah sekalipun berkunjung ke rumah Emira.
Setahu Tiara, Ayah Emira bekerja di luar negeri. Hanya pulang sesekali.
Emira tinggal dengan Eyangnya,
Orang tua Ibunya.
"Maksudmu, di rumah Eyangmu, Em?" tanya Tiara lagi, karena Emira diam saja tidak menjawab pertanyaannya tadi.
Emira menggelengkan kepalanya pelan.
"Rumah Ayahku. Tiga bulan lalu Ayahku kembali ke sini" jawab Emira.
"Owhh ... Aku mau Em, aku mau, jadi tukang masak, tukang cuci, tukang kebun juga mau, asal jangan jadi supir, karena aku tidak bisa menyetir," kata Tiara bersemangat, sambil terkekeh pelan.
"Bukan itu pekerjaan yang ingin Aku tawarkan kepadamu, Ra," suara Emira terdengar meragu.
"Lalu? Baby sitter? Ayahmu kawin lagi ya? Kamu punya adik?" Tiara mencecar Emira dengan banyak pertanyaan. Emira menggelengkan kepalanya ragu.
"Aku mohon, kamu jangan tersinggung ya, Ra. Aku ingin sekali membantumu. Aku ingin selalu bersamamu. Aku sudah putuskan menawarkan ini kepadamu. Ayahku belum tahu kalau aku menawarkan hal ini kepadamu. Tapi Ayahku sudah berjanji, kalau aku masuk lima besar lulusan terbaik, maka aku boleh meminta apa saja. Aku akan memintanya menuruti keinginanku ini, Ra," jelas Emira panjang lebar pada Tiara.
"Jadi pekerjaan apa yang ingin kamu berikan untukku, Em?" tanya Tiara semakin penasaran.
Emira menatap Tiara dalam, Tiara balas menatap mata sahabatnya itu.
"Berjanjilah kamu tidak akan marah padaku, berjanjilah, Ra!" Emira menggenggam jemari Tiara.
Tiara mengangkat dua jarinya membentuk huruf V.
"Janji ... katakanlah!" Desak Tiara tidak sabar lagi.
Emira menarik nafas dalam, sebelum menjawab pertanyaan Tiara.
"Pekerjaan yang ingin Aku tawarkan kepadamu Ra, bukan pekerjaan sesungguhnya, bukan hal yang biasa, karena pekerjaan ini ... eehmm, hhh ... kumohon, Ra, jadilah Mamahku, menikahlah dengan Ayahku," Emira menggenggam erat jemari Tiara, matanya yang berkaca-kaca menatap mata Tiara dengan penuh permohonan.
Permintaan Emira seperti petir disiang bolong bagi Tiara.
Mata Tiara berkedip-kedip membalas tatapan Sahabatnya.
"Ra ... Aku mohon Ra. Terdengar egois memang, karena aku memintamu menikah dengan Ayahku yang sudah tua, tapi Ayahku belum renta kok Ra, badannya masih tegap belum bungkuk, matanya masih awas tanpa kaca mata, wajahnya belum keriput meski sudah banyak umurnya, Ra. Ra, aku mohon Ra, mau ya ....," bujuk Emira sembari mempromosikan Ayahnya, di hadapan sahabatnya yang sangat ingin ia jadikan Mamahnya.
Mata Tiara masih berkedip-kedip.
Ia sepertinya tengah mengalami shock akibat permintaan Sahabatnya yang tidak terduga itu.
BERSAMBUNG