Akhirnya Emira pergi diantar supir, dengan mobilnya. Tiara membereskan bekas sarapan mereka, sambil sesekali batuknya masih terdengar.
Steven mendekatinya.
"Biar aku yang kerjakan, kamu istirahat saja di kamar." Steven ingin mengambil tumpukan piring dari tangan Tiara, tapi Tiara menolaknya.
"Tidak apa-apa, Om, aku saja," jawab Tiara, sambil melangkah ke dapur membawa bekas sarapan.
Tiara mencuci piring dengan posisi membelakangi Steven.
Steven memperhatikan Tiara dari belakang tubuh Tiara.
Matanya menyapu bagian leher Tiara yang jenjang, dan terasa sungguh menggodanya, meskipun kulitnya tidak putih, ingin sekali rasanya Steven mengecup leher Tiara.
Steven mendekati Tiara, kedua tangannya merangkul Tiara dari belakang, tangannya melingkari bahu, dan perut Tiara.
Dipeluk erat bahu, dan perut Tiara, dibenamkan wajah di tengkuk Tiara, yang sedari tadi terasa mengundangnya, untuk memberikan stempel kepemilikannya di sana.
Bibir Steven menghisap pelan tengkuk Tiara, membuat tubuh Tiara dirasakannya jadi bergetar.
"Om ... Om, Om melamun?" jari dingin Tiara yang bekas terkena air, terasa menyentuh lengannya, sehingga menyadarkan Steven dari khayalannya.
Steven mengutuki dirinya sendiri, karena sudah tidak tahu malu, membayangkan mencium, dan memeluk Tiara.
"Sebaiknya kamu istirahat, Tiara. Aku mau ke kamarku dulu." Steven bergegas pergi, dan berusaha menutupi rasa malunya, karena sempat melamunkan Tiara tadi.
Tiara pergi ke halaman samping rumah, sambil membawa segelas besar es jeruk, dan satu toples besar kue kering.
Dilihatnya Asep, tukang kebun Steven, yang merupakan keponakan dari Pak Ujang, supir Emira sedang memotong rumput di taman.
"Minum dulu, Sep!" Tiara melambaikan tangannya pada Asep.
Asep tersenyum, dan mengangguk, lalu berjalan menghampiri Tiara.
"Makasih, Non," jawabnya dengan perasaan sungkan.
"Panggil saja Tiara, Sep, kita seumuran," kata Tiara sambil duduk di kursi teras samping.
Dihari biasa, Asep hanya bekerja paruh waktu karena masih SMA, kalau hari minggu begini, baru kerja full seharian.
Orang tua Asep tinggal di kampung, di Jakarta, dia tinggal bersama Pak Ujang. Tubuh Asep tinggi, badannya tegap, wajahnya ganteng, sikap, dan bicaranya selalu sopan.
"Tidak, Non, tidak enak kalau cuma panggil nama saja," jawab Asep seraya menggelengkan kepala pelan.
"Tidak enak kenapa, Sep?" Tanya Tiara bingung sampai keningnya berkerut.
"Tidak apa-apa, Non, rasanya kurang sopan saja," jawab Asep lagi.
Tiara berdiri dari duduknya, lalu mengambil selang air di pojok taman.
Tiara mulai menyirami tanaman, sementara Asep duduk sebentar untuk meminum es jeruk yang dibawakan Tiara tadi.
Setelah minum, dan memakan beberapa keping biskuit, Asep meneruskan pekerjaannya memotong rumput, dan merapikan tanaman yang ada di taman kecil itu.
Mereka berdua terlibat percakapan seru, karena pembawaan keduanya yang mudah bergaul.
Sesekali terdengar tawa riang mereka, saat mereka bertukar cerita lucu yang pernah mereka alami.
Steven yang berada di kamarnya, di lantai dua rumah, melongok ke bawah dari jendela kamarnya.
Dilihat Tiara tengah menyiram tanaman, sedang Asep memotong rumput di taman yang tepat berada di bawah jendela kamarnya.
Steven cepat turun ke bawah, terdengar di telinganya tawa riang Tiara, dan Asep dari taman.
"Tiara!" panggil Steven, yang berdiri di ambang pintu teras samping.
Tiara, dan Asep sama-sama menatap ke arah pintu.
Asep menganggukan kepala ke arah Steven. Steven tidak merespon anggukan kepala Asep.
Cepat Tiara melepas selang di tangannya, dan mematikan kran air.
"Sebentar ya, Sep" katanya kepada Asep.
Asep hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Ya, Om, ada apa?" tanya Tiara setelah berdiri di hadapan Steven.
"Ganti bajumu, kita makan siang ke luar hari ini," kata Steven.
Tiara terdiam di tempatnya, masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya dari mulut Steven.
"Tiara, kamu mendengarkan saya?" tanya Steven tajam.
"Eeh ... iya ... iya, Om" geragap Tiara.
"Tiga puluh menit," kata Steven sambil naik ke atas menuju kamar tidurnya. Diiringi Tiara yang melangkah menguntit di belakangnya.
Tiara mandi sebentar, lalu diambil terusan denim biru yang panjang sampai ke bawah lututnya.
Dikuncir ke atas rambut panjangnya, Tiara juga memakai bedak, dan lip gloss. Dipakai sepatu flat warna biru tua, plus tas slempang kecil berwarna senada.
Saat tiba di ruang tamu, dilihat Steven sudah menunggunya. Steven terlihat memakai hem biru muda, lengan pendek, dan celana pendek biru tua.
'Om bule, ganteng sekali, dan terlihat lebih muda dari usianya, yang hampir empat puluh tahun,' batin Tiara.
Steven menatap Tiara dari ujung kaki sampai ke ujung rambutnya.
Yang ditatap jadi mengkerut cemas, Tiara takut penampilannya mengecewakan Steven.
"Ayo," Steven berjalan menuju garasi diiringi Tiara di belakangnya.
Di dalam mobil, Steven benar-benar terlihat sangat santai.
"Bagaimana kuliah kalian?" tanya Steven membuka percakapan, untuk menghapus keheningan di antara mereka berdua.
"Alhamdulillah lancar, Om," jawab Tiara, tanpa menoleh pada Steven, matanya tetap lurus menatap ke depan, ke arah jalan yang akan mereka lewati.
"Betah tinggal di rumah saya?" tanya Steven lagi.
"Alhamdulillah betah, Om" jawab Tiara lagi.
Steven memandang Tiara dengan perasaan kesal di hatinya, karena mendengar jawaban Tiara yang singkat.
Mobil berhenti di sebuah depot sederhana, yang menyediakan bakso,
dan mie ayam.
DEPOT BAKSO MUTIARA
Mulut, dan mata Tiara terbuka lebar, Ia merasa nama depot ini seperti namanya. Steven, dan Tiara keluar dari mobil. Steven menggenggam jemari Tiara, dan membawanya masuk ke dalam depot itu.
"Tiara!" Seru sebuah suara yang sangat dikenal Tiara, suara Ibunya.
"Ibu!" Tiara terperangah melihat ibunya. Ibu Tiara memeluk Tiara dengan erat, ada kerinduan di dalam hatinya.
"Ibu, kenapa di sini, Ibu kerja di sini?" tanya Tiara bingung. Ibu Tiara menyusut air mata, yang jatuh dengan sendirinya, karena perasaan bahagia yang tengah melanda.
"Suamimu yang membelikan tempat ini, dan juga memberikan uang untuk modal usaha kami, untuk memulai usaha kami di sini," jawab ibunya, membuat Tiara terperangah tidak percaya.
Tiara menatap Steven, Ia tidak menyangka Steven memberi perhatian besar pada keluarganya.
"Kamu ngobrol sama ibu dulu ya, aku mau bantu Bapak melayani pembeli," kata Steven, sebelum melangkah pergi meninggalkan Tiara, dan mendekati Bapak Tiara untuk membantu mengantarkan pesanan pembeli.
"Kamu mau makan bakso, mie ayam, atau masakan ibu, ada sayur asem dan ikan asin sama sambel terasi?" tanya Ibunya.
"Masakan ibu saja," jawab Tiara riang.
"Kalau begitu kita naik ke atas saja, ajak suamimu. Kami sementara tinggal di sini, menunggu rumah kita selesai dibangun," kata ibu Tiara.
"Dibangun? Maksud ibu direnovasi?" tanya Tiara bingung.
Ibunya menggeleng
"Rumah kita sudah dirubuhkan kemaren, jadi mulai besok akan dibikin bangunan baru. Semua suamimu yang melakukannya," kata Ibu Tiara, sambil memandang Steven yang masih sibuk ikut membantu melayani pembeli.
Tiara benar-benar kaget mendengar apa yang diceritakan ibunya.
Begitu banyak keluarga mereka berhutang pada Steven ternyata.
Entah bagaiamana mereka akan membayar nanti.
Tiara mendekati Bapaknya yang masih sibuk melayani pesanan pembeli.
Tiara mencium tangan Bapaknya.
"Bapak ...." Tiara menyapa Bapaknya dengan suara pelan.
Bapaknya tersenyum ke arah Tiara.
"Kamu bisa bantu Bapak?" tanya Bapaknya.
"Eh, Bapak, Tiara itu mau makan siang dulu," sergah ibunya.
"Oh ya sudah, ajak suamimu sekalian," kata Bapaknya.
Tiara mendekati Steven yang tengah membantu mengangkat mangkok kotor ke tempat cuci.
"Om, kita ke atas, makan siang dulu," kata Tiara pelan.
Steven mengangguk
"Kamu duluan, nanti aku menyusul," jawab Steven. Tiara mengangguk, lalu lebih dulu naik ke lantai atas.
Ibunya tengah menyiapkan makan siang untuk mereka di meja makan.
Sesaat kemudian Steven datang.
"Kalian makan saja, Ibu bantu Bapak dulu di bawah ya," kata Ibu Tiara.
"Om ... ehhh, saya nengucapkan terima kasih, atas semua yang Om berikan untuk keluarga saya." Tiara menatap Steven yang tengah mengunyah makanannya.
Tiara agak heran juga, melihat bule ternyata lahap sekali makan dengan menu seadanya begini.
Steven balas menatap Tiara, setelah kunyahannya ia telan, baru Ia bicara.
"Sejak awal, saya sudah katakan, saya akan bertanggung jawab atas kehidupanmu, dan keluargamu. Saya tahu betul, orang tuamu bukanlah orang yang hanya suka menadahkan tangan, mereka pekerja keras, saya pikir dengan cara ini mereka pasti mau menerima bantuan saya." Steven menjelaskan panjang lebar.
"Tapi, Om juga ingin membangunkan rumah untuk orang tua saya, saya kira itu ...."
"Anggap saja itu sebagai hadiah pernikahan dari Saya untukmu, dan kamu berikan kepada orang tuamu," potong Steven.
Tiara tidak bersuara lagi, mendengar kata-kata Steven. Hatinya masih takjub akan apa yang sudah Steven lakukan untuk keluarganya.
Setelah makan, Steven lebih dulu turun ke bawah, sementara Tiara membereskan meja makan, dan mencuci perabot bekas makan mereka, baru setelah itu Tiara menyusul Steven turun, kembali ke depot.
Pengunjung memang sedang ramai-ramainya, karena jam makan siang. Karena depot baksonya baru buka, jadi belum ada pegawai yang membantu orang tua Tiara, hanya ada kedua adiknya yang akan membantu sepulang mereka dari sekolah.
Sampai hari menjelang sore Tiara, dan Steven berada di sana.
Drrt....
Drrt....
Ponsel jadul Tiara bergetar.
"Emira," gumamnya
"Hallo Em."
"..."
"Kami di depot bakso orang tuaku."
"..."
"Oh ya, aku tunggu"
Dimatikan ponselnya
"Siapa?" suara Steven dari belakangnyq mengagetkan Tiara.
"Emira."
"Ada apa?"
"Mau menyusul kesini."
"Mau apa ke sini?"
Tiara menatap Steven
'Niih, Om bule aneh deh, ke sini ya makan baksolah,' batinnya.
"Mau makan bakso."
"Sama siapa?"
'Duuh nih om kenapa mendadak bawel banget siih,' batin Tiara.
"Enggak tahu," jawab Tiara mulai kesal.
Tidak berapa lama Emira datang dengan supir.
"Sendirian?" tanya Tiara
"Heh ... Ayah mana?" tanya Emira, sambil matanya mencari-cari Ayahnya.
Tiara ikut menatap sekeliling juga.
"Mana ya, tadi barusan ada," jawab Tiara.
Emira menghampiri orang tua Tiara, lalu Ia menyalami keduanya.
Steven ke luar dari bagian belakang depot. Bajunya agak basah, mungkin karena ikut membantu mencuci mangkok, dan gelas.
"Ayah, dari mana? Kenapa basah bajunya?" tanya Emira sambil mengamati Ayahnya.
"Dari bantu Satrio, cuci mangkok di belakang" jawab Steven.
Emira menatap ayahnya, ia tidak percaya dengan jawaban Ayahnya.
Tiara jadi tidak enak hati, karena merepotkan Steven, sampai harus ikut membantu mencuci mangkok, dan gelas juga.
"Sebaiknya, Om duduk saja sama Emira, temani Emira makan bakso," kata Tiara sambil menatap keduanya.
"Aku sudah kenyang Ra. Aku mau bantuin kalian juga ah," kata Emira bersemangat, sambil mengedipkan sebelah matanya pada Tiara.
Kali ini Tiara tidak mengerti apa arti kedipan mata Emira.
BERSAMBUNG
Maaf