Tiara menatap langit senja yang mulai diliputi awan mendung.
Ia kuliah sore hari ini, dan sedang berdiri menunggu jemputan Pak Ujang di depan pintu kampusnya.
Sudah dua hari ini Emira pergi ke Jogja, untuk menemani Oma, dan Opanya yang merupakan orang tua ibunya, mereka ingin menjenguk keluarga mereka yang tinggal di sana.
Drrtt ... drrtt.
Ponsel Tiara berbunyi.
"Pak Ujang," gumamnya saat melihat kontak yang tertera di layar ponsel jadulnya.
"Assalamualaikum, Pak."
"..."
"Ooh begitu ya, tidak apa-apa, Pak, saya bisa naik taksi nanti."
"...".
"Ya, walaikumsalam." Tiara mematikan ponselnya.
Pak ujang tidak bisa menjemput, katanya harus pulang kampung mendadak, karena ada saudaranya yang meninggal. Tiara bingung sendiri, ingin ke luar halaman kampus untuk menunggu taksi, tapi hujan sudah mulai turun.
Disaat ia tengah menimbang-nimbang untuk menembus hujan, atau menunggu hujan reda, tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat di hadapannya.
"Tiara!"
Andrew turun dari mobil menembus rintik hujan mendekati Tiara.
"Andrew ...."
"Mau pulang? Aku antar ya," tawarnya.
Tiara menatap Andrew ragu, antara menolak, atau menerima tawaran Andrew. Saat ini tubuhnya mulai merasa menggigil karena kedinginan.
"Ayo, Ra, hari mulai gelap, hujan lagi, kampus mulai sepi pula. Kamu tidak usah takut, aku cuma mau bantu kamu," bujuk Andrew.
Tiara menatap mata Andrew, ia melihat ada ketulusan di sana.
Akhirnya Tiara menganggukkan kepala, tanda menerima tawaran Andrew. Andrew melepas jaket yang dipakainya untuk menutupi kepala mereka berdua dari air hujan.
Di dalam mobil.
"Kata Dika kamu saudara angkat Emira, benar, Ra?" Tanya Andrew memulai percakapan diantara mereka.
"Iya benar."
"Sejak kapan?"
"Sejak kuliah."
"Ooh, kamu betah tinggal di rumah Emira?"
"Iya."
"Ayahnya tidak over protektif sama kalian?"
"Tidak, biasa saja."
Andrew menatap gemas pada Tiara, karena jawaban Tiara yang singkat saja.
'Ini cewek ngomongnya pelit amat,' pikir Andrew di dalam hatinya.
Di lirik sosok Tiara yang duduk di sampingnya, mata Tiara tampak fokus ke jalan didepannya.
'Tidak cantik, tapi menarik, dan terasa ada sesuatu yang istimewa, tapi apanya yang istimewa,'
Andrew bingung juga.
Andrew merasa betah saja menatap wajah Tiara yang sering tanpa ekspresi. Tiara tampak sangat berbeda sekali dengan gadis-gadis yang selama ini mengejar Andrew.
Mereka gadis-gadis cantik kelas atas, yang sering menghujaninya dengan berbagai hadiah, dan rayuan juga cinta, dan perhatian. Sedangkan Tiara jangankan mencari perhatiannya, melirik saja tidak. Baru kali ini Andrew merasakan yang namanya mengejar cinta, biasanya dia yang dikejar-kejar Cinta.
"Stop di depan," suara Tiara yang tiba-tiba mengejutkan Andrew.
Andrew menghentikan mobilnya di depan pintu pagar. Asep yang ada di dalam pos jaga di dekat pagar melongokkan kepala dari balik pintu pos. Tiara membuka jendela mobil, lalu melambaikan tangannya kepada Asep.
"Bisa tolong buka pintu pagarnya, Sep," pinta Tiara.
"Ooh iya, Non."
Bergegas Asep membuka pagar dengan satu tangannya, sedang tangan yang lain memegang payung.
Tiara menolehkan kepalanya ke arah Andrew.
"Terimakasih tumpangannya, Ndrew." Tiara memberikan senyumnya kepada Andrew, sebelum Ia membuka pintu mobil.
"Sama-sama, Ra," sahut Andrew.
Asep mendekati Tiara, dan memayunginya agar Tiara tidak terkena air hujan.
"Aku pulang ya, Ra ... bye." Andrew melambaikan tangannya pada Tiara.
Tiara mengangguk, dan balas melambaikan tangannya juga.
Andrew menjalankan mobilnya kembali. Asep mengantarkan Tiara sampai ke teras setelah menutup pintu pagar.
"Kamu tidak ikut pulang kampung, Sep?" tanya Tiara.
"Tidak, Non, lagi banyak ulangan di sekolah," jawab Asep.
"Ooh ... ya sudah, aku masuk dulu ya," kata Tiara.
Asep menganggukkan kepala, lalu berbalik kembali ke pos jaganya.
Tiara melangkah masuk, lalu naik ke kamarnya.
Setelah mandi, dan sholat maghrib, baru Tiara turun ke dapur, berniat membantu bibi menyiapkan makan malam.
"Bi, Om Steven sudah pulang belum?"
"Sudah, Non, ada di kamarnya" jawab Bibi.
"Ooh, sudah lama?" tanya Tiara lagi.
"Lepas Ashar tadi, Tuan sudah pulang, Non," jawab bibi lagi.
"Terimakasih, Bik" Tiara mengangguk.
Hatinya agak cemas, takut Steven melihat, kalau hari ini Andrew yang mengantarkannya pulang.
Tiara masih ingat dengan kata-kata Steven beberapa hari lalu, yang melarangnya dekat-dekat dengan lelaki lain. Tiara, dan Bibi sudah selesai menata meja untuk makan malam. Tiara naik ke atas, memanggil Steven untuk makan malam.
"Om, Om, makan malam sudah siap!" Tiara mengetuk pintu kamar Steven.
Steven muncul di depan pintu, hanya memakai celana pendek, dan bertelanjang d**a.
Tiara memalingkan mukanya yang merona.
"Kamu duluan, nanti saya menyusul," suara Steven sedingin tatapan matanya, dan terasa lebih dingin dari cuaca di luar sana. Tiara mengangguk, hatinya mulai terasa cemas saat melihat sikap Steven yang tidak seperti biasanya.
Mereka berdua makan, tanpa ada yang berusaha memulai percakapan.
"Tiara kita harus bicara, aku tunggu di ruang kerjaku," akhirnya Steven bicara juga, setelah ia menyelesaikan makan malamnya.
Tiara menganggukkan kepala
"Ya, Om," jawabnya singkat.
Tiara menghabiskan makannya dengan cepat, takut Steven terlalu lama menunggunya.
Diketuk pintu ruangan kerja Steven.
"Masuk!" suara sedingin es menyahut ketukannya dari bagian dalam ruangan. Tiara membuka pintu pelan, lalu masuk, dan menutup pintunya kembali.
"Duduk!" perintah Steven.
Tiara duduk di sofa yang ditunjuk Steven, ia mulai merasa gemetar mendengar suara steven.
"Siapa yang mengantarmu pulang tadi?" tanya Steven tajam, sambil menatap tepat ke mata Tiara, membuat Tiara cepat menundukan kepala
'Nah ... betulkan, pasti Om bule tadi melihat dari atas kalau Andrew yang sudah mengantaku pulang.'
"Tiara, jawab pertanyaan saya!" Steven mulai tidak sabar menunggu jawaban Tiara.
"Andrew, Om" jawab Tiara pelan.
"Kenapa tidak menelponku untuk minta jemput? Tatap mata saya, saat saya bicara Tiara!"
Tiara mengangkat kepala dengan perasaan takut mendengar nada suara steven yang keras.
"Saya tidak punya nomer kontak Om," jawab Tiara terbata.
"Apa? Jangan bercanda, Tiara!" Steven sungguh tidak percaya berbulan-bulan sudah mereka menikah, dan Tiara mengaku tidak punya nomer kontaknya.
"Sungguh, Om," jawab Tiara berusaha untuk meyakinkan Steven.
"Sini, mana hp mu!" tangan Steven terulur, meminta Tiara menyerahkan ponselnya. Tiara mengeluarkan hp dari saku baby doll yang dipakainya.
Diserahkan ponsel jadul yang cuma bisa untuk telpon, dan sms itu ke tangan Steven. Steven menatap tidak percaya ponsel di tangannya.
"Ini ... hp mu?" tanyanya sambil menggenggam hp jadul itu di tangannya. Tiara menganggukkan kepala dengan wajah merona.
'Ya ampun Tiara apa kata orang kalo tahu istri seorang Steven adams ponselnya jadul begini, memalukan ....,' gumam hati Steven.
"Kenapa tidak kamu gunakan kartu yang aku berikan kemaren untuk membeli ponsel baru?" tanya Steven sengit. Tiara menggelengkan kepala.
"Ini masih bisa dipakai, Om," jawab Tiara polos. Steven menarik nafas berat sambil melihat kontak siapa saja yang ada di ponsel Tiara.
Memang tidak ada namanya tertera di sana, tapi ada beberapa nama pria yang tidak dikenalnya.
Drrt ... drrrtt
Ponsel milik Tiara di tangan Steven bergetar. Ada sms masuk
Tiara menatap ke arah ponselnya, rasa penasaran akan sms yang masuk membuat matanya tidak berkedip.
Steven membaca sms yang masuk.
Selamat malam Tiara.
Selamat tidur.
Mimpikan aku dalam tidurmu ya.
Sampai jumpa besok.
Dari Andrew.
Wajah Steven menyiratkan kemarahan, dengan gerakan kasar Ia mencabut sim card dari hp Tiara.
"Simpan ponselmu, jangan digunakan lagi, besok aku akan membelikanmu yang baru," katanya sembari menyerahkan ponsel Tiara kembali ke tangan Tiara, tanpa ada sim card lagi di dalamnya.
"Tapi kartu ku, Om?" tanya Tiara bingung.
"Mulai malam ini, tidak boleh ada nomer kontak lelaki lain di ponselmu, selain nomer kontakku, Ayahmu, adikmu, dan Pak Ujang, mengerti Tiara!?" Steven menatap Tiara tajam membuat Tiara mengkerut karena merasa takut.
'Kenapa Om bule begini?
Siapa tadi yang sms ssehingga dia semarah ini,' pikir Tiara.
"Tiara!" Steven meninggikan suaranya karena Tiara tidak juga bersuara.
"I ... iya, Om mengerti." Tiara menganggukkan kepalanya takut.
'Ya ampun Om, jangan membuat aku berpikir, kalo Om sedang cemburu dong. Jangan membuat aku berharap lebih dari Om,' batin Tiara.
Melihat Tiara masih menggenggam ponselnya hati Steven merasa kesal.
"Aku bilang cepat simpan ponselmu, besok aku akan membelikan ponsel baru untukmu."
"Tidak perlu, Om, ini ...."
"Jangan membantah, Tiara!" Steven meninggikan suaranya lagi.
"I ... iya, Om, maaf" jawab Tiara, dan langsung memasukan ponsel ke saku bajunya.
"Sekarang kamu boleh ke luar," kata Steven.
Tiara berdiri lalu melangkah ke luar meninggalkan Steven yang masih duduk di sofa ruang kerjanya.
Steven bersandar di sofa, merasa bingung dengan hatinya sendiri.
'Apa yang kulakukan tadi?
Ini kedua kalinya, aku melakukan sesuatu kepada Tiara di luar kendali.
Aku yang menegaskan padanya sejak awal, kalau aku menganggapnya tidak lebih dari sahabat Emira.
Tapi kenapa sikapku akhir-akhir ini, seakan aku seorang suami yang mencemburui istrinya. Jangan katakan kalau aku mulai jatuh cinta kepadanya. Itu sangat tidak mungkin, masih banyak wanita di luar sana yang lebih segalanya dari dia, yang mengantri untuk mendapatkan cintaku,' batin Steven mulai gelisah dengan apa yang sikapnya yang sudah Ia perlihatkan di depan Tiara.
Drrt ... drrrtt
Ponsel Steven bergetar.
"Emira," gumamnya.
"Ayah, Tiara mana? Kenapa ponselnya tidak aktif. Ayah tidak apa-apakan dia kan?" cerocos suara Emira dari seberang sana.
"Ya ampun, Em, bisakan salam dulu, say hello dulu, tanya kabar Ayah dulu, jangan langsung nyerocos begitu," kata Steven lembut pada putrinya.
"Iya ... Assalamuallaikum, hello Ayah, apa kabar, sekarang jawab pertanyaanku, mana Tiara, kenapa hpnya tidak aktif?"
Steven menghela nafas, sebelum menjawab pertanyaan Putrinya.
"Walaikumsalam, Ayah baik, Tiara ada di kamarnya, soal hpnya nanti tanya saja sendiri."
"Aku mau bicara sama Tiara, kasih hp Ayah ke dia ya," mohon Emira.
"Iya ... iya, matikan dulu ponselnya, nanti Ayah hubungi lagi. Ayah masih di ruang kerja sekarang,"kata Steven.
"Oke, I love you, Ayah!"
"Love u too, My Princess"
BERSAMBUNG