Sebelas tahun kemudian...
"Sean! Turun, Sayang..." teriak Sahara sambil menata meja makan.
Seorang anak laki-laki berkaos putih turun dari tangga dan langsung duduk di meja makan. Sahara tersenyum kecil sambil melepas apronnya. Perempuan itu dengan cepat duduk di depan anak laki-laki itu. Mengambil sesendok besar nasi dan meletakkannya di piring Sean.
"Makan yang banyak. Ini hari ulang tahunmu," kata Sahara.
Sean hanya mengangguk dan mengambil daging di depannya. Melihat gelas di depan Sean kosong, Sahara langsung mengisinya dengan jus tomat yang dibuatnya.
"Apa Mami sudah mengucapkan selamat ulang tahun tadi? Belum, ya? Tapi kau pasti sudah membacanya di surat yang Mami tulis, kan? Bagaimana? Apa kau suka kado yang Mami berikan?" tanya Sahara.
Sean masih fokus pada makanannya dan hanya mengangguk kecil.
"Sean, Mami bertanya. Mami butuh jawaban," kata Sahara.
"Aku suka," jawab Sean dengan wajah datar.
Sahara menarik napas panjang. Senyumnya meredup dan perempuan itu hanya menatap anaknya yang masih bersikap dingin padanya itu.
"Apa kau marah pada Mami karena tak bisa menemanimu jalan-jalan hari ini? Kenapa kau tak ingin bicara dengan Mami, Sean?"
Sean menatap ibunya. "Aku tak marah. Aku baik-baik saja."
Sahara berdiri dan duduk di samping Sean. "Mami minta maaf. Mami tak menepati janji Mami padamu lagi. Padahal Mami sudah berjanji tahun lalu, kalau di ulang tahunmu yang ke sepuluh, Mami akan seharian bersamamu. Tapi Mami tak bisa melakukannya. Mami minta maaf," kata Sahara dengan sedih.
Sean meletakkan sendoknya. "Tidak apa-apa, Mi. Sean mengerti. Mami kan banyak kerjaan di rumah sakit," katanya.
Sahara menatap anaknya takjub. Tak pernah mengerti kenapa anak yang baru berusia sepuluh tahun itu begitu dewasa. Meskipun Sahara sibuk dan hampir seharian di rumah sakit, Sean tak pernah protes padanya. Sean selalu mementingkan pasien Sahara yang membutuhkan Sahara daripada dirinya sendiri. Tanpa sadar, mata Sahara berkaca-kaca. Perempuan itu menyentuh puncak kepala Sean dengan penuh kasih sayang.
"Bagaimana menurutmu? Apa Mami membolos saja hari ini? Apa Mami ikut saja denganmu dan Papi?" tanya Sahara.
Sean meminum jus tomatnya lagi. "Aku tahu Mami tak akan melakukannya," katanya dengan datar.
Sahara tersenyum, "Benar. Mami tak bisa melakukannya. Hari ini Mami harus menggantikan Dokter Maria, Sayang. Dokter Maria sedang sakit, jadi ia tak bisa piket malam nanti." Sahara berbisik di telinga anaknya. "Mami juga tak suka bekerja di hari Minggu, kau tahu?" ucapnya.
Sahara kembali ke kursinya dan mulai makan sambil sesekali menatap anak laki-lakinya yang sudah bertambah besar. Sahara tersenyum kecil, tak tahu sejak kapan malaikat kecilnya itu tumbuh sebesar ini.
Sean sudah menyelesaikan sarapannya dan berdiri untuk mencuci tangannya. Anak itu kembali ke meja makan dan menghabiskan jus tomatnya.
"Mami," panggil Sean.
Sahara mendongak. "Ada apa, Sayang?”
"Kenapa Mami memberiku gitar? Bukannya Mami tak suka aku bermain gitar?" tanya Sean.
Sahara terdiam. Tak tahu bahwa Sean akan menanyakan hal itu. Perempuan itu meletakkan sendoknya dan menatap Sean dalam.
"Mami bukannya tak suka kau bermain gitar, Sean. Mami hanya -" Sahara terdiam memikirkan kata-kata yang tepat. "Mami hanya ingin kau lebih fokus pada sekolahmu. Kau sering lupa waktu jika bermain gitar. Kau tahu itu, kan?"
Sean menggigit bibir bawahnya. "Mami tak perlu memberikanku gitar kalau memang Mami tak suka aku bermain. Aku tak akan melakukan apapun yang Mami tak suka," kata Sean dengan wajah serius.
Sahara mengerjapkan matanya. Kata-kata Sean membuat hatinya bergetar. Kenapa anak itu bisa berpikir untuk mengatakan hal itu. Kenapa Sean tak seperti anak lainnya? Yang tertawa senang ketika ibunya memberikannya barang yang ia suka. Kenapa Sean harus memikirkan perasaannya? Bukankah Sahara yang harusnya berpikir begitu?
Sahara mendekati Sean dan menunduk di depannya. "Sean - bisakah kau tak cepat-cepat dewasa? Kau tak perlu berpikir seperti itu, Sayang. Harusnya Mami yang berpikir seperti itu. Apapun yang kau suka, meskipun Mami tak suka, Mami harusnya membiarkanmu melakukannya. Apapun itu yang membuatmu bahagia. Mami akan melakukan semua. Mami akan memberikan semuanya." Sahara menarik napasnya panjang. "Jadi, jangan terlalu memikirkan perasaan Mami, oke? Mami hanya butuh kau senang. Dan kau boleh bermain gitar kapanpun kau ingin. Mami salah karena sudah melarangmu dulu. Sekarang kau boleh melakukan apapun yang kau suka. Kau paham?" kata Sahara sambil menyentuh tangan kecil Sean.
"Jadi, aku boleh memainkannya? Di rumah?"
"Tentu saja, Sayang. Kau boleh memainkannya dimanapun kau mau."
Sean tersenyum lebar. Senyum manis yang membuat Sahara tertegun - karena senyum anak itu mirip sekali dengan senyum laki-laki yang membuatnya ada di dunia. Meskipun Sahara menyukai ketika Sean tersenyum, tapi ia tak bisa memungkiri jika senyum Sean membuatnya mengingat orang yang paling ia benci di dunia ini.
"Terima kasih, Mami," kata Sean sambil memeluk ibunya.
Karena itu juga - Sahara tak suka melihat Sean bermain gitar. Karena itu mengingatkan Sahara pada laki-laki itu - yang juga pemain gitar. Sahara tahu ia tak boleh mengambil kebahagian Sean hanya karena pria itu, tapi Sahara tak bisa lupa. Berapa kali pun Sahara berusaha, ia tak bisa lupa bahwa Sean adalah anak dari gitaris dan vokalis paling terkenal di negara ini - yaitu Aron Roosevelt.
Dan pria itu bahkan tak tahu kalau Sean ada di dunia ini.
"Sekarang Sean harus segera ganti baju. Papi pasti akan segera datang," kata Sahara.
Terdengar suara bel pintu apartemennya.
"Dengar, itu pasti Papi. Mami akan menemani Papi makan dulu dan Sean ganti baju, oke? Segeralah turun, Papimu pasti sangat merindukanmu," kata Sahara lalu berdiri untuk membukakan pintu.
Sahara tersenyum lebar. Seorang pria berambut cepak berdiri di depan apartemennya. Pria itu membuka tangannya lebar dan Sahara langsung memeluknya. Aroma segar seperti perpaduan kayu dan citrus langsung membelai indra penciuman Sahara. Aroma pria itu tak pernah berubah - dan Sahara menyukainya.
"Aku sangat merindukanmu," kata Samuel.
"Aku juga," balas Sahara.
Samuel melepaskan pelukannya. "Dimana Sean?" tanyanya.
"Di kamar berganti baju." Sahara menerima bunga mawar yang dibawakan Samuel. "Kau pasti belum sarapan, kan? Sambil menunggu Sean, makanlah lebih dulu. Aku sudah memasak banyak makanan," kata Sahara sambil masuk ke dapur.
Samuel melihat isi apartemen itu dengan senyum kecil. Senyumnya melebar ketika melihat fotonya, Sahara, dan Sean yang masih terpajang di ruang tamu. Laki-laki itu melepas jaket kulitnya dan duduk di meja makan.
"Apa kau sengaja memasak pagi-pagi untukku?" tanya Samuel dengan tatapan menggoda.
Sahara tertawa, "Bukan untukmu, Sam. Tapi untuk Sean yang ulang tahun," kata Sahara.
Samuel mengerucutkan bibirnya. "Kenapa kau sangat jujur? Harusnya kau bohong saja kalau kau memang memasak untukku," kata Samuel.
Sahara meletakkan piring di depan Samuel dan mengisinya dengan nasi. Perempuan itu menuangkan air minum untuk Samuel lalu duduk di depan pria itu. Mengamatinya baik-baik, karena sudah satu bulan ia tak bertemu dengan Samuel.
"Makanlah pelan-pelan, Sean pasti akan lama karena dia belum mandi," kata Sahara.
Samuel melirik Sahara dengan alis terangkat. "Aku sangat suka masakanmu. Bagaimana bisa perempuan seperti kau bisa pandai memasak? Aku yakin kau hanya tahu belajar selama ini," kata Samuel.
"Kau lupa aku anak pembantu?"
"Oh benar. Kau pasti banyak membantu ibumu dulu."
Sahara bersandar ke kursinya. "Maaf aku tak bisa ikut dengan kalian hari ini. Aku harus menggantikan Maria sampai malam," kata Sahara.
"Kau sudah mengatakannya di telepon." Samuel meletakkan sendoknya di piring yang sudah kosong. "Tak apa-apa, Sahara. Kesempatan ini bisa kugunakan untuk lebih dekat dengan Sean," kata Samuel.
"Jangan menghabiskan banyak uang untuk Sean. Aku tak enak."
"Apa maksudmu? Aku bisa menghabiskan berapapun uang untuk anakku. Kau tak bisa melarangku."
"Tapi, Samuel -"
Samuel tersenyum miring. "Kau sepertinya masih berpikir kalau Sean hanya milikmu." Samuel menyeka sudut bibirnya dengan tisu. "Tidak, Sahara. Sean juga milikku. Aku adalah ayahnya," kata Samuel dengan serius.
Sahara mengangguk pelan. "Aku tahu. Aku hanya tak ingin Sean menghabiskan uangmu," ujar Sahara.
"Uangku tak akan pernah habis. Kau tahu itu."
"Baiklah. Baiklah. Kau si paling kaya di dunia." Sahara mendekatkan wajahnya pada Samuel. "Jadi bagaimana hubungan dengan Luke? Kalian masih bersama, kan?" tanya Sahara dengan suara rendah.
Sahara dapat melihat sekilas wajah kaku Samuel ketika ia menyebutkan Luke. Padahal dulu Samuel selalu menceritakan semuanya tentang kekasihnya itu. Dengan wajah berseri-seri seakan Luke adalah seluruh dunianya. Tapi sejak dua tahun yang lalu, semuanya berubah. Samuel tak lagi berseri-seri ketika bercerita tentang Luke.
"Aku tak ingin membicarakannya. Aku takut Sean akan mendengar," kata Samuel datar.
Sahara mengangguk. Ia juga tak ingin Sean mendengar pembicaraan tentang Luke. Sean pasti akan pingsan jika tahu bahwa pria yang ia kira ayahnya menyukai pria lain.
Ya. Samuel adalah seorang gay.
Dan pria itu juga mantan suami Sahara. Pria yang Sean kira adalah ayahnya selama ini.
Sebelas tahun yang lalu, Samuel meminta Sahara untuk menikah dengannya untuk menyembunyikan hubungannya dengan Luke dari orang tuanya. Dan Sahara menerima lamaran laki-laki itu agar Sean memiliki ayah ketika lahir. Mereka menikah dengan tujuan masing-masing dan mereka tak pernah melibatkan perasaan apapun. Sahara hanya menganggap Samuel sebagai sahabatnya dan Sahara juga yakin Samuel juga begitu.
Hingga tiba-tiba Samuel meminta bercerai darinya. Sahara tak tahu alasan kenapa tiba-tiba Samuel melakukan itu. Setiap kali Sahara bertanya pada Samuel, pria itu selalu mengubah topik pembicaraan dan tak pernah menjawabnya. Tapi Sahara yakin itu pasti ada hubungannya dengan Luke. Karena beberapa bulan sebelum mereka bercerai, hubungan Samuel dan Luke tak terlihat baik.
Sahara takut hubungan Samuel dan Luke hancur karena dirinya. Tapi satu tahun ini, Sahara masih melihat mereka berdua tetap bersama. Mereka masih sering bertemu dan berlibur bersama. Jadi Sahara cukup tenang - setidaknya Samuel tetap bahagia bersama Luke.
"Ayah...." teriak Sean dari lantai atas.
"Hei, lihat siapa ini! Anak ayah tampan sekali..." teriak Samuel ketika melihat Sean menuruni tangga.
Mereka berpelukan sangat erat dan Samuel mencium pipi Sean. Sahara berdiri dan berjalan mendekati mereka. Cukup senang karena hubungan Samuel dan Sean tak pernah berubah meskipun mereka sudah bercerai. Yang berubah hanyalah - mereka tak satu rumah lagi. Tapi kadang kalau Sahara sangat sibuk - ia menitipkan Sean di rumah Samuel.
"Sudah siap pergi? Jadi, kita kemana dulu hari ini?" tanya Samuel sambil menggendong Sean.
Sean memeluk Samuel dari belakang. "Kita ke game center dulu. Ada game baru yang harus kita coba, Ayah. Semua temanku sudah mencobanya," kata Sean dengan gembira.
"Oke. Siap. Kita ke game center. Ayah akan bermain denganmu. Siap-siap kalah dari ayah ya," kata Samuel dengan cengiran khasnya.
"Aku tak akan kalah dari ayah. Ayah tak pintar bermain game."
"Ayah pintar. Ayah hanya mengalah darimu selama ini. Kalau tidak, kau pasti akan menangis kalau kalah, kan?"
"Mana ada? Aku tak pernah menangis. Ayah jangan sembarangan," ucap Sean.
Sahara tersenyum melihat mereka berdua. Sean bercerita dengan wajah girang ketika bersama Samuel. Berbeda ketika bersamanya. Kadang Sahara melihat sinar mata sedih anaknya itu ketika bersamanya.
"Sean," panggil Sahara ketika mereka keluar dari apartemen.
Samuel dan Sean berbalik menghadap Sahara. Mereka berdua menunggu Sahara mengucapkan sesuatu dan Sahara tersenyum sambil memegang pintu apartemen.
"Selamat ulang tahun. Mami lupa mengatakannya tadi."
Sean mengangguk dengan senyum kecilnya. Senyum kecil yang terlihat sedih. Entah kenapa Sahara tak menyukainya. Sahara lebih suka Sean menatapnya dengan senyum lebar seperti saat Sean bersama Samuel. Senyum lebar yang lepas - dan lebih terlihat seperti anak kecil. Seperti anak laki-laki berumur sepuluh tahun pada umumnya.
Memikirkan itu membuat mata Sahara berkaca-kaca. Dan seperti tahu kalau Sahara sedih, Sean turun dari gendongan Samuel dan memeluknya dengan wajah kakunya. Padahal Sahara tak pernah mengatakannya - tapi Sean selalu tahu jika Sahara bersedih. Anak itu selalu tahu dan memeluk Sahara seperti sekarang.
"Aku pergi dulu dengan Ayah. Sampai nanti malam, Mami," kata Sean lalu melepaskan pelukannya dari Sahara.
Sahara pun hanya melihat Sean kembali berada di gendongan Samuel.
Sean-nya.
Sean Keerati - anak laki-lakinya - orang yang paling Sahara sayangi di dunia ini, bahkan tak cukup dengan nyawanya sekalipun.