PART 2 - Aron Roosevelt

1667 Kata
Sahara melirik jam tangannya. Masih pukul sepuluh pagi. Masih ada tiga puluh menit lagi sebelum jadwal piketnya mulai. Perempuan itu memutuskan masuk ke kafe di lantai satu rumah sakit Medistra dan memesan segelas kopi. "Dokter Sahara!" Beberapa orang yang duduk di meja kafe memanggil Sahara. Perempuan itu tersenyum lebar. Mereka adalah dokter dan perawat UGD yang selalu bekerja dengan Sahara. Setelah mendapatkan kopinya, Sahara pun ikut duduk bersama teman-temannya itu. "Kenapa Dokter ada di sini? Bukannya ini hari ulang tahun Sean?" tanya Kara - perawat muda yang selalu menemani Sahara. Sahara meminum kopinya. "Dokter Maria sedang sakit. Hari ini aku harus menggantikannya," kata Sahara. Wajah Kara terlihat sedih. "Yah, sayang sekali. Padahal aku tahu betapa Dokter ingin liburan bersama Sean. Jadi gimana? Apa Sean sedih? Dia di rumah sendiri sekarang? Bersama Bibi Jia?" tanya Kara berturut-turut. "Tidak. Sean pergi dengan ayahnya," kata Sahara pendek. "Ohh..." ucap Sahara sambil mengangguk-angguk. "Jujur saja, kalau Dokter tak memberitahuku, aku mungkin masih mengira kalau Dokter dan ayah Sean masih bersama. Kalian sangat cocok. Bahkan seluruh rumah sakit masih mengira Dokter belum bercerai," kata Rain - perawat laki-laki yang juga masih muda. Sahara hanya tersenyum kecil dan menikmati kopinya. "Sahara memang sengaja tak menyebarkan berita perceraiannya. Kalian tahu kenapa?" tanya Hanif - dokter penjaga UGD yang merupakan teman magang Sahara dulu. Kara terlihat penasaran. "Kenapa Dok?" "Kalau berita perceraiannya tersebar. Akan ada banyak orang yang mengejarnya. Kalian tak tahu betapa populernya Sahara waktu magang dulu? Bahkan anak magang di departemen lain sering makan siang di lantai satu untuk melihat Sahara. Aku sampai muak karena semua orang itu menitipkan hadiah untuk Sahara padaku. Mereka pikir aku kurir atau apa?" Hanif tertawa mengingat masa lalu sambil menaikkan kacamatanya. "Mereka baru menjauh saat Sahara bilang kalau dia sudah menikah. Semua orang tak percaya dia sudah memiliki anak, sampai Sahara membawa anaknya ke rumah sakit. Kalian tahu kan betapa miripnya Sean dengan Sahara? Mereka yang awalnya tak percaya akhirnya menyerah dan tak ada yang mendekati Sahara lagi," kata Hanif pada dua orang di depannya itu. "Benarkah? Aku tak tahu ada cerita seperti itu," kata Kara. "Kalian kan baru masuk rumah sakit lima tahun yang lalu," ucap Hanif. Rain menatap Sahara, "Aku bisa mengerti sih, kenapa Dokter Sahara sangat populer," katanya dengan senyum kecil. "Kalau Dokter sepopuler itu, kenapa Dokter tak menikah lagi saja? Pasti banyak yang mau dengan dokter di rumah sakit ini. Dokter masih muda, tak ada yang salah jika Dokter ingin menikah lagi," kata Kara. Sahara menghembuskan napas dan berdiri. "Kalian pagi-pagi sudah bicara yang aneh-aneh, ya. Lebih baik kita segera pergi," kata Sahara sambil berjalan keluar kafe. "Jawab dulu pertanyaanku, Dok. Kenapa Dokter tak ingin menikah lagi? Apa Sean tak ingin ayah baru?" tanya Kara yang berjalan di belakangnya. "Hari ini kau sangat cerewet ya, Kara," kata Sahara dengan nada sedikit tajam. Bibir Kara langsung terkatup dan tak berani membuka suara lagi. Sahara adalah dokter yang pintar dan cantik. Ia bekerja dengan profesional dan tak pernah melakukan kesalahan selama bekerja. Semua orang di rumah sakit menghormatinya. Sahara tak pernah bertindak egois dan ramah terhadap pasiennya. Namun, kadang-kadang, perempuan itu terasa sulit didekati. Apalagi jika Sahara menatap orang lain dengan kesal dan nada tajam seperti ini, tak ada yang berani mendekatinya. Sahara adalah wanita kalem, yang kadang bisa begitu menakutkan jika marah. Dan perawat di lantai UGD-lah yang paling tahu soal itu. Termasuk Kara. Kara dan Rain langsung pergi setelah Sahara masuk ke ruangan dokter. "Jangan galak-galak, Sahara. Kau membuat semua orang takut dengan tatapan tajammu itu," kata Hanif yang juga satu ruangan dengan Sahara "Aku hanya tak suka mencampurkan urusan kerja dan pribadi," kata Sahara "Kau boleh seperti itu pada orang lain, tapi tadi kan Kara, Ra. Dia perawat yang paling dekat denganmu selama lima tahun ini. Dia sudah menganggapmu seperti kakaknya sendiri. Kau ingat, bahkan orang tuanya memberimu hadiah saat ulang tahunmu. Kara bukan orang asing kali, Ra," kata Hanif lagi. Perkataan Hanif - tidaklah salah. Kara adalah sedikit orang yang bisa dekat dengan Sahara selama ini. Perempuan muda itu bahkan sering ke apartemennya untuk memberikan lauk yang dimasak ibunya. Kara tahu kalau Sahara tak punya waktu untuk memasak dan berkata bahwa ibunya membawa makanan terlalu banyak - maka dari itu ia membagikan makanan itu pada Sahara. Mengingat semua itu, membuat Sahara sedikit menyesal karena sudah bersikap menyebalkan. "Sudahlah. Tak perlu sampai menyesal juga seperti itu. Raut wajahmu itu sangat mudah ditebak," kata Hanif sambil memakai jas dokternya. Sahara pun melakukan hal yang sama. Memakai jas berwarna putih yang sudah ia pakai selama sepuluh tahun ini "Aku ke UGD dulu," kata Hanif sambil menepuk bahu Sahara, lalu keluar ruangan. Tak berselang lama pun, Sahara ikut keluar dari ruangan itu. Hari ini akan sangat melelahkan. Karena biasanya - hari minggu akan lebih banyak pasien yang datang. Dan Sahara hanya ia tak lembur hari ini. Sahara berharap hari ini cepat usai, agar ia bisa segera bertemu Sean - putranya yang sedang berulang tahun. * * * * * "Dokter Sahara," panggil Kara di belakangnya. Sahara meletakkan kopinya yang sudah mulai mendingin. "Ada apa?" tanya Sahara. "Ada telepon dari Pak Samuel. Katanya ponsel Dokter tak aktif, karena itu dia menelepon ke rumah sakit," jawab Kara. Sahara melirik ponselnya yang memang mati lalu segera mengisi dayanya. Perempuan itu kemudian berdiri dan berjalan cepat menuju meja perawat. Sahara takut terjadi apa-apa pada Sean. Samuel tak pernah menelepon ke rumah sakit selama ini. "Ada apa?" tanya Sahara setelah ia mengangkat telepon itu. "Kau sibuk? Kalau tidak, keluarlah. Aku dan Sean ada di depan rumah sakit sekarang," kata Samuel. "Kenapa kau ada di rumah sakit?" tanya Sahara bingung. "Tak apa-apa. Aku hanya ingin memberikan makanan untukmu. Bukannya kau lembur lagi hari ini? Aku membawa roti kesukaanmu. Kau bisa keluar atau aku dan Sean masuk saja ke dalam?" tanya Samuel. "Aku saja yang keluar," kata Sahara cepat, lalu menutup telepon. Dengan masih menggunakan jas putihnya, Sahara keluar dari rumah sakit. Perempuan itu melihat sekelilingnya dan menemukan Samuel dan Sean berdiri di samping halte di depan rumah sakit. Duduk di taman kecil di pinggir jalan itu yang ramai oleh pengunjung rumah sakit dan pasien yang sedang mencari udara segar. "Sean...." panggil Sahara sambil memeluk anaknya. Sahara memeluk Sean erat. Padahal pagi tadi pagi sudah melihat anaknya itu, tapi kenapa ia sekarang begitu merindukannya. Kenapa Sahara bisa sangat menyayangi makhluk kecil itu? Sebelum memiliki Sean, Sahara tak menyangka bisa menyayangi orang lebih besar daripada ia menyayangi dirinya sendiri. "Sudah, Mi. Lepaskan aku," kata Sean. Sahara segera melepaskan Sean. "Maaf, Mami terlalu senang melihatmu. Mami sedih karena Mami pikir baru bisa melihatmu besok. Mami sepertinya akan lembur hari ini, Sean. Malam ini kau menginap di rumah ayah dulu, ya?" tanya Sahara. Sean mengangguk dan memberikan sebungkus plastik yang dibawanya. "Ini. Ayah membelikan ini untuk Mami," kata Sean. Sahara membuka plastik itu dan melihat roti kesukaannya. "Terima kasih," kata Sahara pada Samuel. "Tak masalah." Samuel memegang tangan Sean. "Ayo kita pulang, Sean. Mami pasti sedang sibuk. Hari ini kau tidur bersama Ayah, ya?" tanya Sean pada Samuel. Sean mengangguk dan Samuel berkata lagi pada Sahara. "Besok pagi aku akan langsung mengantar Sean ke sekolah, jadi kau tak perlu menjemputnya di rumahku. Istirahatlah saja, kau terlihat sangat lelah sekarang, Sahara," kata Samuel. "Terima kasih, Sam." Sahara memeluk Sean lagi. "Biarkan Mami memelukmu sebentar lagi," kata Sahara. Sahara melepaskan pelukannya dan dua orang itu masuk ke mobil. Sahara melambaikan tangannya ketika mobil Samuel mulai menjauh. Sahara berbalik dan akan kembali ke rumah sakit ketika ia merasa seseorang memerhatikannya. Sahara menoleh ke arah orang yang berdiri agak jauh di di sampingnya, tapi orang itu sudah berjalan pergi menyeberangi jalan. Sahara tak bisa melihat wajah laki-laki itu karena tertutupi topi, tapi entah kenapa ia tak asing dengan bayangan laki-laki itu. Hingga Sahara bergidik ngeri ketika mendengar suara klakson mobil di belakangnya. Dan setelah itu terdengar tubrukan yang membuat Sahara berbalik dan melihat laki-laki yang berdiri di sampingnya tadi jatuh di jalan, dengan darah yang mengalir di jalanan - cukup banyak hingga membuat Sahara berlari ke arahnya. "Hei! Kau dengar aku? Kau dengar aku? Kau masih sadar?" ujar Sahara sambil berusaha mencari kesadaran orang di depannya itu. Sebagai dokter - di saat-saat seperti itu - meskipun tubuh Sahara membeku dan dirinya masih terkejut, Sahara tetap bisa berlari ke arah laki-laki yang terluka itu dan memeriksanya. Memastikan ia masih bernapas dan masih hidup. Sedangkan Sahara baru bisa bernapas ketika memastikan napas laki-laki itu masih berhembus. Orang-orang mulai berkumpul mengelilingi Sahara. Dengan tangan bergetar, Sahara membawa kepala orang itu ke pangkuannya. Sahara bernapas lega ketika melihat beberapa perawat berlari ke arah mereka membawa sebuah tandu. Sahara baru saja akan meminta orang-orang untuk menjauh dan memberi jalan untuk para perawat itu. Tapi matanya lebih dulu terganggu oleh lampu kamera yang tiba-tiba menyala. Tak hanya satu kali - tapi berkali-kali. Hingga membuat mata Sahara sakit. Perasaan Sahara semakin tak enak - apalagi ketika ia merasa tangannya digenggam oleh seseorang. Oleh tangan besar laki-laki di pangkuannya itu yang sekarang ini penuh darah. Dan ketika Sahara menatap wajahnya - Sahara merasa udara begitu saja terambil dari tubuhnya. Laki-laki itu... Kenapa ia bisa ada di sini? Di pangkuan Sahara? Di tengah jalan dan dengan penuh darah seperti ini? Kenapa laki-laki itu bisa ada di depan Sahara lagi? Bagaimana bisa? Sahara segera menjatuhkan kepala laki-laki itu dari pangkuannya. Tak peduli kepala laki-laki itu jatuh ke tanah dan mungkin Sahara menambah lukanya. Tubuh Sahara tak bisa bergerak, bahkan untuk membantu para perawat mengangkat laki-laki itu ke tandu. Sahara hanya melihat kaku mata laki-laki itu yang mulai terbuka dan menatapnya dengan lemah. Topi hitam yang dipakainya tadi sudah terlepas dan kini wajahnya semakin jelas - meskipun tertutupi oleh darah yang mengalir dari kepalanya. Dan ketika lampu-lampu kamera mulai membabi buta dan orang-orang semakin banyak berkumpul - Sahara jatuh ke tanah dan memegang lututnya yang bergetar. Apa benar orang yang ia lihat tadi adalah Aron Roosevelt? Benar. Sahara tak mungkin salah mengenali laki-laki itu, bahkan jika semua wajahnya tertutupi darah sekalipun. Aron Roosevelt sudah kembali. Ayah dari anaknya sudah kembali. Dan Sahara takut laki-laki itu akan menghancurkan kehidupannya sekali lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN