PART 3 - Kehamilan Tak Diinginkan

1160 Kata
Sebelas tahun yang lalu... Tangan Sahara bergetar. Lebih hebat dari pertama kalinya Sahara memegang pisau bedah. Lebih hebat dari pertama kalinya Sahara melihat tubuh mayat yang sudah membusuk di depannya. Dan bahkan - mungkin lebih hebat dari ketika Sahara memeluk tubuh ayahnya yang sudah mati. Dan itu hanya karena benda kecil yang ada di tangannya sekarang. Test pack yang menunjukkan dua garis merah. Test pack ketiga yang sudah ia gunakan, tapi masih tak bisa Sahara percayai. Sahara hamil. Ada kehidupan lain di perutnya saat ini. Ada makhluk lain di tubuhnya saat ini. Sahara hamil dan ia belum menikah. Ia bahkan belum pernah memiliki pacar. Bagaimana bisa? Sahara tak tahu. Sahara yakin sudah meminum pil KB darurat setelah malam mengerikan itu. Sahara meminumnya beberapa kali, lebih banyak dari yang dianjurkan karena ia begitu takut hamil. Tapi apa yang terjadi sekarang? Dua bulan sudah berlalu dan Sahara baru sadar kalau dirinya hamil. Sahara menatap cermin, melihat dirinya yang menyedihkan terpantul di sana. Seolah berbicara pada Sahara. Seolah mengejek kebodohan Sahara. "Apa yang akan kau lakukan sekarang, Sahara? Kau akan menggugurkannya, kan?" kata pantulan dirinya di cermin itu. Tidak. Bagaimana bisa Sahara membunuh anaknya sendiri? "Jangan bodoh, Sahara. Kau akan membiarkan makhluk kecil itu merusak masa depanmu? Gugurkan dia! Ini belum terlambat! Janinmu masih kecil dan kau bisa menggugurkannya dengan mudah! Apa yang kau pikirkan?" Sahara menangis. Tak menyangka dirinya memiliki sisi sejahat itu. Tapi, bukankah dia benar? Untuk apa Sahara mempertahankan kandungannya? Untuk siapa? Untuk menjadi wanita bodoh yang hamil di luar nikah? Untuk dipermalukan oleh orang banyak dan membuat ibunya membencinya? Untuk merusak masa depan yang sudah Sahara gambar dengan indah semasa hidupnya? Makhluk itu hanya akan merusak semua kerja keras Sahara. Kerja keras Sahara belajar sampai tengah malam selama puluhan tahun ini. Merusak cita-cita Sahara menjadi dokter bedah saraf yang dihormati di negara ini.Merusak semua yang Sahara bangun dengan mengorbankan waktu dan harga dirinya. Sahara sudah mengorbankan harga dirinya di depan keluarga Capaldi begitu banyak, lalu kenapa Sahara mau mempertahankan makhluk itu hanya untuk lebih dipermalukan? Sahara bahkan tak melihat wajahnya. Sahara bahkan tak mendengar suaranya. Makhluk itu bahkan tak benar-benar ada di depannya sekarang. Lalu kenapa Sahara harus hancur hanya untuk melindunginya? Benar kan, Sahara? Benar kan? Benar. Sahara harus melenyapkannya. Benar-benar lenyap seolah tak pernah ada di dunia. Sahara harus segera menggugurkan kandungannya. Tok Tok Tok "Sahara, apa kau di dalam, Nak?" Sahara menoleh ke pintu dengan wajah ketakutan. Perempuan itu langsung membuang ketiga test pack itu ke tempat sampah. Merapikan rambutnya yang berantakan, lalu membuka pintu kamar kecilnya itu. Melihat ibunya dengan wajah kelelahan berdiri di depannya. "Ada apa, Bu?" tanya Sahara dengan suara seraknya. Ratii tersenyum lembut. "Kau ada waktu? Tuan Jeremy dan Nyonya Raha ingin berbicara denganmu," kata ibunya. Sahara mengernyit, "Membicarakan apa, Bu?" "Rumah sakit tempat kau akan bekerja nanti. Mereka juga ingin tahu kau berminat melanjutkan spesialis apa dan dimana. Pokoknya kau keluar dulu. Sudah ada Jane juga di luar," kata ibunya dengan wajah berseri-seri. Sahara mengangguk, "Baiklah. Aku cuci muka dulu sebentar. Sahara masuk ke kamar mandi di dalam kamarnya dan membasuh wajahnya dengan cepat. Setelah membasuh wajahnya dengan handuk, Sahara keluar. Perempuan itu menjatuhkan handuk kecilnya ketika melihat ibunya tengah memegang test pack yang sudah Sahara buang di tempat sampah. "Ibu -" "Apa ini, Sahara?" "Itu -" "Kau hamil?" tanya ibunya dengan wajah kaku. Sahara menelan ludahnya. Harusnya ia segera menjawab ibunya dan membohonginya. Mengatakan bahwa alat itu bukan miliknya. Bahwa itu hanyalah alat yang Sahara gunakan untuk praktik saat kuliah dulu. Atau apa pun alasan yang masuk akal agar ibunya tak curiga. Tapi Sahara tak melakukan itu. Sahara lebih dulu menangis dan membuat ibunya berjalan ke arahnya. Dan kini - apapun kebohongan yang Sahara katakan, ibunya tak akan percaya. "Katakan pada Ibu! Kau hamil?" tanya ibunya lagi dengan wajah pias. Tangis Sahara semakin menjadi. "Maafkan aku, Ibu. Maafkan aku," ucap Sahara sambil terisak sedih "Bagaimana bisa kau hamil, Sahara? Siapa yang menghamilimu? Siapa? Katakan pada ibu sekarang! Kau memiliki pacar?!" tanya ibunya dengan nada tinggi. Sahara menggeleng dengan kuat. Air matanya semakin mengalir deras. Membuat ia tak bisa melihat wajah ibunya dengan jelas. "Siapa yang menghamilimu?! Katakan pada Ibu!" ujar Ratii sambil menggoncang tubuh Sahara dengan kasar. "Maafkan aku, Ibu... Maafkan aku.." Sahara menghapus air matanya dan menatap ibunya dengan penuh penyesalan. "Ibu tak perlu khawatir. Aku akan segera menggugurkan kandungan ini. Aku akan segera menggugurkannya. Ibu tak perlu khawatir soal ini," kata Sahara berharap ibunya mengerti. Ratii melepaskan tangannya dari anaknya itu dan menatapnya tak percaya. "Kau akan menggugurkannya?" tanya wanita paruh baya itu. Sahara mengangguk, "Aku akan menggugurkannya. Ini bukan masalah besar. Aku akan baik-baik saja. Kandunganku belum ada dua bulan. Aku bisa menggugurkannya dengan mudah, Ibu," kata Sahara dengan yakin. Plak! Ratii menampar anak perempuannya itu. Untuk pertama kalinya hingga membuat Sahara menatap ibunya tak percaya. Jika tadi ibunya menatapnya dengan penuh kemarahan, kini ibunya menatap Sahara dengan penuh kekecewaan. Dan itu lebih menyakitkan untuk Sahara. "Bagaimana bisa kau berpikir untuk membunuh anakmu sendiri?" tanya Ratii. Air mata jatuh membasahi pipi Sahara lagi. "Lalu aku harus bagaimana? Aku bahkan tak mengenal siapa ayahnya, Ibu. Aku tak mau menghancurkan masa depanku hanya untuk makhluk yang tak bisa aku lihat. Banyak harus aku lakukan dan makhluk ini hanya akan menghancurkanku -" Plak! Ratii menampar Sahara lagi. Kini lebih keras hingga membuat Sahara menangis menjerit. "Bagaimana perempuan seperti kau menjadi seorang dokter, Sahara? Dimana ada seorang dokter yang membunuh anaknya sendiri?" tanya ibunya dengan penuh kekecewaan. Sahara jatuh terduduk di bawah ibunya. Menangis di bawah ibunya sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Sahara merasa malu. Sangat malu di depan ibunya sekarang. Sangat malu hingga Sahara tak bisa mengangkat wajahnya di depan ibunya lagi. "Ibu lebih terkejut kau berkata ingin membunuh anakmu sendiri daripada tahu kau hamil. Ibu membesarkanmu bukan untuk menjadi perempuan yang sejahat ini, Sahara. Apa kau bahkan sadar apa yang kau pikirkan sekarang?" Sahara sadar. Sahara harusnya tak berpikir untuk menggugurkan makhluk kecil itu. Sahara yang membawanya ke dunia ini. Sahara tak seharusnya menghilangkannya bahkan sebelum makhluk kecil itu melihat dunia. Bagaimana bisa Sahara berpikir seburuk itu pada darah dagingnya sendiri? Tanpa sadar, Sahara memegang perutnya yang belum membesar. Tangisnya semakin kencang dan saat itulah Ratii memeluk anaknya itu. Mengusap rambutnya dengan halus seperti yang sering wanita itu lakukan dulu saat Sahara menangis. Mencoba menahan kemarahan dan kekecewaannya untuk menenangkan Sahara. Karena Ratii tahu Sahara sekarang sangat membutuhkan dukungannya untuk terus hidup. "Jangan membunuh bayimu, Sahara. Dia tak membutuhkan ayahnya, dia hanya butuh kau untuk hidup. Jaga dia dan Ibu akan melakukan segala hal untuk melindungimu. Untuk membantumu terus menggapai apa yang kau inginkan setelah ini. Kau mengerti apa yang Ibu katakan, kan?" kata Ratii sambil terus mengusap kepala Sahara dengan penuh kasih sayang. Sahara mengangguk dengan kuat. Sahara mengerti. Ia sangat mengerti apa yang ibunya katakan. Dan itu adalah yang Sahara sangat butuhkan sekarang. Sahara membutuhkan orang yang mendukungnya dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. "Semua akan baik-baik saja, Nak," kata Ratii, seolah mendengar pikiran Sahara.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN