10. Mas Raka Datang

1513 Kata
Aira gemetar setengah mati. Wanita cantik di depannya terlihat galak sekaligus manis. Ia menelan keras lalu mengangguk ketika wanita itu menarik jari dari dagunya. "Tante masuk dulu. Mas Raka udah mau pulang," kata Aira. "Ehm, oke. Ngomong-ngomong, nama kamu siapa?" tanya Tere yang kini berjalan di sebelah Aira. "Nama Tante ... ah, kamu harus panggil Mami. Kayak Raka. Nama Mami, Tere Anjani" Aira menoleh was-was. Ia sempat mengira wanita itu galak, tetapi ia bisa merasakan nada ramah dari ibu Raka, Tere. "Saya Aira, Tante." "Mami," ujar Tere mengoreksi. "Kamu beneran istri Raka, 'kan?" Aira menatap nyalang mertuanya lalu mengangguk pelan. "Maaf, Tante. Eh, Mami." Tere tersenyum tipis melihat kegugupan di wajah menantunya. Sungguh polos, muda dan rapuh. Entah apa yang membuat Raka memilih gadis seperti ini untuk dijadikan istri, pikir Tere dalam hati. Ia duduk di sofa ruang tamu sementara Aira masih berdiri. "Duduk aja, Mami nggak akan marahin kamu cuma gara-gara lama bukain pintu," kata Tere seraya melambaikan tangannya. "Ya." Aira pun duduk di seberang Tere. Namun, ia mendadak berdiri lagi. "Aku bikinin minum dulu, Mi." Tere mengangguk kecil. Ia membiarkan saja Aira berlalu ke dapur. Dengan keras, Tere menyandarkan kepalanya ke punggung sofa. "Wah, Raka! Benar main-main. Kenapa Raka nikah sekarang? Kenapa istrinya kayak gitu? Oh, tenang, Tere. Mungkin, gadis itu bukan gadis yang jahat. Semoga aja." Aira kembali datang dengan membawa satu baki berisi teh hangat dan juga satu piring bakwan buatannya. "Minum dulu, Mi. Makan juga." "Kamu bikin ini apa beli?" tanya Tere. "Bikin, Mi. Masih anget," jawab Aira malu-malu. Ia mengusap tengkuknya dengan gusar. Ia duduk di depan wanita cantik dan ia bahkan belum mandi. "Boleh Mami tanya sesuatu sama kamu?" tanya Tere. Aira mengangguk terintimidasi dengan tatapan Tere. Jika itu tentang pernikahan, ia tak tahu bagaimana menjawabnya. "Kapan kamu dan Raka menikah?" "Kemarin siang, Mi," jawab Aira apa adanya. Tere yang sedang meneguk teh hampir tersedak. Ia menatap Aira penuh tanya hingga gadis itu memutuskan untuk menunduk dalam-dalam. "Kemarin? Beneran ... kemarin? Kamu baru sehari nikah sama Raka?" Aira mengangguk pelan. Apalagi yang bisa ia katakan. Kenyataannya memang seperti itu. "Ya. Kemarin, Mi. Kenapa? Apa itu nggak boleh?" Tere memijat keningnya pelan. Ia menggeleng pada Aira. "Bukan begitu, Ai. Lagipula kalian udah nikah. Mami bisa apa? Mami cuma mau tahu apa kamu benar-benar mencintai Raka? Kamu masih muda, berapa umur kamu?" Aira berpikir keras. Haruskah ia jujur? Bagaimana jika ia mengagetkan mertuanya lagi? "Ehm, bulan depan saya 19 tahun, Mi." "Apa? Beneran? Jadi, kamu ... kamu baru lulus sekolah?" tanya Tere lagi. "Ya. Bulan kemarin lulus, Mi." "Wah, Raka beneran bikin masalah," gumam Tere. Ia memaksakan senyum di depan Aira yang terlihat takut padanya. "Oke, berapa lama kamu kenal Raka?" "Satu hari!" jerit Aira dalam hati. "Ehm, aku tinggal nggak jauh dari sini, aku tahu mas Raka pindah ke sini bulan yang lalu." Kedua mata Tere melebar. "Jadi, kalian baru kenal selama satu bulanan?" Tere mengusap dadanya. Ini tidak seperti Raka yang ia kenal. Dalam waktu sesingkat itu, Raka tiba-tiba menikah dengan seorang gadis muda yang baru lulus sekolah. "Ehm ... aku sering lewat sini," ucap Aira gemetar. "Dan kalian berdua ... kalian berpapasan setiap hari di sini dan jatuh cinta? Lalu menikah?" tanya Tere lagi. Aira memucat. Ia sudah banyak bicara omong kosong di depan ibu Raka dan rasanya itu tidak benar. Ia pun memutuskan untuk mengatupkan bibirnya. Bingung dengan apa yang harus ia katakan lagi. "Dengar, Ai, Mami nggak bermaksud untuk kasar sama kamu," ujar Tere ketika ia melihat Aira yang menunduk, meremas celana panjangnya dan barangkali takut padanya. "Sebenarnya, Mami senang Raka mau menikah lagi. Itu bagus buat Raka. Tapi semua ini mendadak. Raka nggak cerita apa-apa, jadi Mami penasaran." Aira mengangguk. Masih bingung bagaimana ia harus merespon ucapan Tere. "Kebahagiaan Raka adalah yang terpenting bagi Mami. Mami hanya mau berpesan satu hal sama kamu, jangan pernah menyakiti hati Raka," ujar Tere sungguh-sungguh. Kali ini, Aira mengangkat dagunya. "Kamu udah nikah sama Raka, jadi Mami yakin dia udah cerita sama kamu tentang masa lalunya. Kamu tahu Raka sudah pernah menikah sebelumnya?" "Ya, aku tahu," jawab Aira. Ia hanya tahu itu. Ia tahu Raka adalah duda. "Jadi, kamu pasti mengerti bagaimana Raka. Dia mungkin terlihat tegar, tapi dia menyimpan banyak luka di hatinya. Mami nggak mau kamu menorehkan luka baru di hati Raka. Kamu mengerti?" tanya Tere. Aira mengangguk saja. Sudah ia duga ada sesuatu yang membuat Raka terlihat seperti pria kesepian ketika ia tidur semalam. Sesuatu yang berhubungan dengan masa lalunya, pernikahan terdahulunya. Dan ia, tak ingin bertanya. Ia memang penasaran, tetapi ia mencoba untuk tidak mencari tahu lebih banyak. "Jadi, kamu baru lulus sekolah dan kamu kuliah?" tanya Tere mengalihkan obrolan. "Ehm ... aku belum daftar, tapi mas Raka mau aku kuliah," jawab Aira. Tere membuang napas panjang. "Tapi, kamu nggak harus menunda, Ai. Kamu tetap bisa kuliah meskipun kami hamil." "Apa?" Aira tercekat mendengar ucapan mertuanya. Tere tertawa kecil. "Kamu tahu maksud Mami. Kamu udah nikah dan setelah nikah, kamu sama Raka tentu saja harus punya anak. Cucu buat Mami." Aira memucat. Tidak! Ia tak bisa melakukan itu. "Itu ... aku ...." "Mami bercanda," ujar Tere yang sekali lagi merasa tak enak pada Aira. Gadis itu masih terlalu polos mungkin, pikir Tere. Aira juga baru menikah sehari. "Apa Raka belum pegang-pegang istrinya?" batin Tere. "Raka suka banget sama anak kecil. Dia selalu pengen punya anak. Dan Mami yakin dia pasti bahagia kalau bisa punya anak sendiri," kata Tere. Aira tersenyum masam. Itu ide yang tidak baik. Ia tak memiliki rencana untuk memiliki anak dengan Raka. Ia yakin Raka juga berpikir demikian. Mereka tak saling mencintai, bagaimana bisa memiliki anak? "Aku terlalu muda, maaf," gumam Aira lirih. Tere mengangguk. "Mami ngerti. Mami terlalu memikirkan perasaan Raka. Ehm ... jangan sampai terbebani. Kamu benar, kamu masih muda dan ... kayaknya itu Raka udah pulang." Aira berdebar keras. Ia menoleh ke pintu depan dan melihat Raka menyeruak masuk dengan wajah khawatir dan napas naik turun. Raka melayangkan tatapan penasaran pada Aira dan Tere bergantian. "Kenapa datang kamu kayak gitu?" tanya Tere seraya merentangkan tangannya. "Mami nggak ngapa-ngapain istri kamu." Raka menghembuskan napas panjang. Ia mendekati Tere dan memeluknya. Ia hampir duduk, tetapi Tere lebih dulu memukul bokongnya. "Istri kamu di sini dan kamu mau duduk sama Mami?" "Mami udah lama?" tanya Raka seraya berpindah ke sofa Aira. Ia menatap tak enak Aira lalu duduk di sebelahnya. Sejak kemarin, ia menghindar untuk terlalu dekat dengan istrinya itu. Kini, di depan ibunya ia harus berpura-pura bahwa ia memang sudah menikah lagi. "Lumayan. Ai baru masak buat kamu katanya, makanya dia nggak denger bel. Mami juga cuma pencet sekali, Mami kira kamu masih tinggal sendiri di sini," ujar Tere. Ia menatap Aira yang langsung beringsut ketika Raka duduk di sebelah. Itu aneh. "Apa Aira takut dengan Raka?" "Mami nggak tanya aneh-aneh sama kamu, 'kan?" tanya Raka. Ia menoleh pada Aira yang lantas memberinya gelengan kecil. Ia lalu mengalihkan tatapan pada ibunya. "Mami nggak cerita macem-macem ke Ai, 'kan?" Tere hanya mengangkat bahunya. "Mami cuma kenalan. Tenang aja." "Oke." Raka kembali menoleh pada Aira. "Kamu bisa ke kamar, Ai. Aku mau ngobrol sama Mami dulu." Aira mengangguk pelan. "Ya, aku belum mandi tadi. Aku naik dulu, Mas, Mi." Tere mengangguk pada Tere dan mengunci tatapan pada gadis itu hingga Aira tak terlihat lagi. Kini, ia berdiri dan pindah ke sebelah Raka lalu memukul keras bahu putranya itu. "Apa dia benar-benar istri kamu?" tanya Tere tajam. "Mami apa-apaan sih? Kalau aku bilang iya artinya iya!" gerutu Raka seraya mengusap bahunya. "Jadi, kenapa kamu ninggalin istri kamu yang baru sehari kamu nikahin itu? Kenapa kamu nggak ikutan naik dan mandi sama istri baru kamu itu?" tanya Tere dengan nada curiga. Raka mendengkus keras lalu mengusap wajahnya dengan kedua belah telapak tangan. "Mami m***m banget, sumpah!" "Itu yang dilakukan suami-istri normal," ujar Tere seraya menatap putranya dalam-dalam. "Katakan, kenapa kamu nikah sama cewek kayak gitu. Dia kurus dan nggak punya bentuk sama sekali. Apa yang kamu suka dari Ai? Kamu nikah dan nggak bulan madu sama sekali? Itu aja udah aneh. Apa yang kamu sembunyikan dari Mami?" "Mami kenapa sih? Bukannya Mami mau aku cepet-cepet nikah beberapa bulan lalu. Sekarang aku udah nikah, jadi nggak usah kepo!" Raka kembali menggerutu. Ia tahu ibunya khawatir, tetapi ia juga tak ingin menceritakan banyak hal pada ibunya. "Cerita sama Mami. Sedikit saja. Oke? Kamu tahu, Mami begini karena Mami peduli sama kamu. Mami mau kamu menikah sama wanita terbaik. Wanita yang nggak akan menyakiti hati kamu kayak Yumna." Hening mendera keduanya saat ini. Raka membisu sementara Tere menutup bibirnya. Ia masih bisa melihat luka di wajah Raka ketika ia menyebut nama mantan menantunya. "Mami minta maaf. Mami nggak bermaksud ...." "Aira baik. Aku nggak peduli sama bentuk tubuhnya. Aku tahu, dia baik. Dia nggak kayak Yumna. Seratus persen berbeda. Jadi Mami nggak usah khawatir lagi. Oke?" Raka menatap ibunya untuk meyakinkan. Ia berharap ibunya tak akan pernah tahu bagaimana sejarah pernikahannya dengan Aira terjadi. "Oke. Mami senang kalau gitu. Mami mau tiduran. Kamu buruan naik dan susul istri kamu. Barangkali dia masih mandi ...." "Mami!" Raka mendengkus, tetapi ia berdiri dan langsung berjalan menuju kamarnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN