9. Mertua Datang Menginterupsi

1501 Kata
Di rumah, Aira baru saja selesai memasak untuk makan malam. Ia tak tahu pukul berapa Raka akan pulang, tetapi ia menyiapkan saja semua di atas meja. Siang tadi, ia sudah berkenalan dengan Safira, wanita yang dibayar oleh Raka untuk bersih-bersih rumah sekaligus untuk mengurus Memei. "Ehm ... kamu lapar?" tanya Aira pada Memei. Kucing itu menguap lalu mencakar pintu sangkar hingga Aira mundur selangkah. "Tunggu bentar, mas Raka pasti bentar lagi pulang." Aira menoleh ke pintu depan ketika ia mendengar deru mobil. Ia mengira itu Raka, tetapi rasanya itu suara mobil yang berbeda. Aira pun memutuskan untuk mengintip di balik jendela. "Siapa wanita itu? Mas Raka nggak ada kasih pesan," gumam Aira. Aira mengawasi wanita yang sedang turun dari taksi itu dengan saksama. Wanita itu tampak sangat cantik dengan pakaian rapi dan tas mahal di tangannya. Bahkan riasannya juga tegas dan terlihat sekali bahwa wanita itu bukan sembarang orang. "Apa itu ibunya mas Raka?" Aira mengangkat ponselnya yang kebetulan ia genggam. Ia langsung menelepon nomor Raka dengan panik. Tidak, ia tak sanggup berhadapan dengan yang namanya mertua. Bagaimana jika wanita itu galak? Oh, tidak! Aira berdebar lebih kencang ketika wanita itu mengetuk dan memencet bel. Ia tak berani membuka pintu dan ia merasa gelisah karena Raka tak kunjung menjawab teleponnya. "Ya ampun, pasti mas Raka baru sibuk di kafe," gumam Aira. Ia mencoba menelepon lagi dan lagi sembari mengintip di jendela karena wanita tadi sudah tak mengetuk. Alih-alih, wanita itu justru duduk di teras dengan santai. Semakin dilihat, semakin mirip saja wajah wanita itu dengan Raka. Aira pun menyimpulkan bahwa benar wanita itu adalah mertuanya. "Mas Raka, plis angkat dong!" Aira mencoba menelepon lagi, tetapi kali ini sambungan sedang sibuk. *** Di tempat lain, Raka baru saja masuk ke ruangannya lagi setelah ia mengecek kafe cabang lain. Ia langsung mendengar ponselnya bergetar di atas meja. Benar, ia lupa dengan benda pipih serbaguna itu. Kedua mata Raka melebar ketika ia membaca nama ibunya di sana. Segera ia menjawab panggilan ibunya, Tere. "Halo, Mi. Assalamualaikum," salam Raka. "Waalaikumsalam, Ka! Mami di rumah kamu," ujar Tere. "Apa? Kapan?" tanya Raka panik. Ia belum bercerita pada ibunya bahwa ia telah menikah lagi. Dan jika ibunya bertemu dengan Aira, semua pasti akan kacau. Apalagi jika ibunya tahu ia menikah tapi berpisah kamar dengan Aira dan yang lebih buruk, jika ibunya tahu ia menikah karena tuduhan pelecehan. "Ya sekarang dong. Mami duduk di luar ini. Kamu pulang ya, Mami tunggu," kata Tere. "Ya ampun, Mami kok nggak bilang-bilang kalau ke rumah sih? Jadi ... nggak ada yang bukain?" tanya Raka. "Emangnya siapa yang bukain? Di sini nggak ada ART, 'kan?" Tere balas bertanya. "Mami mampir, tadi ada acara kumpul-kumpul sama temen Mami di dekat sini. Mami mau nginep." "Sial!" batin Raka. Namun, ibunya belum bertemu dengan Aira. Barangkali, gadis itu tidur dan tak tahu di rumah sedang ada tamu berbahaya. "Mami kenapa nggak pulang ke rumah papi aja? Aku masih nanti malam pulangnya," kata Raka penuh harap. "Mami kangen sama kamu makanya Mami ke sini. Udah, kamu pulang aja ini udah mau Maghrib. Kamu mau Mami di depan dan digigitin nyamuk?" gerutu Tere. Raka berpikir sejenak. "Ehm, oke. Mami tunggu dulu." Raka mematikan panggilan telepon ibunya dan ia baru sadar ada puluhan pesan juga panggilan terlewat dari Aira. Oh, pasti gadis itu sudah tahu mereka kedatangan tamu. Kini, Raka pun langsung menelepon Aira. "Halo, Ai. Kamu tahu ada mami aku di depan?" tanya Raka. "Ehm, iya, Mas. Aku mau bukain, tapi ibu itu duduk di teras. Aku harus gimana?" tanya Aira dengan nada takut. "Kamu ke kamar kamu sekarang!" perintah Raka. "Ehm, jadi aku nggak perlu bukain pintu apa gimana?" tanya Aira lirih. "Bentar. Kamu dengerin dulu," ujar Raka penuh harap. "Oke." "Ehm ... kamu ke kamar, ambil semua baju kamu dan bawa ke atas, ke kamar aku," ujar Raka. Ia bicara dengan mondar-mandir karena tahu ini adalah permintaan yang berat. "Apa?" Benar saja, di seberang, Aira terdengar terkejut. "Kenapa?" "Karena Mami pasti bakalan kepo kalau kita nggak tidur satu kamar," jawab Raka. Ia menggeleng cepat. "Maksud aku ... aku mau kita pura-pura aja. Untuk semalam. Mami bakalan nginep dan dia ... dia harus tidur di kamar tamu." "Tapi ... tapi aku ...." "Aku tahu kamu takut," potong Raka pada ucapan Aira yang gelagapan. "Kita cuma perlu akting, malam ini aja. Biasanya Mami nggak lama nginep. Apalagi ada kamu. Oke?" Di seberang, Aira berpikir keras. Ia sudah cukup yakin Raka adalah pria baik, tetapi kini Raka memintanya untuk tidur satu kamar. Ia tak hanya takut, tetapi ini akan jadi momen pertama menghabiskan semalam suntuk di kamar seorang pria. Pria itu suaminya, ia tahu. Namun, tetap saja ia tak bisa membayangkan hal itu. "Aku nggak bakal sentuh kamu, aku janji. Cuma semalam, Ai. Mami bakalan kepo kalau kita nggak sekamar," desak Raka lagi. "Aku bisa pura-pura jadi pembantu di sini," kata Aira dengan nada memohon. "Nggak bisa. Mami tahu aku nggak punya ART," ucap Raka frustasi. "Aku pulang sekarang juga. Kamu cuma perlu bawa barang-barang kamu ke kamar aku dan abis itu tolong ajak mami masuk. Kalau mami tanya, jawab aja kita udah nikah." "Mas Raka janji nggak bakal ngapa-ngapain aku?" tanya Aira di seberang. "Janji. Aku janji, Ai." "Oke." Aira menelan keras atas ucapannya. Raka sudah menolongnya dari jeratan sang ayah tiri dan kini entah untuk alasan apa ia harus mengikuti permintaan Raka. "Makasih. Aku pulang sekarang." Raka meninggalkan ruangannya dengan cepat. Ia menuruni anak tangga dan bertemu dengan Sandy yang sedang bersiap untuk pulang. Ia menepuk bahu Sandy lalu menggeleng frustasi. "Aku harus pulang. Kamu lembur!" "Oh, kayaknya ada yang nungguin nih di rumah!" ledek Sandy lirih. "Ya. Sesuatu yang nggak baik. Sorry, tapi kamu harus pulang belakangan," ujar Raka mengabaikan ledekan temannya. Sandy mengacungkan dua telapak tangannya di depan d**a. "Nggak masalah, Bos. Aku tahu gimana rasanya jadi pengantin baru." Raka hanya mendengkus. "Bukan itu masalahnya! Ini lebih gawat daripada sensasi pengantin baru," batin Raka. Ia tak mau ambil pusing dengan ucapan Sandy dan memilih untuk berjalan lebih cepat menuju parkiran. Sembari berjalan, Raka pun menelepon Tere. "Mami!" "Oh, ya. Kamu udah di jalan?" tanya Tere. "Ehm, baru mau masuk mobil," jawab Raka. "Mi, aku mau ngomong sesuatu tapi Mami jangan kaget ya." "Apaan sih? Ngomong aja buruan." "Oke. Jadi ... Mami tunggu aja bentar. Nanti ada yang bukain pintu, jadi Mami nggak bakalan digigitin nyamuk di teras," ujar Raka. "Apa? Ada orang yang tinggal di rumah kamu?" tanya Tere tak mengerti. "Ehm, istri aku," jawab Raka. Tere langsung berdiri dari duduknya. "Kamu bercanda? Kamu punya istri? Lagi?" "Aku cerita nanti. Pokoknya, aku mau Mami nggak banyak tanya sama dia kalau udah ketemu. Jangan bikin dia ngerasa nggak nyaman. Oke?" Raka membuka pintu mobilnya lalu segera duduk. "Tunggu sebentar, Raka! Kamu beneran udah nikah lagi? Tanpa bilang-bilang ke Mami dan papi? Tapi kenapa? Gimana bisa? Ini pilihan kamu lagi? Harusnya kamu cerita ke Mami biar Mami bisa menilai wanita itu. Mami nggak mau ...." "Mi, plis. Aku udah di jalan ini. Aku nggak bisa ngomong panjang. Pokoknya, Mami tunggu bentar. Dia bakal bukain pintu buat Mami. Tolong, jangan kepo banget sama dia," kata Raka penuh harap. Terdengar Tere membuang napas panjang di seberang. "Oke. Kamu hati-hati di jalan." "Ya." Raka merasa dunianya terguncang. Ia tidak tenang karena kedatangan ibunya. Ia juga tidak tenang karena ibunya akan segera bertemu dengan Aira. Namun, ia tak bisa membiarkan ibunya duduk berlama-lama di teras sementara Aira di dalam. Ah, semuanya benar-benar gila. "Apa Ai udah bawa bajunya ke atas?" gumam Raka. *** Di rumah, Aira berjalan gugup dengan memeluk tasnya. Beruntung, ia belum memindahkan isi tas itu ke lemari. Tentu saja, itu karena ia belum meminta izin pada Raka meskipun ia yakin Raka akan berkata bahwa ia boleh memakai lemari di kamar tamu. Namun, situasi sekarang berbeda. "Kamarnya yang mana?" Aira berdebar hebat. Ia membuka pintu satu dan melihat kamar itu kosong. "Pasti yang satunya." Benar saja, ketika ia membuka pintu kamar satunya, ia melihat itu lebih terlihat seperti kamar dengan penghuni. Jadi, Aira pun masuk ke sana dan membuang napas panjang. Ia harus tidur di sini, bersama Raka malam ini. "Aku lagi dapet, nggak mungkin diapa-apain sama mas Raka," gumam Aira. Ia meletakkan tasnya di dekat ranjang lalu segera keluar. Aira kembali gelisah karena ia harus membukakan pintu untuk mertuanya. Bagaimana jika wanita itu marah karena ia membiarkannya duduk di teras untuk waktu yang lama? Ia harus membuat alasan. Namun, apa? Dengan tangan super dingin, Aira pun memutar kunci dan kenop pintu. Ia langsung bertemu tatap dengan ibu Raka. Wanita cantik itu berdiri, menjinjing tas kecilnya lalu mendekat pada Aira. "Assalamualaikum!" sapa wanita itu sambil tersenyum. "Waalaikumsalam," balas Aira gugup. "Maaf, Tante. Saya tadi baru masak di belakang. Nggak tahu Tante ke sini." Tere mengangguk pelan. Ia menatap Aira dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Kurus banget, kayak nggak pernah makan aja. Dia juga masih muda banget kayaknya. Kenapa Raka bisa nikah sama cewek model begini?" batin Tere. Merasa ditatap, Aira pun segera menunduk, tetapi jari lentik Tere dengan lihai mengangkat dagunya. "Jadi, benar kamu istri Raka?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN