Tere menatap putranya menaiki anak tangga dengan cepat. Ia tersenyum haru melihat hal itu. Meskipun ada beberapa hal yang terasa aneh di sini, ia mencoba mengabaikannya. Ia yakin, Aira masih malu-malu karena ia terlalu muda dan mereka baru menikah sehari. Ia yakin, ia akan melihat gestur penuh cinta keduanya jika ia tinggal lebih lama. Namun, rasanya tidak tepat juga jika ia tinggal berlama-lama di rumah pengantin baru ini.
"Ya ampun, Raka. Mami harap kali ini kamu menikah dengan wanita yang tepat," gumam Tere seraya mengusap dadanya. "Aku harus kasih tahu Mas Fendy."
Tere berniat untuk masuk ke kamar tamu yang ia sudah tahu letaknya di mana. Ia pernah menginap di rumah ini sekali, ketika Raka baru saja membeli rumah ini. Namun, kedua langkah Tere langsung terhenti ketika ia melihat meja makan.
"Apa gadis muda itu beneran bisa masak?" Tere mendekat ke meja makan lalu membuka tudung saja. "Banyak banget."
Tere tersenyum lebar. Bahkan Aira bisa memasak untuk Raka. Itu bagus, sangat bagus! Aira memang masih muda, tetapi mungkin ia juga bisa menjaga Raka dan hatinya. Semoga saja. Raka mungkin sudah memiliki selera yang berbeda karena ia menikahi Aira. Ia tak ingin peduli, jika itu membuat putranya bahagia, maka ia juga akan begitu.
Tere buru-buru masuk ke kamar, berbaring dan mencari kontak suaminya. Ia tak sabar untuk memberitahu suaminya bahwa Raka sudah membuka hatinya.
"Assalamualaikum, Mi. Kamu udah sampai di rumah Raka?" tanya Fendy di seberang.
"Waalaikumsalam, Papi Sayang! Mami udah nyampe, Pi. Ya ampun, Papi harus dengerin Mami!" Tere tak bisa menahan semangatnya untuk bercerita.
"Ada apa, Mi? Apa Raka bikin kamu seneng? Ada kabar bagus?" tanya Fendy.
Tere mengangguk keras meski suaminya itu jauh. "Ya! Raka udah nikah, Pi! Raka mau nikah lagi!"
"Apa? Mami yakin? Mami nggak lagi nge-prank aku, 'kan?"
"Nggak, Pi. Aku juga kaget. Tapi ... tadi aku di sini disambut sama Aira, istri Raka. Mami lupa nggak tanya nama panjangnya siapa. Tapi itu namanya, Ai," tutur Tere.
Di seberang, Fendy langsung tersenyum bahagia. "Kamu lihat buku nikahnya nggak, Mi? Raka nggak lagi bohong, 'kan? Dia nggak ada cerita apapun. Terakhir dia bilang nggak punya pacar kenapa tiba-tiba nikah, Mi?"
Tere mengangguk setuju. Ia juga agak cemas dengan hal itu. "Kayaknya mereka kenal sejak Raka tinggal di sini, Pi. Ai ... Ai masih muda banget."
"Apa? Berapa tahun? Apa masih kuliah?" tanya Fendy penasaran.
Tere terkekeh. "Nggak, Pi. Dia baru mau masuk kuliah. Ya ampun, selera Raka berubah drastis."
"Apa? Apa dia nggak cantik?" tanya Fendy.
"Cantik, tapi dia pucet banget. Kayaknya dia takut sama aku," jawab Tere. Wanita itu mengusap keningnya pelan. Ia ingat mantan istri Raka yang berparas cantik dan berbadan seksi bak gitar Spanyol. "Ai kurus banget, Pi. Mami nyampe tanya kenapa Raka bisa suka sama Ai. Dia beneran beda sama mantan Raka. Mami pikir, kalau Raka mau nikah lagi, dia bakal nyari yang lebih dari Yumna. Lebih cantik, lebih seksi dan lebih menggoda."
Fendy membuang napas panjang. "Tapi dia baik?"
"Kayaknya dia baik. Semoga. Dia masak! Dia masak buat Raka, Pi. Aku udah lihat di meja makan. Dia pasti nungguin Raka pulang sambil masak," gumam Tere membayangkan.
"Apa mereka udah lama nikah? Kenapa Raka nggak cerita sama sekali, Mi?"
Tere menggigit bibir bawahnya sebelum ia kembali membuka mulut. "Raka baru nikah sehari sama Ai."
"Apa? Ya ampun. Kenapa aku ngerasa cemas, Mi? Apa pernikahan Raka baik-baik aja? Raka kelihatan bahagia?" tanya Fendy.
Tere tak bisa mendeskripsikan bagaimana ekspresi Raka tadi ketika mereka bertemu. Yang jelas, Raka cemas, marah dan kesal karena ia mengungkit masalah Yumna. Ia tidak melihat bias kebahagiaan di wajah putranya.
"Kayaknya mereka masih malu-malu, Pi. Mami mau di sini dulu. Mami harus liat gimana Raka sama Ai. Ah, bodoh banget Raka nggak ngajak istrinya bulan madu, dia malah kerja hari ini."
"Ehm, Raka emang lagi sibuk banget sama kafe barunya. Mungkin belum sempat bulan madu, Mi," ujar Fendy menebak.
"Papi bener juga. Mungkin gitu ya." Tere tertawa pelan. "Ya udah, Pi. Ini mau adzan. Mami mau mandi terus sholat. Mami mau liat pasangan suami-istri baru itu. Oke?"
***
Sementara itu, Raka yang baru saja masuk ke kamarnya menjumpai Aira duduk di kursinya dengan gumpalan baju di pangkuannya. Raka menutup pintu pelan lalu melangkah dengan hati-hati. "Kamu mau mandi?"
"Ya, tapi aku lupa handuk aku," jawab Aira resah. Sebenarnya, itu bukan handuknya. Itu handuk yang ada di kamar tamu dan itu sangat lembut hingga Aira penasaran untuk menggunakannya. Ia baru sadar, bahwa ia memang tak mengemas handuk dari rumahnya.
"Ah, aku punya banyak," ujar Raka. Ia membuka lemarinya lalu mengambil sebuah handuk baru untuk Aira. "Kamu bisa mandi. Di sana, kamu udah liat kamar mandinya?"
Aira menggeleng. Ia terlalu takut, gelisah dan was-was jika Raka tiba-tiba masuk. Dan yah, kini ia berdua saja dengan Raka.
"Aku nggak bakalan ngintip. Kamu bisa mandi dengan tenang," kata Raka meyakinkan.
Aira mengangguk. Ia mencoba untuk percaya. Jadi, ia segera mengambil handuk putih yang diulurkan oleh Raka. "Berapa lama mami bakalan di sini?"
"Ehm, semoga cuma semalam," jawab Raka tak yakin. Ia memilih duduk di tepi ranjangnya, agak jauh dari tempat duduk Aira. "Maaf, kamu jadi harus terjebak kadang mami aku."
Aira mengangguk saja. Toh, ia tak punya pilihan lain. "Nggak apa-apa."
"Apa mami ngomong sesuatu ke kamu?" tanya Raka kemudian. "Sesuatu tentang aku."
Aira melayangkan tatapan gugup ke arah Raka. Yah, Tere sempat bercerita meskipun tidak gamblang. Namun, ia tak mau membuat Raka lebih cemas lagi. "Mami cuma tanya gimana kita bisa nikah dan ... aku bilang kita kenal sejak Mas pindah ke sini. Aku sering lewat kalau sekolah dan ... mami bikin kesimpulan sendiri."
Raka bersyukur dalam hati. Sepertinya Aira bisa menangani ibunya dan itu melegakan. Raka masih ingat memang, Aira sering lewat sini, jika tidak berjalan cepat maka gadis itu akan berlari ketika berangkat sekolah. Gadis mungil dengan seragam abu-abu putih.
"Maaf. Kamu jadi harus ngobrol nggak jelas sama mami. Kamu cukup dengerin aja kalau mami ngomong, oke? Mami ... dia emang gitu. Kepo," ujar Raka diikuti dengkusan keras.
"Nggak apa-apa, Mas. Aku mandi dulu."
"Oke."
Raka membanting dirinya ke ranjang begitu Aira masuk ke kamar mandinya. Hati Raka tak bisa tenang karena ibunya masih ada di sini. Obrolan babak pertama sudah lewat, tetapi obrolan babak selanjutnya mungkin akan terjadi. Dan itu pasti menyinggung bagaimana kehidupan pernikahan barunya dengan Aira. Pernikahan yang tidak seperti pernikahan, pikir Raka dalam hati.
"Aku harus bikin Mami yakin kalau aku sama Ai baik-baik aja," gumam Raka. Ia menggeleng keras. "Nggak, aku harus kelihatan baik-baik aja di depan Mami!"
Pria itu menoleh ke kamar mandi dan mendengkus keras. Jika itu artinya ia harus bersandiwara bersama Aira di depan ibunya, itu akan sangat sulit. Aira bahkan tak mau disentuh olehnya. Oh, bagaimana ia bisa menunjukkan bahwa pernikahannya baik-baik saja?
***
Raka benar-benar lupa bahwa Aira ada di kamarnya. Ia keluar dari kamar mandi hanya dengan selembar handuk yang melingkar di pinggangnya. Dan tentu saja, ketika ia keluar dari kamar mandi, Aira langsung menjerit kecil lalu berpaling darinya.
"Oh, Ai. Maaf!" Raka segera berjalan ke lemari, membuka pintunya dan memakai pakaian asal. "Maaf, Ai. Aku nggak bermaksud. Aku lupa!"
Aira masih berdebar keras, tetapi ia hanya bisa mengangguk pelan. Ia tak berani menoleh karena ia masih mendengar gerakan Raka yang tengah berpakaian. Jika teman-teman sekolahnya sangat mengagumi poster tubuh pria tanpa atasan yang menampakkan otot-otot mereka, Aira justru merasa ngeri. Baginya, seorang pria sama seperti ayah tirinya. Sesuatu yang berbahaya! Apalagi tubuh mereka!
"Ai ... dengar," panggil Raka pelan. "Aku beneran lupa kamu di sini. Lain kali, aku pakai baju di kamar mandi."
Aira mengangguk lagi meskipun ia sangat ingin menangis. Atau lebih baik, jika ia bisa keluar dari rumah ini. Namun, ia jelas tak memiliki tujuan.
"Aku mau turun dan sholat sama mami. Bisa kamu turun bentar lagi buat makan malam bareng?" tanya Raka. Baru saja ia berpikir keras untuk menunjukkan bahwa pernikahannya baik-baik saja di depan ibunya, semuanya langsung kacau.
"Ya. Mas Raka turun aja dulu," kata Aira.
"Oke. Aku minta maaf sekali lagi," ujar Raka merasa bodoh. Benar-benar bodoh. Ia sudah menakuti gadis itu. Bagaimana jika gadis itu pingsan lagi? Ah, ia tak tahu lagi bagaimana menghadapi Aira.
"Mami, ayo kita sholat," ajak Raka sembari mengetuk pintu kamar ibunya.
Tere membuka pintu dan menoleh ke kanan kiri. "Mana istri kamu?"
"Dia lagi nggak sholat, Mi. Jadi dia masih di kamar," jawab Raka seraya berjalan ke ruang sholat yang ada di sebelah kamar tamu.
"Oh, jadi itu alasan kamu belum bulan madu? Apa kamu menundanya sampai dia selesai?" tanya Tere dengan maksud menggoda putranya.
"Mi, kita tuh mau sholat. Mami tuh ... nggak usah mikir m***m!" seru Raka dengan nada jengkel.
Tere tertawa seketika. Ia memeluk lengan putranya dan tertawa lebih keras karena wajah memerah Raka. "Mami harap minggu depan kamu bisa menikmati waktu bahagia kamu sebagai seorang suami. Pantes aja kamu uring-uringan. Kamu harus sabar karena istri kamu baru dapet. Sabar, Ka, nanti juga ngerasain lagi."
Raka mendesahkan napas panjang. Obrolan ini sangat mengerikan! Raka merasa ingin menghilang saja sekarang. Karena ia tak tahu, harus bersabar sampai kapan jika itu Aira, seorang korban kekerasan seksual.