Usai sholat Maghrib berjamaah, Raka dan Tere langsung menjumpai Aira di ruang makan. Aira telah menyiapkan teh hangat untuk mereka bertiga dan juga nasi hangat di atas mangkuk besar. Tere tersenyum tipis, ia sangat ingin melihat interaksi pasangan suami-istri baru itu di meja makan.
"Ehm, maaf Mami jadi ganggu kalian berdua. Padahal kalian masih anget-angetnya pasti," ujar Tere seraya duduk.
Hawa panas menyambangi wajah Aira hingga ia langsung memerah. Biasanya ia duduk di kursi Tere, tetapi kini mau tak mau ia harus duduk di sebelah Raka. Tentu saja, dengan canggung.
"Mami kalau masih mau ngomong aneh-aneh aku nggak mau makan bareng Mami," kata Raka ketus.
Tere tertawa kecil. Ia melirik Aira yang baru saja membasahinya bibirnya. "Dia kayak gitu, Ai. Sebenarnya Raka sangat manja."
"Nggak usah omong kosong," tukas Raka jengkel. Ia menoleh pada Aira. "Kamu jangan dengerin omongan mami. Oke?"
Aira hanya tersenyum tipis dan mengangguk. "Aku cuma masak yang ada di kulkas, tadi aku belum belanja apa-apa."
"Oh, ya. Nggak masalah. Ini aja ... kamu sendiri yang masak?" tanya Raka.
"Ya. Aku nggak tahu rasanya cocok apa nggak sama Mami dan Mas Raka, jadi maaf kalau banyak kurangnya," kata Aira.
"Ehm, ini kelihatannya enak. Buat cewek 19 tahun kayak kamu, ini udah hebat banget," tukas Tere seraya menyendok udang saus Padang buatan Aira.
Aira hanya tersenyum tipis sementara Raka di sebelahnya juga mulai mengambil makanan. Raka sendiri juga dibuat takjub dengan kemampuan memasak Aira. Ternyata Aira bisa memasak beberapa jenis makanan sekaligus dan semua terasa enak.
Makan malam mereka berlalu dengan cepat hingga tiba-tiba Tere mendengar meongan kecil Memei. Sontak, wanita itu menoleh ke kandang yang tak jauh dari dapur.
"Lho, itu Memei kenapa dikurung? Apa nggak kasihan?" tanya Tere pada Raka.
Raka meringis. Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Ai takut sama kucing, Ma. Jadi aku kurung dulu. Kalau malam baru aku lepas."
"Ah, kamu takut sama kucing?" tanya Tere pada menantunya yang mengangguk malu-malu. Tere menoleh pada putranya yang semakin terasa aneh. Raka rela mengurung kucing kesayangannya hanya karena Aira takut. Ah, sungguh cinta yang konyol, pikir Tere. Ia berpikir bahwa Raka akan menikah dengan pecinta binatang seperti dirinya. "Kenapa kamu takut? Kamu alergi bulu?"
"Nggak juga, Mi. Aku pernah dicakar waktu kecil, aku takut kalau deket kucing lagi," ungkap Aira.
Tere mengangguk. Di antara banyak orang yang suka dengan kucing pasti ada juga yang sebaliknya. "Tapi Memei baik, kamu bisa coba dulu pegang dia. Dia juga dipotong rutin kukunya sama Raka."
"Mami nggak usah maksa-maksa Ai, dong." Raka meneguk air minumnya sementara sang ibu hanya membuang napas. "Memei emang kelihatan galak, makanya Ai takut."
Raka berdiri lalu untuk mengurus kucingnya. Ia melihat wadah pakannya telah kosong, juga air minumnya. Sungguh, Raka juga tak suka mengurung Memei seperti ini, tetapi ia juga tak mau menakuti Aira.
"Maaf, Mi," gumam Aira yang juga melihat aksi Raka mengurus kucing kesayangannya.
"Kenapa kamu minta maaf? Karena kamu takut kucing?" tanya Tere. Aira mengangguk cepat. "Ya ampun, kamu nggak perlu minta maaf. Namanya takut mana bisa dipaksa. Mami cuma heran aja Raka mau ngalah ngurung kucingnya demi kamu."
Aira merasa kedua pipinya memanas. Demi dirinya. Raka sudah melakukan banyak hal. Tuduhan itu, pernikahan itu, juga mengurung kucingnya. Aira pun menunduk ke piringnya yang kosong. Ia lalu menumpuk piring Raka yang juga telah kosong.
"Aku bersih-bersih dulu, Mi," kata Aira seraya mengambil piring kosong mertuanya.
Sembari mencuci piring kotor, Aira melirik-lirik Raka dan ibunya yang sedang bermain dengan Memei. Ia tahu, kucing memang menggemaskan. Ia tak takut jika hanya melihat dari jauh, tetapi menyentuh dan didekati bisa membuatnya ketakutan. Ia cukup takjub dengan interaksi Raka dan ibunya. Mereka tampak begitu dekat, saling menyayangi dan sama-sama menyukai kucing.
Begitu selesai membereskan alat makan dan meja makan, Aira pun berniat kembali ke kamar. Raka masih tinggal di lantai satu karena ia hendak sholat berjamaah dengan ibunya. Tere mengajaknya untuk menonton televisi lebih dulu sembari menunggu adzan isya, tetapi Aira takut akan ada obrolan yang membuatnya harus mengarang lagi. Jadi, Raka pun berkata agar ibunya membiarkan Aira naik saja.
***
Aira membasuh wajahnya dengan air di wastafel. Ia bahkan lupa tak membawa sabun cuci muka miliknya. Walaupun ia tak berdandan, ia masih ingin merawat wajahnya yang menurutnya pas-pasan itu. Aira mulai mengantuk karena waktu sudah lewat pukul 9.00 malam, tetapi ia juga tak enak jika ia tidur di atas ranjang Raka sementara sang empunya belum menampakkan batang hidungnya.
Aira ingat, ia pernah tidur di kamar dan tiba-tiba Doni memeluknya dari belakang. Itu sangat menakutkan, ia tak mau itu terjadi lagi. Bahkan jika ia percaya pada Raka saat ini, ia tak pernah tahu apa yang akan terjadi ketika ia memejamkan matanya.
"Hei," panggil Raka seraya mengetuk pintu kamar mandi yang tidak tertutup sempurna ini.
Aira menoleh dengan wajah basah, terkesiap oleh kemunculan suaminya. "Ehm, aku baru cuci muka."
"Oke. Aku mau ganti baju tidur," ujar Raka. "Kalau kamu udah selesai," imbuhnya cepat.
"Udah. Aku udah, Mas." Aira mengambil handuk kecil lalu mengusap wajahnya sembari berjalan keluar kamar mandi. Ia mencoba menenangkan jantungnya yang berdetak liar, tetapi nyatanya ia tak bisa. Ia duduk di tepi ranjang dengan takut.
Raka keluar dari kamar mandi setelah kira-kira berada di sana selama lima belas menit. Aroma segar menguar ketika pria itu muncul dan itu membuat Aira semakin gugup.
"Aku bakal tidur di lantai kalau kamu keberatan kita tidur satu ranjang," kata Raka seraya membuka lemari. Ia mengeluarkan gulungan selimut untuknya.
"Nggak ... masa Mas tidur di lantai. Dingin," kata Aira tak enak. Ia menunjuk dirinya sendiri. "Aku aja. Aku yang tidur di lantai."
Raka tertawa kecil. "Nggak usah. Kamu tidur di atas aja. Aku nggak bakal ngapa-ngapain kamu. Janji. Aku udah janji sama kamu."
"Tapi masa aku di atas, terus Mas di bawah," ujar Aira.
Raka sudah menggelar selimut tebalnya di atas karpet berbulu. Ia menoleh pada Aira yang duduk gelisah di atas ranjang. "Jadi kamu mau kita tidur berdua di sana?"
"Kasurnya besar." Aira menepuk ranjang besar Raka. Yah, king size, itu cukup besar untuk tidur berdua saja.
Raka mengangguk sependapat. Namun, ia tak bisa menipu dirinya sendiri. Ia adalah pria normal dan jika ia tidur di sebelah Aira malam ini, barangkali iblis dalam dirinya akan bangkit dan itu akan merepotkan. Ia tak mau itu terjadi, jadi ia memilih untuk mengambil bantal dari atas ranjang lalu berbaring di lantai.
"Aku di sini aja. Kamu bisa matiin lampu?" tanya Raka.
Aira mengangguk. Ia berdiri untuk mematikan lampu kamar, tetapi ia membiarkan lampu tidur di atas nakas tetap menyala. "Boleh ini tetep nyala?"
"Tentu aja kalau kamu mau," jawab Raka. Pria itu tak lantas tidur karena ia juga merasa tidak tenang. Untuk pertama kalinya setelah ia bercerai, ia akhirnya tidur satu kamar dengan seorang wanita. Dan wanita itu istrinya!
Raka memilih untuk membuka ponselnya lalu berselancar di dunia maya. Ia mengabaikan pesan-pesan yang masuk di grup alumnus SMA. Ia yakin, mereka masih membahas masalah reuni yang tak ingin ia hadiri itu. Ia yakin Yumna akan ada di sana dan ia tak mau bertemu dengan mantan istrinya itu.
"Ai," panggil Raka ketika ia melihat Aira sudah berbaring dengan selimut menutupi tubuhnya. "Jangan takut. Aku bukan pria jahat."
"Aku tahu, Mas," jawab Aira lirih.
"Ehm, bagus. Aku minta maaf sekali lagi karena kamu harus terlibat sama mami aku," ujar Raka.
"Nggak apa-apa," tukas Aira.
Hening, keduanya sama-sama terdiam. Aira mulai memasang headset, ia ingin mendengarkan musik saja alih-alih suara jantungnya yang tak wajar.
"Kamu udah mikir mau daftar di prodi apa?" tanya Raka membelah keheningan.
"Belum," jawab Aira. "Apa aku beneran harus kuliah? Aku bisa kerja."
"Ya, kamu harus kuliah. Besok aku bawain kamu brosur beberapa universitas, kamu juga bisa lihat-lihat di internet atau tanya temen kamu. Kamu punya teman, 'kan?" tanya Raka ragu.
"Ehm ... aku punya," jawab Aira.
"Oke. Kamu pikirin aja dulu. Besok kita obrolin lagi," kata Raka. Pria itu mulai menguap ketika ia membaca sekilas pesan dari Sandy.
Sandy: Jangan mangkir dari acara reuni, Bos! Kayaknya Yumna nggak datang kok. Ups!
Raka hanya mendesis lirih. Ia lalu mematikan ponselnya karena tak ingin terganggu. "Besok aku berangkat kerja jam 7.00 pagi. Kamu harus ... ehm, terjebak lagi sama mami. Mudah-mudahan aja papi sore udah datang jadi mami nggak bakal ganggu kamu lagi."
"Papi?" tanya Aira.
"Ehm, papi aku. Mami nunggu dijemput papi baru dia mau pulang. Jadi ... kamu bisa kenalan juga sama papi besok. Maaf, pasti bakalan ada hal merepotkan lagi besok," kata Raka dengan nada berat.
"Oke. Aku nggak keberatan. Mas udah baik sama aku, jadi aku juga harus balas budi. Mas mau pernikahan kita kelihatan normal di depan mereka?" tanya Aira. Ia melirik Raka yang baru saja menguap lebar dan memejamkan matanya. Sama seperti semalam, Aira bisa melihat wajah kesepian Raka. Bedanya, tak ada kucing di pelukannya.
"Ya, sebisa mungkin terlihat normal," tukas Raka tanpa membuka mata. "Pernikahan normal," batinnya getir. "Pernikahan ini bahkan tidak mendekati normal. Kalau Yumna sampai tahu, dia pasti bakal ketawa."
Raka membalik badannya, memikirkan Yumna sementara Aira ada di kamarnya sungguh tak benar. Ia ingin menepis bayang-bayang mantan istrinya, tetapi ia tahu itu bukan hal yang mudah. Yumna sudah menorehkan luka di hati Raka, dan itu adalah satu-satunya yang tersisa dari hubungan mereka. Luka.