13. Diajak Mertua Jalan-jalan

1501 Kata
Keesokan harinya, Aira bangun lebih dulu. Ia tak percaya ia merasa begitu tenang tidur di kamar Raka. Barangkali karena Raka juga tidur dengan sangat nyenyak di atas karpet dan selimut. Raka tidak mengusiknya sama sekali, sesuai janji yang diucapkannya. "Mas Raka!" panggil Aira lirih. Ia tak tahu bagaimana membangunkan Raka, tetapi adzan Subuh sudah berkumandang beberapa menit yang lalu ketika ia mencuci muka. Jadi, ia memberanikan diri untuk mencoba membangunkan suaminya itu. "Mas, bangun! Udah Subuh." Aira mendekat ke arah Raka lalu berjongkok di sebelah pria itu. "Mas mau bangun nggak?" Raka bergumam lirih lalu mengerutkan wajahnya. "Jam berapa?" tanyanya malas. "Jam tengah lima." Aira mundur lalu duduk di tepi ranjang. "Udah adzan dari tadi. Aku mau nyiapin sarapan." Raka duduk dengan wajah super mengantuk. Ia mengusap bibirnya dengan punggung tangan lalu mengangguk pada Aira. "Makasih udah bangunin aku. Nggak usah masak yang berat-berat, Mami biasanya cuma sarapan roti." Aira mengangguk. Ia lantas berdiri lalu keluar dari kamar Raka dengan napas lega. Satu malam berlalu, ia berharap malam nanti ia sudah bisa tidur di kamar yang berbeda dengan Raka. Ia tak ingin pria itu mengalah dan tidur di lantai lagi sementara ia tidur nyenyak di tempat tidur. Ketika Aira tiba di lantai bawah, ia melihat mertuanya sedang menunaikan sholat Subuh. Ia tak ingin mengganggu jadi ia segera ke dapur. Ia menahan napas ketika melihat Memei baru saja mengeong padanya. "Pagi, Memei," sapa Aira pada kucing kelabu itu. Aira tak lantas menyiapkan sarapan karena ia hanya perlu membuat sandwich. Ia keluar ke halaman belakang untuk melihat suasana pagi. Di luar masih sangat sepi dan pagar rumah Raka sangat tinggi, jadi ia tak perlu cemas kalau ada tetangga yang akan melihatnya. Setelah menghirup udara pagi yang segar, Aira pun mulai membuat sarapan. Ia mendadar telur untuk isian sandwich lalu menatanya di atas roti, keju, selada, saos dan mayones. Setelah semuanya siap, ia segera menyiapkan mereka di atas meja. "Wah, kamu udah bikin sarapan?" tanya Tere yang baru keluar dari ruang sholat. "Udah, Mi. Udah mulai siang," jawab Aira. "Mami mau minum apa?" "Nggak usah repot-repot. Raka biasanya minum kopi kalau pagi. Kamu tahu cara bikin kopi kesukaan Raka?" tanya Tere. Aira menggeleng pelan. Ia tak suka kopi karena kopi mengingat dirinya pada Doni. Namun, ia mengikuti saja langkah mertuanya menuju dapur. Ia memperhatikan bagaimana Tere meracik bubuk kopi, gula dan krimer di cangkir kecil. "Ini yang disukai Raka," ujar Tere seraya mengaduk kopi tersebut. "Ya. Aku bakalan inget." Aira mengambil cangkir dari tangan Tere lalu membawanya ke meja makan. Ketika itu, Raka terlihat menuruni anak tangga. "Sarapan, Mas." "Ya, makasih." Raka menatap sandwich dan kopi yang ada di depannya. "Kelihatannya enak." "Ehm, coba aja," kata Aira. "Semoga Mas suka." Raka mengangguk pelan. Ia tahu Aira bisa memasak dan ia tidak kecewa dengan sarapan yang disajikan istrinya itu. Ia tersenyum tipis ketika ibunya juga terlihat senang dengan sarapan mereka. Masalah pertama hari itu selesai, pikir Raka. Sarapan selesai dengan sempurna! Namun, masalah kedua terasa agak berat. Ia harus berpamitan dengan Aira dan ibunya pasti akan menonton adegan itu. Ia masih ingat dua hari yang lalu Aira pingsan ketika ia hampir mencium keningnya. Ia yakin, ibunya mengharapkan ada adegan romantis pagi ini. Ia sangat yakin karena ibunya kini duduk manis di ruang tamu. "Ai, ini buat kamu," kata Raka seraya mengulurkan beberapa lembar uang ratusan ribu. "Kamu bisa belanja bahan makanan. Kulkas pasti udah kosong." "Tapi uang yang kemarin belum kepakai, Mas," tolak Aira. "Nggak apa-apa, siapa tahu kurang," ujar Raka. Ragu-ragu, ia menarik tangan Aira lalu meletakkan uang itu di tangan mungilnya. "Kamu boleh jajan juga." "Oke." Aira menarik tangannya cepat karena aksi Raka yang mengejutkan. "Ya udah, aku kerja dulu. Kamu baik-baik sama mami. Oke?" Aira mengangguk pelan sementara Raka menoleh pada ibunya yang memperhatikan. "Mas bisa pergi. Aku nggak apa-apa sama mami." "Ehm, aku pamit dulu." Raka mengulurkan tangannya dan berharap setengah mati agar Aira mau menyambutnya. Ia memberikan tatapan penuh makna pada Aira, dan beruntung Aira cukup tanggap. Ia tersenyum lega ketika Aira menjabat lalu mencium sekilas punggung tangannya. "Makasih," bisik Raka. "Aku pergi dulu." "Ya, hati-hati," gumam Aira hampir tak terdengar. "Mi, aku pergi dulu. Mami nggak usah aneh-aneh sama Ai. Oke?" pamit Raka pada ibunya. "Ehm, oke!" Tere melambaikan tangannya dengan puas pagi itu. Baginya menonton Raka yang malu-malu bersama Aira sangat membahagiakan hatinya. Aira menoleh gugup pada Tere karena takut aktingnya tidak terlihat natural. Ia terlalu gugup bersentuhan dengan Raka, tapi ia meyakinkan hatinya bahwa Raka adalah pria baik. Semalam, mereka bahkan tidur satu ruang dan tak ada apapun yang terjadi. Raka mungkin hanya menganggapnya sebagai seorang adik, dan itu tak masalah baginya. "Jadi, kamu mau belanja hari ini?" tanya Tere pada Aira yang baru saja menutup pintu. "Iya, Mi. Kulkas udah kosong." "Kita shopping sekalian yuk ke mall. Mami mau beliin kamu sesuatu," ujar Tere penuh semangat. Sudah lama sekali sejak terakhir kali ia berbelanja dengan menantunya. Ia tak ingin mengingat-ingat Yumna karena kini ia punya menantu baru. "Beli apa, Mi?" tanya Aira penasaran. "Hadiah buat kamu. Kamu kan udah jadi menantu Mami. Masa Mami nggak ngasih kamu apa-apa," ujar Tere seraya berdiri. "Pokoknya, kita jalan-jalan hari ini. Nanti aja jam sepuluhan gitu. Kamu bisa mandi dan istirahat dulu." "Ehm ... oke. Nanti aku bilang mas Raka dulu," kata Aira. Tere tersenyum lebar. "Benar, kamu minta izin sama suami kamu. Tapi kamu harus bilang kalau kamu emang pengen pergi sama Mami, jadi Raka pasti bolehin kamu. Kita naik taksi aja, nanti Mami yang order." *** Aira merasa agak senang karena ia akan berjalan-jalan ke mall. Ia sangat jarang bisa berbelanja ke tempat bagus seperti itu karena uang sakunya yang pas-pasan. Jadi, ia cukup bersemangat untuk keluar dari zona nyamannya. Apalagi kini ia memiliki uang pemberian Raka. Ia mungkin bisa membeli sesuatu meskipun ia juga harus menggunakannya untuk keperluan dapur. "Ai," panggil Tere seraya membuka pintu kamar Raka. "Mami boleh masuk?" "Boleh, Mi. Aku udah ganti baju." Tere menatap Aira dari atas hingga ujung kaki. Aira terlihat sangat biasa dengan pakaian sederhana berlengan panjang. Ia memaksakan sebuah senyuman. Ia akan membelikan baju baru untuk Aira hari ini. "Kamu nggak dandan?" tanya Tere. "Aku nggak biasa dandan," jawab Aira malu-malu. "Sini, biar Mami dandanin kamu," ujar Tere. Ia menarik kursi kecil lalu duduk di depan Aira. "Cuma bedak sama lipstik aja. Kamu tuh cantik, tapi kamu kelihatan pucat. Apa kamu kurang darah?" Aira hanya mengerjap. Ia membiarkan saja mertuanya itu mendandaninya. Walaupun Tere berkata itu hanya bedak dan lipstik, ia bisa merasakan sapuan-sapuan lain di wajahnya. "Ai, bibir kamu kenapa? Apa itu luka?" tanya Tere was-was. Ia baru melihat dekat wajah dan bibir Aira. Aira sontak menoleh ke cermin. Ia mengulum bibirnya dengan gelisah. Itu perbuatan Doni yang menggigit bibirnya hingga ia berdarah. Mungkin masih berbekas. "Aku jatuh, Mi. Seminggu sebelum pernikahan," jawab Aira berdusta. "Ah, begitu. Mami kira Raka yang terlalu kasar," ujar Tere. "Hah? Nggak, Mi. Nggak," tukas Aira dengan wajah memanas. "Syukur deh. Mami udah cemas. Raka anak yang lembut, makanya Mami kaget kalau dia sampai berbuat kasar," ungkap Tere. Ia kembali mengoleskan lipstik ke bibir Aira. "Kamu cantik, Ai. Kamu harus punya alat dandan gini, apa Raka nggak beliin kamu?" Tere mengedarkan matanya ketika Aira menatap wajahnya lagi di cermin. Tere melihat banyak hal yang janggal di sini karena hampir tak ada barang wanita yang tergeletak di sana-sini. Namun, ia meyakinkan dirinya bahwa itu hanya karena Aira baru pindah ke sini. "Ayo berangkat. Mami udah pesen taksi," ajak Tere. Aira dan Tere pun akhirnya tiba di sebuah pusat perbelanjaan. Aira menatap kagum gedung besar yang akan ia masuki. Ia hanya pernah sekali datang ke sana dengan Indri, teman sekolahnya. Dan kini, ia datang bersama mertuanya. "Yuk, Mami mau beliin kamu perhiasan dulu," kata Tere. "Apa?" Aira terkesiap. Ia tak pernah memakai perhiasan. Hanya anting-anting mungil yang sejak kecil sudah menempel di daun telinganya dan cincin pernikahan pemberian Raka dua hari yang lalu. "Ayo, itu hadiah buat kamu," ujar Tere seraya menarik lembut tangan Aira. Ia tersenyum tipis karena Aira begitu penurut. Dan kini, mereka baru saja masuk ke sebuah toko perhiasan yang sangat besar. Aira baru pertama kali melihat masuk ke toko seperti itu. Mereka pun disambut oleh seorang pramuniaga yang tersenyum ramah pada Tere. "Saya butuh satu set perhiasan untuk menantu saya," ujar Tere pada wanita itu. "Mami, itu mahal banget," kata Aira ketika pramuniaga datang dengan membawa dua kotak perhiasan berisi kalung, anting-anting, gelang dan cincin. "Itu hadiah. Tenang aja. Kamu suka yang mana?" Tentu saja Aira menggeleng, ia tak bisa memilih karena ia tak mau menerima hadiah semahal itu. Sementara di sebelahnya, Tere mulai menempelkan satu persatu perhiasan itu ke tubuh Aira. "Yang ini bagus, tapi ...." Ucapan Tere terpotong ketika ia melihat seseorang yang tak asing masuk ke toko dan mendekat padanya. "Mami apa kabar?" tanya seorang wanita cantik bertubuh tinggi semampai. Wanita itu menoleh pada Aira yang menatapnya penasaran. "Mami sama siapa?" "Panggil yang benar, kita nggak ada hubungan apa-apa lagi, Yumna." Ia menatap Yumna sengit. "Ini istri Raka. Jadi kamu jangan sembarangan memanggil aku seolah kita adalah keluarga!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN