Bab 10

1031 Kata
Untuk beberapa detik Asia hanya bisa mematung di tempat tanpa tahu harus melakukan apa. Asia sama sekali tidak pernah membayangkan akan bertemu dengan Shankara di sini. “Papa,” kata Lavanya seraya menarik tangan Shankara untuk masuk ke dalam kamarnya. “Ini Missnya Lavanya,” lanjutnya seraya menunjuk sosok Asia yang masih duduk di karpet dengan ekspresi kebingungan. “Miss,” panggil Lavanya. “Ini papaku, Miss,” lanjutnya. Asia yang tersadar oleh panggilan Lavanya itu buru-buru bangkit dari duduk. Tanpa sengaja matanya melirik ke arah cermin yang berada di sisi kirinya. Mata Asia sontak membulat kaget ketika melihat wajahnya yang tampak seperti badut dengan riasan tebal. Kedua pipi Asia kini sudah merah merona karena perona pipi yang Lavanya bubuhkan. Eyeshadow merah muda tampak begitu mencolok di kelopak mata Asia. Selain itu, lipstik di bibir Asia tampak keluar jalur yang membuat bibir Asia terlihat lebih tebal dari biasanya. Asia hampir tidak bisa mengenali wajahnya sendiri karena hasil make up Lavanya. Mengingat hal itu, membuat Asia mendadak saja menjadi optimis. Karena, siapa tahu, Shankara pun tidak bisa mengenali Asia. Benar. Tidak mungkin Shankara mengenali badut yang ada di hadapannya ini. “Halo, Pak,” sapa Asia dengan gugup. Shankara menatap Asia dengan kernyitan di dahi. Ekspresi wajahnya tampak heran dan bingung. Mustahil Shankara mengenali Asia. Asia sangat yakin, Shankara tidak akan tahu siapa dirinya. “Asia?” ucap Shankara dengan sebelah alis terangkat. Tidak mungkin Shankara mengenalinya! Dengan panik kini Asia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Bagaimana bisa Asia sepercaya diri itu jika Shankara tidak bisa mengenalinya dengan make up tebal seperti ini? Asia mana punya muka untuk berhadapan dengan Shankara dengan dandanan badut seperti ini. Sungguh memalukan! “Papa kenal sama Miss Asia?” tanya Lavanya terdengar senang. “Jadi, benar Asia?” kata Shankara lagi. Asia tidak berani membalas. Ia hanya bisa mengintip Shankara dari balik celah-celah jarinya yang berada di depan wajahnya. “Iya, Pa. Bener. Ini Miss Asia. Guru les Lavanya, Pa,” ucap Lavanya dengan semangat. Shankara menelengkan kepala dengan tatapan masih fokus ke arah Asia. “Bagaimana bisa—” Ucapan Shankara terpotong bunyi bel rumah. “Papa, pizza,” kata Lavanya cepat-cepat. “Pizza?” tanya Shankara bingung. “Bibi tadi nggak sempet masak, Pa. Terus Miss Asia beliin kita pizza,” jawab Lavanya. “Papa, pizzanya ambil. Cepet.” Shankara hanya menganggukkan kepala membalas ucapan Lavanya itu. Lalu, sambil melirik ke arah Asia yang masih menutupi wajahnya, Shankara keluar dari kamar Lavanya untuk turun ke bawah, mengambil pizza pesanan Asia. Setelah yakin Shankara sudah pergi. Asia buru-buru menurunkan telapak tangannya dari depan wajahnya. Kemudian, Asia menoleh ke arah Lavanya dengan ekspresi panik. “Papa kamu itu Pak Shankara?” tanya Asia kepada Lavanya. “Iya, Miss. Papaku namanya Shankara Dipta Abian,” jawab Lavanya dengan anggukkan kepala yakin. “Kenapa nggak bilang sama Miss kalau Pak Shankara itu papa kamu?” tanya Asia lagi semakin panik. “Karena Miss nggak pernah tanya.” Benar juga. Asia tidak pernah menanyakan nama orang tua Lavanya. Tapi, bukankah ini adalah hal yang mendasar yang seharusnya Asia tahu? Bagaimana bisa Asia melewatkan informasi sepenting ini? “Ya udah, kalau gitu, sebaiknya Miss pulang sekarang,” kata Asia seraya melirik jam di pergelangan tangannya yang tengah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. “Udah malam soalnya. Dan papa kamu juga udah pulang.” “Miss makan malam dulu,” ucap Lavanya. “Pizzanya kan udah datang.” “Nggak usah. Itu kan Miss beliin buat kamu sama buat papa kamu,” jawab Asia ingin segera pergi dari rumah ini. Lalu, Asia melirik ke arah cermin. Melihat wajahnya yang tampak seperti badut membuat Asia menghela napas dengan nelangsa. Bagaimana bisa Asia tadi muncul di depan Shankara dengan dandanan seperti ini? Sangat memalukan. “Miss numpang ke toilet sebentar, ya? Mau bersihin muka.” Lavanya menganggukkan kepala. “Iya, Miss. Toiletnya ada di depan kamarku.” “Oke.” Kemudian Asia buru-buru pergi ke toilet sambil membawa tisu basah khusus untuk membersihkan make up miliknya. Di toilet, Asia segera membersihkan make up tebal yang menempel di wajahnya. Dalam hatinya, Asia terus-terusan menggerutu karena harus bertemu dengan Shankara di sini. Asia pun mempertanyakan takdirnya yang baginya sangat lucu karena bagaimana bisa Shankara itu adalah papanya Lavanya? Asia benar-benar sedang sial. Setelah merasa wajahnya sudah bersih dari make up, Asia segera keluar dari toilet. Di depan toilet Asia melihat sosok Shankara yang tengah bersandar di tembok depan kamar Lavanya. Sontak saja Asia mematung di tempat, tidak tahu harus bereaksi seperti apa. “Asia,” ucap Shankara dengan tatapan fokus menatap ke arah Asia. Ekspresi wajah Shankara yang tampak dingin membuat Asia ingin kembali mengunci diri di dalam toilet. “Jadi, kamu guru lesnya Lavanya?” Asia hanya menganggukkan kepala menjawab pertanyaan Shankara itu. “Bagaimana bisa?” tanya Shankara lagi dengan kernyitan di dahinya. Kini Asia menggelengkan kepala. Karena dirinya pun tidak tahu bagaimana bisa ia terdampar di rumah ini dan menjadi guru les anak dari dosennya yang galak ini. “Pak, saya permisi mau pulang dulu,” kata Asia cepat-cepat sebelum Shankara melontarkan pertanyaan lain. “Udah hampir jam sembilan soalnya. Keburu kemalaman,” tambahnya seraya melirik ke arah jam di pergelangan tangannya. Ucapan Asia itu membuat Shankara menatap jam tangannya. “Kamu pulang naik apa?” tanyanya kembali menatap ke arah Asia. “Ojol,” jawab Asia singkat. “Naik ojol? Apa aman naik ojol malam-malam begini sendirian?” “Aman, Pak. Sangat aman,” kata Asia dengan yakin. “Saya permisi dulu, Pak. Mau ambil tas.” Asia berjalan melewati Shankara untuk pergi ke kamar Lavanya mengambil tasnya yang berada di sana. Setelah itu Asia keluar dari kamar tersebut. Asia pikir, ia akan melihat sosok Shankara di tempat pria itu tadi berada. Namun, saat ini Asia tidak menemukan Shankara di manapun di sekitarnya. Mumpung Shankara tidak ada, dengan kecepatan kilat, Asia langsung buru-buru berjalan menuju tangga untuk turun ke bawah. Asia harus segera kabur. Ia merasa tidak perlu lagi berpamitan dengan Shankara karena toh ia sudah bilang mau pulang. Lebih tepatnya sih, Asia tidak mau bertemu Shankara lagi. Pertemuan mereka siang tadi di kampus dan malam ini di rumah ini sudah sangat cukup. Asia tidak ingin bertemu lagi dengan Shankara.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN