Bab 11

1066 Kata
Shankara melongokkan kepala ke dalam kamar Lavanya, mencari keberadaan Asia. Namun, guru les Lavanya sekaligus mahasiswinya itu sudah tidak ada di dalam kamar itu. Kemudian, Shankara turun ke lantai satu, mencari keberadaan gadis itu di sana. “Asia?” panggil Shankara seraya berjalan menuju arah ruang makan di mana putri kecilnya berada. “Papa nyari Miss Asia?” tanya Lavanya yang tengah asyik melahap pizza yang ada di tangannya. “Iya. Dia di mana?” “Miss Asia udah pulang, Pa,” kata Lavanya. “Pulang?” Lavanya menganggukkan kepala. “Iya. Tadi Miss Asia sempat pamitan sama Lavanya sebelum pulang.” “Kenapa dia nggak pamit sama Papa?” tanya Shankara bingung. “Tadi, Miss bilang kalau udah bilang ke papa kalau Miss mau pulang.” Shankara mengernyikan dahi bingung. Bukankah tadi Asia hanya pamit mau ke kamar Lavanya untuk mengambil tas? Dengan helaan napas dalam Shankara mengambil duduk di kursi meja makan, sebelahan dengan Lavanya. Padahal tadinya Shankara berniat untuk mengantar Asia pulang ke rumahnya. Secara, ini sudah agak malam. Mau bagaimanapun juga kan Asia itu perempuan. Shankara merasa khawatir kalau Asia pulang sendirian naik ojol. “Papa,” kata Lavanya seraya menyodorkan satu potong pizza ke arahnya. “Makasih.” Shankara tersenyum sambil menerima pizza itu. “Yang minta dipesankan pizza siapa? Kamu?” “Aku sama Miss, Pa. Aku juga bilang kalau papa itu suka pizza, jadi, akhirnya Miss beliin pizza,” jawab Lavanya kembali menggigit pizza dengan raut wajah senang. “Kenapa kamu nggak bilang ke papa kalau nama guru les kamu itu Asia?” tanya Shankara menatap Lavanya dengan heran. Kalau sejak awal Shankara tahu, dirinya tidak akan sekaget ini. Bahkan, Shankara tadi sempat keheranan, takut salah mengenali orang. Namun, ternyata perempuan yang berdandan kayak badut tadi benar-benar Asia. Shankara sungguh tidak menyangkanya sama sekali. “Lavanya kan sering cerita ke Papa soal Miss, Pa.” “Iya. Tapi, kamu nggak pernah bilang nama Miss kamu siapa,” kata Shankara. “Iyakah? Berarti aku lupa, Pa,” jawab Lavanya terkikik geli. “Terus, apa Asia tahu kalau aku itu papa kamu?” “Kayaknya nggak deh, Pa. Soalnya tadi Miss juga tanya ke Lavanya apa benar papa itu papa aku,” Kata Lavanya. “Papa kenal sama Miss Asia?” “Dia kuliah di kampus tempat papa mengajar. Apa Asia benar-benar bisa ngajar kamu? Dia nerangin pelajaran kamu dengan benar, kan?” Lavanya menganggukkan kepala dengan semangat. “Iya, Pa. Miss itu pintar tahu, Pa. Miss ngerti semua pelajaran Lavanya,” katanya tersenyum dengan bangga. Entah mengapa Shankara agak tidak percaya dengan ucapan anaknya itu. Karena bagaimanapun juga kan, Shankara cukup tahu karakter Asia. Asia itu orang yang kadang suka seenaknya dan dia juga tidak pintar-pintar amat. Apa Lavanya akan baik-baik saja diajar oleh Asia? Tadi saja, mereka berdua malah main make up-make upan. Apakah Asia benar-benar mengajar Lavanya dengan baik? Mungkin sebaiknya mulai sekarang Shankara harus kembali mengecek PR Lavanya. Siapa tahu kan, Asia menjawab PR Lavanya asal-asalan. Kalau begitu, yang akan rugi Lavanya. Shankara tidak mau putri kecilnya itu memiliki guru les yang tidak kompeten. Kemudian, Shankara tiba-tiba teringat cerita Lavanya tentang guru lesnya yang mengeluh mengenai dosennya yang dia bilang susah. Apa jangan-jangan, yang dimaksud Asia itu adalah Shankara? Bagaimana bisa Asia menggosipkan Shankara dengan Lavanya seperti itu? Asia benar-benar! “Pa,” panggil Lavanya yang membuat Shankara menoleh. “Apa cucunya Bibi udah sembuh? Tadi Bibi bilang kalau harus pulang buat jagain cucunya yang sakit.” “Nanti biar Papa tanyain ke Bibi, ya?” Lavanya menganggukkan kepala dengan semangat. “Untung tadi ada Miss di sini, Pa. Kalau enggak pasti Lavanya kesepian sendirian di rumah nungguin Papa pulang,” katanya. Benar. Meskipun Asia memang agak menyebalkan, tapi beruntung ada dia di sini. Bagaimanapun juga Asia sudah menemani Lavanya sampai Shankara pulang. Bahkan Asia membelikan pizza untuk Lavanya dan juga dirinya. Seharusnya tadi Shankara mengucapkan terima kasih kepada Asia. “Terus Miss juga tadi make upin mukaku, Pa. Lihat, Lavanya jadi cantik kayak Miss Asia kan?” Lavanya tersenyum lebar seraya memperlihatkan wajahnya kepada Shankara. “Menurut Papa, kamu jauh lebih cantik dari Asia.” Lavanya tertawa senang mendengar pujian dari papanya itu. Hal ini membuat Shankara tersenyum kecil. “Kalau Asia yang make up-in kamu, terus yang make up in Asia siapa? Kamu?” Lavanya menganggukkan kepala dengan semangat. “Iya, Pa! Miss Asia jadi makin cantik kan?” Sontak saja Shankara tertawa mendengar jawaban dari putri kecilnya itu. Shankara tidak menyangka jika Asia dengan suka rela menyerahkan wajahnya kepada Lavanya untuk dicoret-coret. Pantas saja dandanannya tadi mirip badut dengan wajah cemong. “Iya. Miss kamu itu cantik dengan dandanan kayak gitu,” kata Shankara di tengah tawanya. Lavanya yang tidak tahu kenapa Papanya tertawa hanya bisa ikut tertawa bersamanya. *** Asia berjalan memasuki pintu ruang tamu dengan helaan napas dalam. Lima langkah kemudian, Asia kembali menghela napas dalam. “Kenapa Papanya Lavanya itu harus Pak Shankara?” gumam Asia dengan nada tak percaya. “Apes gue mah!” tambahnya seraya mengacak-acak rambutnya frustrasi. “Gimana nih!” “Asia,” panggil suara dari arah ruangan yang berada di sisi kirinya ketika Asia hendak menaiki tangga menuju lantai dua di mana kamarnya berada. Asia menoleh ke sumber suara dan mendapati papanya tengah keluar dari ruang kerja. “Iya, Pa?” “Kamu dari mana? Kenapa baru pulang jam segini?” tanya papanya yang sontak membuat Asia melihat jam di pergelangan tangannya. Saat ini jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh lebih lima menit. “Habis pulang dari kafe, Pa. Ngerjain tugas sama temen-temen. Senin ada presentasi soalnya,” kata Asia berbohong. Asia tidak mau papanya tahu kalau dirinya menjadi guru les. Asia takut dilarang untuk bekerja sampingan ketika masih berkuliah. Karena toh dirinya juga tidak kekurangan uang saku. Selain itu, Papanya pasti akan menyuruh Asia untuk fokus saja berkuliah. Papanya Asia menganggukkan kepala mengerti. “Apa kamu udah makan? Kalau belum makan dulu sebelum tidur,” ucapnya. Asia menganggukkan kepala. “Iya, Pa. Kalau gitu Asia ke kamar dulu, ya,” katanya. “Iya.” Kemudian Asia buru-buru berjalan menaiki tangga menuju kamarnya. Ponsel Asia yang berada di genggamannya bergetar, menandakan ada sebuah pesan masuk. Dengan enggan Asia membuka pesan yang baru saja masuk dari nomor tak dikenalnya. Kamu sudah sampai rumah? -085712xxxxxx- “Dih, siapa, sih?” gumam Asia geleng-geleng kepala. “Sok kenal. Dasar.” Asia mengabaikan pesan itu dan kembali berjalan menuju kamarnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN