Bab 9

1387 Kata
Asia membuka bungkus es krim rasa cokelat yang ada di tangannya. Kemudian, ia melakukan tos dengan Lavanya yang juga tengah memegang es krim rasa cokelat di tangannya. “Enak?” tanya Lavanya kepada Asia. Asia menganggukkan kepala. “Enak,” jawabnya tersenyum kecil. Sebelum les dimulai, Lavanya tiba-tiba saja membawakan satu buah es krim untuk Asia. Lavanya bilang, siapa tahu Asia suka dengan es krim cokelat kesukaannya. Asia memang beruntung punya murid les sebaik Lavanya. “Miss suka es krim cokelat?” “Iya. Suka banget! Apalagi kalau sedang galau gini. Rasa es krimnya jadi berkali-kali lipat enaknya.” Lavanya tertawa geli mendengar ucapan Asia itu. “Miss galau kenapa? Karena pacar, ya?” tanyanya. Asia menggelengkan kepala. “Enggak.” “Kalau galau itu, biasanya karena pacar, Miss.” “Kamu masih kecil, tahu apa soal pacar?” “Tahu lah!” jawab Lavanya. “Kayak Papa yang udah punya pacar. Kadang suka kayak galau gitu.” Asia membelalakkan mata, agak kaget mendengar ucapan Lavanya itu. “Papa kamu… punya pacar?” tanya Asia dengan hati-hati. Lavanya menganggukkan kepala. “Iya,” jawabnya tampak sedih. “Aku tapi nggak suka sama pacarnya papa.” “Kenapa nggak suka? Pacar papa kamu galak ya?” “Nggak sih, Miss. Hanya…, kadang tuh suka yang bikin papa sibuk gitu. Habis pulang kerja biasanya Papa sering bacain aku cerita, tapi, sekarang jadi jarang. Lebih sering teleponan gitu sama pacarnya.” Lavanya menghela napas lelah seraya mengangkat kedua bahunya. “Aku nggak suka.” Asia sangat mengerti rasa tidak suka yang Lavanya rasakan saat ini terhadap pacar papanya. Karena toh Asia pernah berada di posisi Lavanya. Dirinya pun dulu sangat menentang hubungan papanya dengan mamanya Clara. Namun, berhubung Asia sudah cukup dewasa dan bisa agak memahami papanya, jadi, Asia membiarkan Papanya dan mamanya Clara menikah. Ya, meskipun pada akhirnya Asia menyesal. Karena ternyata mama dan saudari tirinya cukup membuat Asia kerepotan sendiri. “Nggak apa-apa kok, kalau nggak suka,” kata Asia tersenyum memaklumi. “Meskipun kamu masih kecil, kamu juga punya hak buat suka ataupun nggak suka sama sesuatu. Nggak ada yang bisa memaksa kamu buat suka ataupun nggak suka sama sesuatu.” “Beneran?” “Iya,” jawab Asia menganggukkan kepala dengan yakin. “Asal, nggak boleh benci. Kalau benci, nanti kamu sendiri yang rugi. Karena rasa benci itu bikin hidup nggak tenang. Jadi, nggak boleh benci sama sesuatu. Terlebih, sama orang. Oke?” Mendadak saja Asia teringat dengan dosen menyebalkannya yang bernama Shankara. Asia mengingatkan dirinya sendiri jika ia sekadar tidak menyukai Shankara. Tidak sampai membencinya. Benar. Asia harus menerapkan ilmu itu kepada dirinya sendiri. Lavanya menganggukkan kepala. “Oke, Miss.” Asia rasa, dirinya tidak perlu membujuk Lavanya untuk menyukai pacar papanya. Karena toh, nantinya yang akan jadi anak tiri pacar papanya adalah Lavanya. Jadi, Lavanya memang berhak untuk tidak menyukai perempuan itu. Lagian, toh itu tugas pacar papanya Lavanya untuk membuat Lavanya menyukai dirinya. Tugas Asia kan membantu Lavanya dengan pelajaran sekolahnya. Ketukan di pintu membuat Asia dan Lavanya menoleh ke arah pintu itu. “Permisi?” ucap suara di balik pintu seraya membuka pintu itu yang membuat Asia dan Lavanya melihat sosok Bi Darsiah. “Iya, Bi?” tanya Asia yang saat ini tengah membuat kontak mata dengan Bi Darsiah. “Boleh bicara sebentar, Neng?” Asia menganggukkan kepala. “Boleh, Bi,” katanya. Lalu, Asia menoleh ke arah Lavanya. “Miss keluar sebentar ya,” ucapnya. “Iya, Miss.” Kemudian Asia bangkit dari duduk lalu pergi keluar ruangan bersama dengan Bi Darsiah. “Ada apa, Bi?” tanya Asia menatap Bi Darsiah penasaran. “Neng, apa Bibi boleh minta tolong?” tanya Bi Darsiah tampak cemas. “Minta tolong apa, Bi?” “Neng Asia bisa nggak, nemenin Neng Lavanya sampai papanya pulang? Soalnya Bibi harus segera pulang ke rumah, cucu Bibi sakit di rumah sendirian. Ibunya masih kerja, belum pulang.” “Iya, Bi. Nggak apa-apa. Nanti biar Lavanya saya temenin sampai papanya pulang. Bibi silakan pulang aja, nggak perlu mengkhawatirkan Lavanya. Biar saya jagain.” “Makasih banyak, ya, Neng. Nanti biar saya bilang ke papanya Neng Lavanya buat segera pulang, jadi, Neng Asia nggak akan kemalaman juga pulangnya.” “Iya, Bi. Santai aja.” “Kalau gitu, saya mau pamit dulu ke Neng Lavanya habis itu mau langsung pulang.” Asia menganggukkan kepala. “Iya, Bi.” *** “Kayaknya Bibi belum sempat masak deh, Miss,” kata Lavanya yang saat ini sedang berada di ruang makan bersama dengan Asia. “Sepertinya begitu,” balas Asia. “Apa kamu lapar?” tanyanya menoleh ke arah Lavanya. “Mau Miss pesenin makanan?” “Miss nggak bisa masak?” Asia menggelengkan kepala. “Nggak bisa,” jawabnya malu. Lavanya tertawa kecil mendengar jawaban Asia itu. “Aku juga nggak bisa, Miss. Kita sama,” katanya. “Ya udah, kalau gitu, kita pesan pizza aja gimana? Atau mau makan nasi aja? Kita bisa pesan nasi goreng.” “Pizza aja, Miss. Papa juga suka pizza.” “Oke. Kalau gitu, Miss pesenin pizza ya?” Lavanya menganggukkan kepala dengan semangat. “Iya, Miss,” katanya. Kemudian Asia memesankan pizza dan beberapa cemilan untuk Lavanya, dirinya dan juga papanya Lavanya jika nanti beliau pulang. Berhubung Bi Darsiah sudah mempercayakan Lavanya kepada Asia sampai papanya Lavanya pulang, jadi Asia merasa harus bertanggungjawab penuh atas Lavanya. Termasuk, membuat perut Lavanya kenyang. “Miss,” panggil Lavanya. “Iya?” “Sambil nunggu pizzanya datang, gimana kalau kita main make up-make up an? Aku bisa dandanin Miss jadi lebih cantik. Terus Miss juga nanti dandanin aku jadi cantik kayak Miss. Ya?” Lavanya menatap Asia dengan ekspresi bersemangat yang tentu saja tidak bisa ditolak Asia. “Oke,” jawab Asia menganggukkan kepala. “Asyik! Ya udah, ayo ke kamarku, Miss.” Lavanya menggandeng tangan Asia menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Lalu, Lavanya mempersilakan Asia untuk duduk di karpet bulu berwarna putih yang ada di lantai. Kemudian, Lavanya dengan semangat mengeluarkan alat make up miliknya yang bergambar barbie yang ada di atas meja. Setelah itu, keduanya mulai saling menghias wajah satu sama lain. Meskipun terlihat sangat kekanakkan bagi Asia, tapi, lucunya Asia merasa tidak keberatan. Malah, ia menyukai aktifitas ini. Asia merasa seperti memiliki adik perempuan. Menyenangkan. “Kira-kira papa kamu pulangnya jam berapa?” tanya Asia kepada Lavanya yang tampak imut dengan kuncir dua hasil karya dari Asia. Asia pun sudah memoleskan make up tipis di wajah Lavanya dengan menggambar pola hati di pipi kirinya yang membuat Lavanya tampak manis. “Mungkin sebentar lagi,” kata Lavanya yang tengah sibuk memoleskan perona wajah di pipi kanan dan kiri Asia. Asia hanya pasrah saja dengan apa pun yang Lavanya lakukan. “Papa kamu pulangnya memang sering malam, ya?” “Iya, Miss. Kadang jam tujuh udah pulang. Kadang juga pernah sampai jam sembilan kalau jalanan macet.” Asia menganggukkan kepala mengerti. “Papanya Miss juga pulangnya malam?” “Iya,” jawab Asia. “Kadang malah nggak pulang kalau ada kerjaan di luar kota.” “Miss sendirian di rumah, ya?” “Nggak,” jawab Asia seraya tersenyum. “Kan ada mama sama saudara tirinya Miss. Ada beberapa orang yang kerja di rumah juga. Jadi, nggak sendirian.” “Aku pikir Miss sendirian di rumah kalau nggak ada papanya. Kan kalau sendirian, Miss bisa main ke sini. Nanti aku temenin,” ucap Lavanya. Asia tersenyum lebar mendengar ucapan Lavanya itu. “Makasih, ya.” “Iya, Miss,” balas Lavanya dengan semangat. “Miss, mulutnya gini.” Lavanya memonyongkan bibirnya yang membuat Asia terkekeh. “Harus banget gitu?” “Iya. Biar lipstiknya nempel di bibirnya Miss.” “Oke,” kata Asia seraya memonyongkan bibir seperti yang diminta oleh Lavanya. Ketika Lavanya tengha asyik menempelkan lipstick merah di bibir Asia, tiba-tiba saja pintu kamar Lavanya terbuka. Sontak saja Asia yang terkenjut langsung menoleh. Kini, diambang pintu kamar Lavanya yang terbuka, Asia melihat sosok pria yang tengah menatap Asia sama kagetnya dengan dirinya. Tidak mungkin. Asia pasti salah lihat. Karena rasanya sangat tidak mungkin dosennya yang galak dan menyebalkan berada di ambang pintu kamar Lavanya. Pasti Asia sedang bermimpi melihat sosok Shankara tengah memandanginya dengan kernyitan di dahi. “Papa!” seru Lavanya seraya bangkit dari duduk lalu menghampiri Papanya dan memeluknya. Shankara adalah papanya Lavanya? Tidak mungkin! Ini berita buruk!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN