Semua tentang Shevi nyatanya tidak sepenuhnya lenyap dari ingatan Wira. Semua kenangan yang tercipta di antara mereka masih tersimpan rapi dalam kotak kenangan yang sudah Wira kubur dalam-dalam. Bahkan hanya dengan melihat bayangan samar di hadapannya diikuti suara panggilan bernada lembut, Wira langsung tahu siapa pemiliknya.
Shevita Aura.
Lantas apa ia senang dengan ini? Tentu saja. Ingatannya masih berfungsi dengan baik mengingat nama Shevi, padahal Wira tipe orang yang kalau sudah selesai, kenapa harus diingat lagi? Itu hanya akan buang-buang waktumu.
Ya, begitulah Wira. Ia bahkan sudah lupa siapa nama mantan-mantannya. Lagi pula tidak ada gunanya juga diingat, itu sudah berakhir lama sekali. Begitu prinsipnya.
Setidaknya itu yang ada di pikiran Wira beberapa detik lalu sebelum akhirnya kenyataan menamparnya.
“Je ... Jessi?”
Wanita dengan mini dress selutut berwarna peach di hadapannya mengulas senyum manis. “Iya, ini aku Jessi. Jessica Vanesha,” jawabnya.
Untuk sesaat Wira merasa semesta sedang mempermainkannya. Bagaimana bisa ia salah mengenali orang hanya karena orang itu memiliki postur tubuh dan suara yang mirip? Dan bagaimana bisa juga ia malah bertemu dengan Jessica di sini, alih-alih bertemu Shevi? Apa mungkin Jessi ...
“Ngomong-ngomong kamu ngapain di sini, Wir? Oh, bawa buket bunga juga. Pasti mau ketemu pacar kamu, ya?” tebak Jessi langsung, menginterupsi pemikiran Wira.
Wira tertawa. “Bukan, ini punya temanku,” jawabnya. “Kamu sendiri ngapain di sini? Kamu tinggal di sini?”
“Teman apa teman?” Jessi menggoda. “Iya, aku tinggal di sini sekarang. Oh ya, mau ngobrol? Aku traktir es kopi di kafe depan sekalian ngobrol-ngobrol. Kita kan udah lama nggak ketemu. Gimana?”
“Oke, boleh. Tapi tunggu sebentar, aku titip ini dulu ke resepsionis biar temanku bisa langsung ambil,” ucap Wira seraya mengambil buket bunga Lily yang tadi dibawanya dan menitipkannya di meja resepsionis untuk Shevita Aura.
Setelahnya, Wira dan Jessi melangkah keluar dari gedung apartemen tersebut. Mereka berjalan kaki menuju sebuah kafe yang berada tepat di seberang Sky Apartement. Serenity Cafe, namanya.
Begitu masuk, ternyata kafe itu masih sepi. Hanya ada dua remaja perempuan menempati meja dekat dinding kaca, dan sepasang suami istri menempati meja dekat bar. Tampaknya pasangan suami istri tersebut sedang menunggu pesanan take away mereka.
Mengikuti saran Jessi, mereka menempati meja bagian tengah kafe. Saran Jessi tidak terlalu buruk menurut Wira. Dari posisinya, Wira masih bisa melihat mobilnya yang terparkir di pelataran parkir apartemen dan ia masih bisa melihat jelas lobi apartemen. Ah, barangkali dari sini juga, ia bisa melihat sosok Shevi di meja resepsionis.
Kini, dua gelas es kopi sudah tersaji di hadapan mereka.
“Kamu apa kabar, Wir? Masih kerja di perusahaan Papa kamu?” Pertanyaan Jessi menjadi pembuka percakapan mereka. Wanita itu mengaduk es kopinya sebelum meminumnya.
“Kabarku baik, dan ya, aku masih kerja di perusahaan Papaku. Kamu sendiri apa kabar? Kerja di mana sekarang?” Wira balik bertanya seraya menatap lawan bicara.
Menurut Wira, tidak ada yang berubah dari Jessi. Wanita itu masih tetap sama seperti terakhir kali mereka bertemu. Masih lembut dan penuh pesona. Hanya saja, kali ini netranya tanpa sengaja menangkap kantung mata di mata Jessi.
“Kabarku juga baik. Hanya saja akhir-akhir ini lagi banyak kerjaan di kantor dan kadang harus lembur juga. Maklum, pegawai biasa kayak aku nggak bisa apa-apa selain ngelakuin semuanya. Ini aja aku ambil cuti karena mau istirahat,” ucap Jessi seolah menjawab pertanyaan yang ada di benak Wira terkait kantung matanya.
“Tunggu, tadi kamu bilang pegawai biasa? Bukannya dulu kamu kerja sebagai Manajer Pemasaran, ya?” Pertanyaan Wira menginterupsinya.
Jessi mengangguk. “Iya, memang. Tapi karena perusahaan tempat aku kerja mengalami kesulitan keuangan dan akhirnya bangkrut, jadi pegawainya dirumahkan. Mau nggak mau aku harus cari pekerjaan baru buat menyambung hidup. Ah, maaf ya aku jadi curhat.”
“Nggak apa-apa, aku paham kok. Aku turut prihatin ya atas itu, tapi semoga di tempat kerjamu yang sekarang, kamu bisa merasa lebih nyaman. Tapi jangan lupa tidur yang cukup, agak lucu aja orang kayak kamu punya tiba-tiba punya kantung mata.”
Tawa renyah Jessi memenuhi meja mereka. “Sebenarnya ini karena maraton nonton drakor juga, sih. Makanya jadi kurang tidur. Eh, tapi makasih sarannya. Aku bakalan nyoba buat tidur yang cukup habis ini.”
“Aku nggak yakin kamu bisa tidur habis ini. Orang kamu aja minum kopi sekarang. Harusnya tadi kamu pesan teh kamomil atau s**u hangat biar bisa tidur,” seloroh Wira lantas meminum es kopinya lagi.
“Hmm, boleh. Next aku coba saran kamu yang ini kalau kurang tidur. Teh kamomil atau s**u hangat aja, kan? Oke, aku ingat,” ucap Jessi dengan senyum manis tercetak di bibirnya.
Tidak ada pembicaraan lagi setelahnya. Keheningan menyelimuti mereka. Mereka memilih menikmati es kopinya dan sibuk dengan berkutat dengan pikirannya masing-masing.
Wira tidak berniat mengetahui tentang Jessi lebih banyak, tapi justru wanita itu sendiri yang tanpa sadar memberitahunya. Dulu Jessi tinggal di apartemen yang fasilitasnya lebih mewah dan lengkap daripada fasilitas di Sky Apartement, tapi karena perusahaannya bangkrut, ia pun memutuskan untuk pindah.
Menurut Jessi, biaya sewa per tahun yang lumayan terjangkau untuknya dan keamanan terjamin, membuat ia akhirnya memutuskan pindah ke Sky Apartement daripada ke indekos yang keamanannya kadang masih belum terjamin.
Dalam hati Wira menyetujuinya. Lagi pula setahunya, banyak indekos yang memiliki batas jam malam terutama jika di indekos khusus perempuan. Belum lagi, suasana ramai karena banyak orang, pasti akan sedikit mengganggu ketenangan penghuni kamar lainnya. Jadi, apartemen adalah pilihan yang cocok untuk itu.
“Oh ya, Wira boleh aku tanya sesuatu sama kamu?” tanya Jessi memecah keheningan di antara mereka.
“Mau tanya apa?” Wira balik bertanya.
Jessi tidak langsung menjawab. Netranya menangkap raut wajah Wira yang menunjukkan rasa penasaran. Wanita itu menghela napasnya pelan sebelum akhirnya melontarkan pertanyaan yang tidak pernah Wira duga.
“Bagaimana hubungan kamu dan Shevi? Kalian masih bersama, kan?”
Sekilas pertanyaan Jessi adalah pertanyaan sederhana, tapi entah kenapa itu malah membuat syaraf-syarat Wira seolah mati. Laki-laki itu mendadak merasa lidahnya kelu hingga kesulitan bicara. Bahkan sekadar menggelengkan kepala saja, ia tidak bisa. Pertanyaan tersebut seperti punya efek magis bagi tubuh Wira.
Perasaannya tiba-tiba sendu sekaligus sedikit kacau mengingat nama Shevi disebut.
Wira berdeham singkat, berusaha menenangkan perasaannya yang mendadak aneh. Lantas menarik sudut bibirnya kecil.
“Kami sudah selesai,” ungkap Wira akhirnya. Ada ekspresi keterkejutan di wajah wanita di hadapannya. “Hubungan kami sudah selesai sejak beberapa bulan lalu dan sampai sekarang kami tidak pernah bertemu atau berkomunikasi. Semuanya benar-benar selesai.”
“Bagaimana bisa hubungan kalian selesai, padahal aku udah mengorbankan perasaanku supaya kamu dan Shevi bisa bersama? Siapa yang mengakhiri? Shevi?” Nada bicara wanita itu naik satu oktaf.
“Ya.”
Jessi mendesah kesal. “Aku kesal banget. Bisa-bisanya dia bersikap seperti itu sama kamu. Oh, apa jangan-jangan dia ada main di belakang kamu? Dia selingkuh?”
“Kita yang selingkuh dan kita yang bermain di belakangnya, bukan Shevi,” tegas Wira tak terima. Sebisa mungkin ia tidak mau menjadi pusat perhatian orang-orang di kafe itu.
Jessi tersentak. Tidak menyangka Wira akan bereaksi seperti itu. Namun, mengetahui bahwa laki-laki itu membela Shevi, membuat rasa tidak sukanya bergejolak.
“Iya, aku tahu kita berdua memang salah. Kita sudah selingkuh dari pasangan kita, tapi sekarang kita sama-sama udah nggak terikat hubungan dengan siapa pun. Lantas kenapa kamu masih membela Shevi padahal dia yang sudah mengakhiri hubungan kalian? Kenapa kamu masih bersikap seolah mengagungkan Shevi, seolah dia perempuan baik-baik ...”
“Shevi memang perempuan baik-baik. Dia tidak seperti kamu yang bermuka dua dan sok polos, tapi berusaha menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang kamu mau. Jadi, berhenti berkata buruk tentang dia karena dia bukan orang seperti yang kamu tuduhkan.”
“Nyatanya memang begitu kan? Saat kamu lagi nggak ada, dia malah jalan sama pacar aku. Kayak gitu yang kata kamu perempuan baik-baik? Ck! Dia pasti menggoda pacarku waktu itu sampai bikin hubungan kami berakhir.”
“Jaga bicaramu, Jessi! Shevi tidak mungkin menggoda pacarmu. Dan soal hubungan kalian yang berakhir, itu bukan salah Shevi. Itu salah kamu. Kamu yang selingkuh. Kamu w*************a, Jess ...”
“Dan kamu tergoda olehku, Wira,” sahut Jessi cepat.
Telak. Kalimat Jessi seketika membuat Wira kehilangan kata-katanya. Wira tidak berkutik. Bahkan sekadar membalas kata-kata itu, Wira tidak bisa. Namun, gejolak di dalam dadanya tidak bisa diredam.
Alhasil, sebuah pukulan pada meja dilayangkan laki-laki itu. Membuat wanita di hadapannya tersentak kaget dan menjadikan mereka sebagai pusat perhatian beberapa orang di kafe itu.
“Berhenti membicarakan masa lalu dan jangan pernah mengganggu hidupku lagi.”
Setelahnya, Wira beranjak bangkit dari kursinya dan melangkah menuju kasir. Dan tanpa memedulikan panggilan dari wanita yang bersamanya tadi, Wira melangkah keluar kafe.
Namun, seolah semesta memang masih ingin mempermainkannya lagi, indra penglihatan Wira menangkap sosok wanita di depan sana. Berdiri di depan lobi gedung apartemen sembari membawa buket bunga—yang Wira yakin itu adalah buket bunga pemberiannya.
Tubuh Wira mematung seketika. Netranya tidak mampu berpindah dari sosok itu.
Ya, wanita itu adalah Shevi. Shevita Aura. Mantan kekasihnya yang selama ini menghilang.
Sayangnya, ketika tiba-tiba suara Jessi menghampiri indra pendengaran Wira lagi dibarengi suara langkah kaki mendekat, sosok itu menghilang. Dan netra Wira menangkap sebuah buket bunga cantik berada di dalam tempat sampah.
Sial!
Gara-gara kejadian di kafe tadi, Wira jadi uring-uringan. Setelah tahu Shevi membuang bunga pemberiannya yang ia yakin karena wanita itu melihat Jessi bersamanya, Wira langsung pergi tanpa memedulikan seruan Jessi.
Sial. Ia bahkan belum benar-benar bertemu langsung dengan Shevi, tapi wanita itu justru sudah menolaknya di awal.
Berulang kali Wira menghela napas. Ia tidak bisa fokus pada pekerjaannya. Layar laptop hanya dibiarkan menyala begitu saja, menampilkan sebuah dokumen yang harus ia cek ulang. Di mejanya, beberapa map berbagai warna dengan masing-masing berisi lembar penting juga dibiarkan terbuka. Sedangkan si pemilik ruangan, duduk bersandar di kursi sambil memijat pelipisnya, tampak seperti sedang memikirkan banyak hal.
Suara ketukan pintu berhasil mengalihkan perhatian Wira walaupun sedikit. Ia mempersilakan orang itu masuk. Pintu terbuka, dan detik itu juga Sasmita masuk sembari membawa sebuah paper bag berukuran sedang.
“Sebenarnya aku masih marah sama Kakak soal kemarin, apalagi setelah dengar cerita Kakak barusan. Tapi ngelihat Kakak udah kayak orang nggak punya tujuan hidup begini, aku jadi prihatin. Makanya aku ke sini, takut Kakak lompat dari jendela ke parkiran,” seloroh Sasmita seraya menghampiri meja kerja Wira. Ditutupnya map-map yang berserakan di meja laki-laki itu begitu juga dengan laptopnya.
“Ayo makan siang bareng. Aku lapar habis ngomel-ngomel tadi. Tenagaku butuh diisi karena harus ngerjain laporan keuangan bulan ini.”
Sasmita mengeluarkan dua boks makanan dari dalam paper bag dan dua cup minuman teh dingin. Tanpa bertanya pun Wira sudah tahu bahwa itu adalah spaghetti bolognese dan lemon tea.
Mungkin sebagian orang akan menganggap persaudaraan mereka aneh, tapi mereka tidak peduli. Baik Wira ataupun Sasmita sama-sama tidak ambil pusing dengan perkataan orang di luar sana perihal cara mereka menenangkan satu sama lain saat ada masalah. Karena menurut mereka, hubungan persaudaraan mereka seperti ini. Alih-alih mendesak saudaranya bicara, yang mereka lakukan adalah makan bersama hingga tanpa sadar mereka mengungkapkan semua masalahnya. Begitu cara mereka menjaga hubungan persaudaraan.
Jadi, ketika Sasmita sudah datang dan mengajaknya makan bersama, itu berarti memang Wira harus berbicara semuanya. Termasuk tentang kisah masa lalunya dengan Jessica Vanesha.